Haji mabrur adalah insan berkarakter unggul – berbasis akhlak mulia dan pola komunikasi yang baik – positif — di seluruh lapangan kehidupan dan profesi. Mereka menebar kebaikan dan kebajikan, sekaligus menjadi ruh perubahan transformatif, mengikuti perjuangan dan ajaran Rasulullah Muhammad SAW.
Sèm Haèsy
Ketika menunaikan haji pada paruh pertama dekade 1990-an, dan ketika ada kerabat dan sahabat yang akan mengabarkan akan berangkat melaksanakan ibadah haji, saya selalu membaca do’a: Allahummaj’al hajjan mabruuran, wa sa’yan masykuura, wa dzanban maghfuura (Ya Allah, terimalah ibadah haji ini sebagai haji yang mabrur, sa’i yang penuh rasa syukur, dan segala dosa yang terma’afkan).
Haji mabrur adalah harapan, sekaligus pencapaian. Kata mabrur berasal dari asal kata ‘al birru’ yang bermakna kebaikan atau kebajikan, yang di dalamnya terikut serta ketaatan dan kesalehan. Di dalam istilah mabrur tersimpan makna kesucian dan kebersihan dzahir batin indikator utama ibadah yang diterima oleh Allah SWT.
Haji yang mabrur saya pahami adalah ibadah haji yang diterima. Bukan hanya karena seluruh rangkaian arkan (syarat dan prosedur) ibadah hajinya terpenuhi, melainkan juga karena seluruh pelajaran penting dari setiap rangkaian prosedur menjelma menjadi perbuatan dalam seluruh proses kehidupan yang menyertainya.
Rasulullah Muhammad SAW, bersabda: “Tiada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” Seringkali, sabda Rasulullah ini dipahami sebagai suatu kenikmatan yang diberikan Allah, yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik di hati manusia. Kenikmatan khas yang diperuntukkan Allah bagi manusia yang saleh dan salehah.
Dimensi haji mabrur, saya pahami, sebagai manifesto aqidah, syari’ah, muamalah, dan akhlak. Bermula dari syahadah yang mengandung konsekuensi dan konsistensi hidup yang konsekuen dan konsisten pada kerundukan dan keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Wujudnya adalah memaknai hidup sebagai proses perjuangan panjang di jalan Allah. Menempatkan diri sebagai rahmat atas alam semesta, yang ditopang oleh kesadaran untuk senantiasa menegakkan salat secara dimensional: tahu diri, rendah hati, menyadari hakekat eksistensi diri sebagai hamba, masterplan ciptaan Allah yang mesti selalu melakukan ikhtiar menyeimbangkan nalar, naluri, nurani dan rasa dalam gerak hidup dria. Sesempurna makhluk.

Jama’ah haji salat fardhu di antara tawaf di Ka’bah Bait Allah | as Saudia
Haji mabrur, dengan demikian, tertampak justru bukan hanya ketika seluruh rangkaian proses ritual dan spiritual di situs-situs ibadah (mulai dari tempat miqat yang bernilai historis, masjid al haram di Makkah al Mukarramah, wukuf di Arafah, dan melontar jamarat di Mina) dilakoni. Lebih jauh dari itu, yakni ketika kembali ke tanah air – kampung halaman.
Haji mabrur melekat pada mereka yang ketika kembali ke tempat asal mereka datang, menampakkan perangai terbaik dalam melaksanakan kebajikan, yang menempatkan dirinya sebagai insan yang bermanfaat bagi orang banyak.
Haji mabrur secara simbolis tertampak pada mereka yang dalam proses interaksi sosial — dari wilayah domestik sampai wilayah publik : masyarakat, negara, dan bangsa — mempraktikkan apa yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya: bil hikmah wal mauizaatil hasanah. Interaksi dan komunikasi berbasis kearifan dan budi bahasa terbaik.
Maknanya, dalam pemahaman saya, haji mabrur adalah pribadi muslim yang telah memungkas seluruh rangkaian rukun islam (islamic five principles) dan rukun iman, dan menghindari dirinya dari komunikasi dengan perkataan keji, menjauhi ghibah (gunjing menggunjing), menjauhi perbuatan fasik (buhtan – memproduksi dan menebar hoax -, fitnah dan namimah – mengadudomba), menghindari perselisihan dengan orang lain, serta mampu memediasi kalangan yang berselisih untuk kembali hidup rukun.
Haji mabrur adalah pribadi-pribadi yang secara personal, komunal, dan sosial memainkan peran besar dalam melakukan transformasi peradaban, dimulai dengan transformasi etika, sesuai dengan standar norma dan sistem nilai budaya yang menghidupkannya.
Baik dalam konteks pemikiran, sikap, dan tindakan, yang dilandasi oleh kaidah-kaidah asasi, seperti etika bisnis, fatsoen politik, social code of conduct, professional code ethic, dan segala hal yang sejenis dan setara dengan semua itu. Kuncinya adalah akhlak kariimah (akhlak mulia) yang menunjukkan kepribadian dan keberadaban yang unggul.

Masjid Namirah di Arafah | as Saudia
Dalam konteks ‘memberi makan,’ secara pribadi, saya pahami sebagai upaya tanpa henti melakukan ikhtiar yang memungkinkan terjadinya perkembangan muamalah. Tidak hanya dalam konteks kedermawanan personal dan individual, melainkan kedermawanan sosial.
Kedermawanan sosial, tak hanya sebatas perbuatan karitatif – yang kerap dijadikan sebagai ‘wajah tanggung jawab sosial.’ Melainkan kesadaran dalam mewujudkan tanggungjawab terhadap upaya pemberdayaan masyarakat secara spesifik (community responsibility) sebagai bagian dari tanggungjawab budaya (cultural responsibility).
Kedermawanan sosial dengan segala platform dan formulanya (antara lain zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, santunan sosial) dengan khalayak sasaran dari lingkungan keluarga dan masyarakat, saya pahami sebagai kebijakan dan aksi menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang mampu mendistribusikan kesejahteraan bagi masyarakat secara adil dan luas.
Setarikan nafas, melakukan perubahan minda (tata pikir) dan perilaku menjadi pemangkin berlakunya prinsip-prinsip asasi kemakmuran berkeadilan. Termasuk ikhtiar nyata membalik kemiskinan — menghilangkan kemiskinan struktural – kultural yang kerap menjelma dalam realitas kehidupan sosial miskin persisten.
Haji mabrur adalah pencapaian transformasi — perubahan dramatik — dalam pemikiran, sikap, dan tindakan yang dapat diukur dengan menurunnya kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Terutama, karena kesenjangan sosial menyuburkan keingkaran, memicu friksi dan konflik sosial, sengketa, pertembungan, bahkan perang yang membinasakan.
Bayangkan, bila setiap mereka yang pulang menjalankan ibadah haji mencapai kualifikasi diri sebagai Haji Mabrur, berapa juta orang yang mampu mengendalikan diri untuk tidak menjadi sumber –penyampai – penebar ghibah (rumors), rekayasa buhtan (hoax), fitnah, dan namimah (adu domba). Berapa juta insan juga yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi berbasis kesejahteraan dan keadilan.

Jama’ah haji bergerak di jalan utama Araf menuju ke tenda masing-masing | As Saudia
Haji mabrur adalah pesona persona mereka yang mampu melayari proses perubahan kebaikan dan kebajikan, perubahan mental dan karakter insaniah dari yang buruk (syaar) menjadi yang baik (khair, farhan). Manusia yang bergerak dari kegelap-remangan menuju cahaya benderang pencerahan.
Terkait dengan perubahan mental dan karakter inilah hakikat kurban dan sabar menjadi sedemikian indah dan strategis. Apalagi, bagi setiap manusia muslim dan mukmin, berlaku kewajiban bahu membahu, bergotong royong di jalan taqwa (ta’awanu alal birri wa taqwa). Bukan bersekongkol di jalan keburukan dan kejahatan (wa laa ta’awanu alal itsmi wal u’dwan).
Kita boleh selalu berharap, seluruh muslim yang sudah berhaji, mau dan mampu memanifestasikan dirinya sebagai haji mabrur. Bayangkan, bagaimana indahnya harmoni kehidupan umat manusia — dalam skala bangsa dan dunia. Bagi bangsa kita saja, bayangkan keindahan hidup bermasyarakat, bernegara dan berbangsa, ketika mereka yang sudah ‘berhaji’, memenuhi kriterium haji mabrur tersebut.
Haji mabrur adalah insan berkarakter unggul – berbasis akhlak mulia dan pola komunikasi yang baik – positif — di seluruh lapangan kehidupan dan profesi. Mereka menebar kebaikan dan kebajikan, sekaligus menjadi ruh perubahan transformatif, mengikuti perjuangan dan ajaran Rasulullah Muhammad SAW.
Mereka mempu menegakkan keadilan, bukan sekadar berdisiplin dan menegakkan hukum. Mereka mampu berkontribusi pada peradaban unggul, bukan hanya menggubah estetika dalam kehidupan. Mereka mengubah cinta dan kasih sayang menjadi kemanusiaan yang adil beradab.
Tentu mereka tidak melakukan maksiat kepada Allah SWT, tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, termasuk korupsi, tamak, dzalim, kikir, otoriter, serta menjadi kaki tangan oligark, mempermainkan kekuasaan untuk dan atas nama kekayaan duniawi yang sementara.|
Renungan spiritual pribadi