Haedar Muhammad
SALAH satu perbuatan dzalim yang amat dilaknat oleh Allah Ta’ala adalah Ihtikaar.
Adzab atas perbuatan ini sedemikian pedih, karena Ihtikaar merusak hubungan antar insan dan dapat menimbulkan kebencian antar golongan. Sekaligus memicu kemarahan orang ramai sehingga menimbulkan situasi kehidupan sosial yang chaos.
Menurut Imam Muhammad ibn Ali Asy Syaukani, Ihtikaar adalah penimbunan atau penahanan barang keperluan utama masyarakat pada musim tertentu, sehingga menyebabkan keberadaan barang di pasar tidak ada dan harganya melonjak.
Imam Al Ghazali menyebut, ihtikaar adalah penyimpanan barang dagangan oleh para penjual dan menahannya beberapa lama menunggu melonjaknya harga barang tersebut.
Dengan maksud memperoleh untung sebesar-besarnya, penjualan atas barang tersebut masih pula ditahan agar harga terus melonjak sampai waktu tertentu.
Kalangan ulama madzhab Maliki menyatakan, ihtikaar adalah kegiatan menimbun barang untuk merusak harga pasar.
Barang yang dimaksudkan dapat berupa consumers goods, makanan, minuman, daging, beras, atau bahan pokok lainnya seperti semen, gas, dan sejenisnya.
Tindakan demikian adalah haram dan menimbulkan aniaya terhadap kebanyakan umat. Mereka yang bersekongkol melakukan ikhtar termasuk ke dalam golongan kaum yang melawan Allah.
Mereka termasuk kaum yang bersekongkol di jalan mudharat. Bukan kaum yang tolong menolong dalam kebajikan dan di jalan taqwa. Allah Ta’ala berfirman: ta’awwanu alal birrti wat taqwaa wa laa ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Bergotong-royonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan bersekongkol dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS Al Maidah: 2).
Mereka yang melakukannya dan sengaja merusak pasar, bagi mereka neraka jahannam. Rasulullah Muhammad SAW tegas menyatakan, “Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam negara pada hari kiamat.” (HR Thabrani).
Ihtikaar atau penimbunan barang atau tindakan mempermainkan harga barang konsumsi sering dipandang sebagai taktik perdagangan.
Apapun maksud dan tujuannya, ihtikaar merupakan perbuatan yang sangat banyak mudharat katimbang manfaatnya.
Tindakan ihtikaar merupakan tindakan biadab dan asosial, bertentangan dengan moral dan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Tindakan ihtikaar membuat begitu banyak manusia mengalami dhayyiq, menderita dan kesulitan.
Apalagi mereka yang melakukan ihtikaar untuk barang-barang konsumsi primer (dharuri), seperti BBM, sembako, sayur mayur, daging, dan barang food and beverages lainnya.
Tindakan ihtikaar yang paling dahsyat dan paling luas dampak kehancuran yang ditimbulkannya adalah melakukan monopoli atas komoditas tertentu yang diketahui sebagai komoditas yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Polah yang menimbulkan spekulasi semacam ini, termasuk dalam kategori perbuatan kuffar atau kafir, karena siapa saja yang melakukan perbuatan itu secara sengaja sudah menentang Allah Ta’ala.
Akibat dampak dari tindakan ihtikaar yang begitu merusak, berbagai ulama dari seluruh mazhab sepakat menyatakan, siapa saja pedagang yang melakukan ihtikaar, dia sudah keluar dari Islam.
Dalam konteks itu, pemerintah sebagai waliyul amri dharuri sesuai dengan prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan yang berlaku, wajib memberantas tindakan ihtikaar.
Bahkan, umat dianjurkan bersama-sama pemerintah (amri) melakukan tindakan tegas terhadap pelaku ihtikaar.
Peran negara dan pemerintah sangat penting dalam memberantas ihtikaar, karena negara atau pemerintah sebagai pemegang syara,’ pengemban amanah, dan mempunyai aparatur untuk menghentikan, menyetop, dan memberangus perbuatan keji tersebut.
Pemerintah dan negara dalam Islam, berkewajiban melindungi hak orang banyak, termasuk mereka yang non muslim.
Tindakan tegas dan keras harus diberlakukan kepada pelaku ihtikaar tanpa pandang bulu. Fathi ad-Duraini mengatakan, tindakan pemerintah dan negara memberantas ihtikaar terkait dengan prinsip: tindakan penguasa harus senantiasa mengacu kepada kemaslahatan orang banyak.
Tindakan memberantas ihtaar termasuk sebagai jihad akbar untuk mengatasi kedurhakaan di tengah masyarakat. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “tidak menimbun makanan kecuali orang yang durhaka.
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka Allah Ta’ala telah putus padanya dan ia telah putus dari rahmat Allah Ta’ala. Itulah sebabnya mereka yang melakukan ihtaar disebut juga mal’uun (manusia terkutuk).
Para ihtaar atau penimbun barang harus dipaksa untuk menyalurkan barang yang ditimbunnya. Bila tidak, bagi mereka dapat diberlakukan hukuman fisik, dipukul (ta’zir), seperti diungkapkan Abul Laits.|