Merawat Koma Agar Tak Menjadi Titik

Apalagi, menurutnya, kerja profesional teater Indonesia sudah punya akar historis, lewat tradisi Dardanella, Miss Riboet Orion, Bintang Soerabaja. “Penonton teater sudah terbina sejak masa-masa itu, kemudian dilanjutkan oleh ATNI di tahun 1960-an, Teater Populer bersama Teguh Karya, Teater Kecil dan Rendra. Apa yang disebut impresario sudah ada sejak tahun 1920-an di Jawa dan Sumatera,” tulis Mas Nano.

catatan Bang Sèm

Suasana duka masih terasa dan menyelimuti Sanggar Teater Koma, di jalan Cempaka Raya – Bintaro, Jum’at (20/1/23) malam. Kesedihan, kesabaran, dan ketegaran masih nampak di wajah Ratna Riantiarno. Jenazah Nobertus (Nano) Riantiarno, maestro seni teater Indonesia yang wafat pada pagi harinya ( pukul 06.58) nampak terbujur, laiknya sedang tertidur di dalam peti jenazah.

Kebaktian penghiburan baru saja usai. Pendeta yang memimpin do’a-do’a mengutip salah satu ayat dalam Al Kitab, mengingatkan, bahwa mendiang Mas Nano telah tuntas dan memenangkan perjuangan — melalui karya-karyanya — yang bermanfaat bagi khalayak luas.

Pendeta yang pernah menjadi bagian dari Teater Koma di masa-masa awal, itu juga cerita pertemuan terakhirnya di rumah sakit. Kala itu, Mas Nano senyum diingatkan kembali tentang lakon Rumah Kertas. Suasana penghiburan itu terasa mengalirkan optimisme, kesabaran, dan keikhlasan bagi Mbak Ratna, anak menantu dan seluruh keluarga besar Teater Koma yang ditinggalkannya.

Sari Majid — dik Mbak Ratna — mengingatkan, kerabat dan kolega yang akan menghantar ke peristirahatan terakhir di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor diharapkan sudah berada di rumah duka (Sabtu, 21/1/23) pukul delapan pagi.

Mas Nano, sosok rendah hati, itu menyimpan kenangan mendalam dan indah di hati kolega yang datang melayat. Mulai dari generasi pelaku teater era 70-an sampai yang terkini. 46 tahun bagi perjalanan suatu kelompok teater, memang tidak mudah, dan sungguh merupakan suatu perjuangan. Sejak berdiri, 1 Maret 1977 telah lebih 140 lakon dituliskan dan disutradarai langsung Mas Nano. Sebutlah itu, mulai dari Rumah Kertas, Maaf.. Maaf.. Maaf, Opera Kecoa (dalam trilogi), Sampek Engtay, Semar Gugat, Republik Bagong, Republik Togog, Republik Petruk, Sie Jin Kwie, Republik Cangik, sampai Roro Jonggrang.

Di luar itu, Mas Nano dan Teater Koma — yang dibangun pertama kali bersama Ratna yang kemudian menjadi istrinya sejak tahun 1978 — juga mementaskan lakon-lakon karya dramawan besar kelas dunia, seperti William Shakeaspeare, George Orwell, Bertolt Brecht, Moliere, Aristophanes, Arthur Miller, Friedrich Schiller, George Buchner, Evald Filsar, Alfred Jarre, Beaumarchaise, dan Friedrich Durenmatt.

Nano dan Ratna Riantiarno dalam lakon “Tanda Cinta” yang dipentaskannya di Salihara | Rasapta Candrika channel

Teater Tak Berjarak

Jumpa terakhir saya dengan Mas Nano, usai pergelaran Roro Jonggrang (16/10/22), bersama Endang Caturwati – Guru Besar Ilmu Seni Pertunjukan – Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dan Nungki Kusumastuti – Ketua Senat Institut Kesenian Jakarta. Keduanya, semula dikenal sebagai pelaku seni pertunjukan dan akademisi yang memusatkan perhatian pada pengembangan seni pertunjukan dan seni budaya pada umumnya.

Endang bercerita, ketika menjabat Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan — direktorat ini raib sejak 2019 — Mas Nano dan Ratna sangat berperan dalam upaya membantu meningkatkan harkat dan posisi seniman sebagai profesional. Tak hanya dalam konteks program ‘Belajar bersama Maestro’ dan ‘Seniman Masuk Sekolah,’ jauh dari itu, Mas Nano terlibat aktif dalam menyusun standar kompetensi sertifikasi profesional seniman. “Jasanya luar biasa,” ungkap Endang.

Pada awal sampai pertengahan kiprahnya, Teater Koma yang banyak mempersembahkan karyanya di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan TVRI, juga Gedung Kesenian Jakarta. Mas Nano dan Teater Koma, berkeyakinan, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi.

Mas Nano yang juga wartawan senior dan sempat memimpin Majalah MATRA, itu sejujurnya meyakini, bercermin lewat teater teater merupakan salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi nurani. Di balik kata ‘koma’ dalam nama kelompoknya, memang terasa proses perjuangan mewujudkan apa yang diyakininya, akan terus berproses, tak kan sampai di titik. Meskipun, sebagai manusia, Jum’at 21/1/23 pukul 06.58 itu Mas Nano sudah sampai di titik.

Proses mewujudkan keyakinan Mas Nano, tentu akan berlanjut di tangan Mbak Ratna, anak-anaknya (Rangga Riantiarno, Rasapta Chandrika, Gagah Tridarma Prastya) dan keluarga besar Teater Koma generasi berikutnya. Teater yang tidak merentang jarak antara gagasan dalam lakon, penulis naskah, lakon, pelakon dan teater, dengan masyarakatnya. Tidak menjebak khalayak yang menggunakan karcis untuk masuk gedung pertunjukan, menjadi obyek.

Kebaktian penghiburan untuk mendiang Nano Riantiarno di rumah duka – yang merupakan arena latihan Sanggar Teater Koma | bangsem

Hiburan Bernilai

Dalam tulisannya pada kolom Catatan NR pada website Teater Koma, bertajuk “Teater 100 Kursi,” Mas Nano mengemukakan sikapnya, “… para pemegang karcis, tidaklah harus menjadi korban keinginan egoistis dari para pembuat lakon, para pembuat pertunjukan itu. Harus ada komunikasi, yang terungkap lewat visi dari si pembuat lakon, bentuk pengucapan/ekspresi serta upaya mengajak serta penonton untuk ‘masuk’ ke dalam peristiwa lakon, menjadi bagian dari lakon. Dan menikmati. Hidup di dalamnya.”

Sikap ini memang belum sepenuhnya terwujud, bahkan ketika Roro Jonggrang dipentaskan. Ada formalitas yang diwawar pengelola infrastruktur pergelaran dan membuat jarak antara pertunjukan dengan khalayaknya. Hal ini menjadi sesuatu yang ‘memisahkan’ kesenian dengan khalayaknya dengan berbagai alasan dan argumen yang kemudian diterima sebagai suatu kelaziman.

Mas Nano menulis, “Kesenian, seperti juga ilmu pengetahuan dan agama, adalah ‘Hiburan’ bagi kita dan membikin hidup menjadi lebih punya makna, lebih punya nilai. Teater memiliki fungsi dasar seperti itu pula. Tentu ada yang ingin diucapkan lewat teater, ada yang ingin disampaikan. Bisa dipahami pada masa kini atau kelak, bukan soal. Sebuah karya yang baik, tetaplah akan baik untuk kapan pun. Ia akan sanggup menembus zaman, agama, geografi, maupun ras. Ia akan universal, sebab ukuran yang dipakai dalam menikmati karya seni adalah rasa dan bukan melulu pikiran. Pikiran, terlebih lagi, rasa, tidak mungkin bisa dibelenggu. Ia sebebas langit.”

Pandangan Mas Nano ini, bisa dirasakan di mana saja, bahkan ketika menyaksikan pergelaran teater di Iran, yang selalu dikesankan kuat dengan berbagai pembatasan, namun tetap menempatkan gedung pertunjukan teater sebagai ruang dialok akal budi.

Nano Riantiarno dalam Monolog “Pulang” untuk memperingati ulang tahunnya, yang menyinggung soal kematian dan aktivitas menulis sebagai hidupnya | Teater Koma channel

Merawat Motivasi Baru

Mas Nano yang berangkat dari ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) dan sempat menjadi dosen Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, itu konsisten dan konsekuen dengan keyakinannya. Dalam tulisannya, itu Mas Nano menegaskan, “Saya menyadari lama, jauh sebelum saya membentuk kelompok Teater Koma. Perkumpulan Kesenian ini tidaklah harus menjadi barang asing bagi masyarakatnya. Teater Koma harus akrab, intim, luwes dan tentu saja menghibur. Seperti sebuah pohon, masyarakat adalah tanahnya. Atau bagai ikan, masyarakat adalah airnya. Tanpa tanah ataupun air, pohon dan ikan tak mungkin bisa hidup.”

Dengan sikap seperti itulah, menurut Mas Nano, “Teater Koma, alhamdullillah, masih bisa bertahan hingga kini. Dengan penggemar yang tidak kurang, meski bukannya tanpa kritik.” Sikap ini menghidupkan apa yang dinyatakannya sebagai suatu kesadaran untuk merawat dan melahirkan motivasi baru, sasaran baru yang membuat kiprah jadi lebih semarak.

Lewat berbagai diskusi dalam kelompok maupun dengan beberapa sahabat di luar kelompok, akhirnya Mas Nano mengambil satu kesimpulan, bahwa, Teater Koma harus memiliki basis kegiatan yang tetap. Bukan sekedar tempat latihan, tapi sebuah bangunan teater, sebuah gedung pertunjukan!

Ia terobsesi mewujudkan cita-cita gurunya, Teguh Karya, tentang ‘teater dalam gang,’ cukup dengan 200 kursi. Mas Nano, bahkan mencita-citakan teater dengan 100 kursi dengan suasana interaksi dalam suatu pertunjukan yang gayeng. Saat pandemi nanomonster Covid 19 melanda, Mas Nano dan Teater Koma tetap berkarya merawat motivasi, bahkan menggelar program “Teater Koma Pentas di Sanggar.” Termasuk memproduksi monolog, di antaranya bertajuk Pulang dan Penari.

Apalagi, menurutnya, kerja profesional teater Indonesia sudah punya akar historis, lewat tradisi Dardanella, Miss Riboet Orion, Bintang Soerabaja. “Penonton teater sudah terbina sejak masa-masa itu, kemudian dilanjutkan oleh ATNI di tahun 1960-an, Teater Populer bersama Teguh Karya, Teater Kecil dan Rendra. Apa yang disebut impresario sudah ada sejak tahun 1920-an di Jawa dan Sumatera,” tulis Mas Nano.

Nano Riantiarno di atas kursi roda berada di antara istri, anak, dan ‘anak-anak’-nya anggota Teater Koma di ujung pergelaran “Roro Jonggrang” di Graha Bhakti Budaya TIM – Oktober 2022 | bangsem

Selamat Jalan

Mas Nano, dalam tulisannya, sempat bertanya:  “Mengapa hal itu kemudian seperti mati angin dan tidak berlanjut? Apakah orang-orang teater masa kini tidak lagi punya grengseng untuk mempelajari pengelolaan teater di masa lampau itu? Dan cukup puas hanya dengan kegiatan sesekali saja? Inilah yang sebetulnya menjadi masalah utama Teater Indonesia saat kini.”

Pertanyaan tersebut adalah pekerjaan rumah bersama, bukan hanya harus dijawab para pelaku seni pertunjukan, khasnya teater, tetapi juga pengusaha yang bisa menjadi maesenas dan negara. Apalagi, ke depan, dalam menghadapi beragam hal yang membawa ancaman krisis ekonomi, mesti diupayakan secara serius ekonomi budaya. Bukan sekadar ekonomi kreatif.

Hal ini pernah saya sampaikan dalam diskusi dengan penggiat teater di Jakarta dalam kerangka Lebaran Teater – Festival Teater Jakarta 2022 lalu. Ratna Riantiarno juga berulang kali menyuarakan hal ini, baik dalam rapat dan diskusi regule mingguan Akademi Jakarta. Bahkan dalam percakapan menjelang pergelaran Roro Jonggrang yang lampau. Dalam konteks ini, agaknya, kebijakan tentang public service obligation (PSO) kebudayaan yang juga menjadi pekerjaan rumah Dinas Kebudayaan (dan seluruh jajaran Pemprov) DKI Jakarta pada umumnya harus lebih dimatangkan.

Kita melepas kepergian Mas Nano, menyusul para guru dan koleganya: Teguh Karya, Rendra, Arifin C. Noer, Chairul Umam, dan lainnya. Tapi, gagasan dan sikapnya mesti terus berlanjut. Rawatlah koma agar tak menjadi titik. Selamat jalan Mas Nano, jumpailah Dia, Sang Maha Kreator dan Sutradara yang akan terus menyediakan dunia sebagai panggung lakonan – drama kehidupan. |

Posted in ARTESTA.