Berbagai kalangan, melintasi proses perubahan mimpi menjadi ilusi dan fantasi, atau imajinasi, dalam melakukan proses kreatif — mulai dari creativity kick off sampai innovation breakhtrough, dalam berbagai aspek kehidupan. Proses itu bergerak mengikuti irama rekacita (imagineering) yang terukur, sebagaimana diajarkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui sistem yang jelas parameternya. Mulai dari perumusan mimpi (dark dreams – light dreams) sebagaimana dialami para nabi dan rasul, perumusan focal concern dan mengujinya dengan kekuatan pendorong dalam realita, sehingga imajinasi teruji, lalu terumuskan menjadi visi, titik pandang pencapaian akselerasi pada bentang waktu tertentu, untuk mencapai tujuan.
J.M. Fadhillah
Allah tak pernah menjebak hamba-Nya, manusia, ke lembah fantasi, kecuali manusia itu sendiri yang menjerembabkan diri ke dalam lembah itu.
Melalui firman-firman-Nya, Allah memberikan arah kepada Rasulullah Muhammad, untuk memandu manusia agar mampu mengenali perbedaan nyata antara ilusi, fantasi dan imajinasi dengan beragam peristiwa sebagai amsal.
Melalui takwil, manusia dapat membedakan, ke mana arah mimpi manusia. Ke alam ilusi, fantasi, atau imajinasi.
Ilusi adalah khayalan yang mengembara jauh dan tak penah mendarat ke alam nyata. Misalnya, mimpi manusia terbang ke angkasa tanpa sayap, melayang-layang di antara awan gemawan. Atau mimpi menjadi raja dengan segala kuasa, namun selalu berkemul tanpa ikhtiar. Hanya bersandar di batang pokok beringin, memandang matahari bersinar, menyaksikan banteng merumput, sambil membayangkan pergi mengunjungi Ka’bah baitullah sembarang masa.
Fantasi merupakan angan berlebih, melampaui kapasitas diri, dengan melambungkan hasrat tak terkendali, tanpa mengindahkan batas-batas parameter kepatutan dan kelayakan. Terbang ke angkasa raya dengan pesawat tempur tanpa pelindung cockpit dan pelindung diri. Atau menjadi raja dengan kekuasaan tanpa batas, seolah menempatkan diri sebagai penguasa tunggal yang menentukan hidup, mati dan rejeki manusia.

Robot Pengawal Penguasa. Mulanya adalah mimpi yang berkembang menjadi imajinasi, melalui proses pengembangan artifial intelligent menjadi kenyataan | khas
Imajinasi merupakan asa mewujudkan atau mengubah mimpi menjadi realita berdasarkan pertimbangan dan parameter tertentu, sesuai dengan standar kepatutan dan kelayakan manusia sebagai makhluk. Terbang ke angkasa raya dengan pesawat berteknologi mutakhir dilengkapi dengan pelindung cockpit dan diri, dengan kesadaran pengendalikan daya lesat yang sesuai dengan kapasitas. Atau menjadi raja yang kekuasaannya berbatas dengan aturan-aturan konstitusi sebagai basis order dan regulasi yang disusun dan dirumuskan sesuai dengan cita kolektif. Jelas sentra kepeduliannya, tak melampaui ukuran dan pertimbangan daya dorong pencapaian asa sebagai suatu realita.
Seorang Tuan Guru (Allahyarham Muhammad Su’aib), beberapa tahun lalu, menguraikan hal ini kepada saya, kala berbincang ihwal angan-angan (al-amani) dalam keseluruhan konteks kehidupan manusia dari sudut pandang ajaran Islam.
Pandangan ini memantik saya untuk membedakan substansi ilusi dan fantasi sebagai perangkat iblis untuk menyesatkan manusia, sebagaimana statemen ‘pembangkangan’-nya kepada Allah, seperti yang tersirat dalam QS An Nisaa’ : 119.
Sesuatu yang berbeda dengan permohonan manusia kepada Allah untuk mewujudkan imajinasi sebagai cita dan realita: hidup bahagia di dunia dan di akhirat, terbebas dari neraka (petaka) yang tersirat dalam QS Al Baqarah: 201.
Imajinasi dengan focal concern yang jelas sesuai dengan driving forces, ditopang oleh nilai inti, ideologi inti, dan budaya inti akan memandu manusia merumuskan visi sebagai titik capai periodik dalam mewujudkan asa – cita yang menjelma sebagai tujuan hidup. Dalam konteks inilah, cara hidup (way of life) berbasis tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah (strategi) seperti pernah dirumuskan HOS Tjokroaminoto dalam menggerakkan khalayak melakukan aksi pada fase-fase perjuangan kebangsaan, mencapai kemerdekaan RI.

Kota-kota dibangun dan berkembang, mulai dari mimpi dan imajinasi tentang tempat permukiman manusia, akhirnya menjadi ruang peradaban | khas
Imam Al Ghazali mengupas dimensi mimpi dan produknya (ilusi, fantasi, imajinasi) dan secara spesifik wacana konvergensi mimpi menjadi imajinasi sebagai kategori penting, meskipun ambigu, karena bertanggung jawab atas beragam aktivitas visual seperti mimpi, penglihatan, dan prediksi.
Kupasan Al Gazali tentang imajinasi, menurut Aaron Hughes (dalam Imagining the Divine: Ghazali on Imagination, Dreams, and Dreaming), berkaitan dengan kebertanggungjawaban untuk menerjemahkan dunia ilahi yang tidak berwujud menjadi citra material jasmani. Kelak, hal ini, mewakili bagian integral dari pengalaman spiritual.
Imajinasi dalam kajian Al Ghazali, mencoba mengatasi ketegangan anikonik mendasar dalam monoteisme antara imanensi – kebergantungan pada kesadaran atas hakekat eksistensi Allah — dan transendensi-Nya.
Bagi filsuf, produk imajinasi bersifat chimerical – sesuatu yang cenderung tak masuk akal, namun bagi para kalangan spiritualis (termasuk mistikus), imajinasi menyediakan akses penting menuju kebenaran.
Samir Akkachu (1997) mengemukakan, dalam ontologi (cabang pemikiran metafisika terkait dengan eksistensi Allah) Ibn ‘Arabi, imajinasi berperan penting, sebagai sumber kreatif dari manifestasi, penyebab utama keberadaan kita, dan perantara kuat yang memungkinkan kita untuk tetap berhubungan terus-menerus dengan Allah Yang Tak Terbatas dan Yang Maha Absolut. Saya memahmi ‘Yang tak Terbatas dan Yang Maha Absolut, sebagai makna hakiki atas kosakata ahad, sehingga Dia adalah sesuatu Yang Maha Distinct dan Maha Unique dalam QS Al Ikhlash: 1-3. Suatu penegasan eksistensi Allah tiada banding, tiada sanding.
Melalui konsep imajinasi, Ibn ‘Arabi menurut Akkachu, berhasil membedakan antara mekanisme kreativitas manusia dan Ilahi, suatu diferensiasi yang kemudian digunakan Ibn ‘Arabi untuk menyelesaikan paradoks keabadian (qidam) dan kebaruan (huduth) dunia.

Tuhan memungkinkan imajinasi sebagai jalan kreativitas manusia yang terbatas menuju dimensi penciptaan tak terbatas kuasa-Nya | khas
Kajian Ibn ‘Arabi ihwal imajinasi sangat kompleks dan untuk menggambarkan dimensi transendental dan ontologisnya. Kajian ini mengadopsi pendekatan hermeneutis terhadap teks-teks asli, dengan lebih menekankan pada kondisi interpretatif yang dipengaruhi oleh keasyikan kreativitas seni dan keinginan untuk memahami mekanisme kreatif imajinasi, baik pada tataran manusiawi maupun Ilahi di alam semesta. Suatu kerangka ontologis yang lebih luas daripada kontinjensi historis dan kontekstual.
Zain Alam, seorang musisi tradisional Islam yang studi di Universitas Harvard, mengemukakan, imajinasi terindah yang dialaminya sepanjang hidup, setiapkali membayangkan ayahnya mengumandang adzan ke telinganya, beberapa menit setelah dia dilahirkan.
“Beberapa menit setelah saya lahir di Flushing Hospital di Queens, New York City, ayah saya membisikkan syahadat ke telinga saya: La ilaha il-Allah—Tidak ada Tuhan selain Allah. Saya diperkenalkan dengan Islam dengan dunia, dan irama La ilaha il-Allah menggantikan detak jantung ibu saya. Semua pengalaman lain mengikuti irama syair Islam,” tulisnya dalam “Islam & the Imagination: Notes from an American Artist in the 21st Century.” (2017).
Imajinasi itu terus berkembang, semasa kecil, di lingkungan Kennesaw, Georgia dan kemudian di kota-kota di seluruh Asia Selatan, ketika dia mendengar syahadat diulang setiap hari dalam azan, yang menyerukan orang-orang beriman untuk salat. Tidak ada yang mempermasalahkan keindahan suara muazin yang kuat, nyaring, dan merdu, menyampaikan seruan untuk tunduk runduk ke hadapan Allah dan memperoleh kebahagiaan (sebagai kemenangan).
Imajinasi tentang eksistensi Allah, Rasulullah Muhammad, ketaatan sebagai manifestasi kesadaran tentang hakikat eksistensi manusia yang bukan sesiapa, untuk memperoleh kebahagiaan (sebagai puncak kemenangan), bukanlah angan-angan kosong. Melainkan imajinasi yang dipadati oleh kesadaran iman.

Melalui mimpi tak terbatas manusia dengan bekal akal budi mengelolanya menjadi imajinasi dan melalui ikhtiar denghan sains dan teknologi mewujudkannya menjadi realitas | khas
Sebagai musisi, menurut Alam, dia membentang jarak antara realita dengan imajinasi, untuk memperoleh intuisi dalam menggubah lagu. Proses panjang penulisan lagu baginya adalah, bagaimana dia mencoba bersikap benar menempatkan imajinasi yang dimulai dari melodi dalam mimpi.
Tugasnya sebagai komposer hanyalah tunduk pada mimpi, yang ‘memandu’-nya untuk menyusun dan merasakannya perubahan mimpi itu tidak menjadi ilusi dan fantasi, tetapi menjadi imajinasi yang masuk ke dalam bentuk, melalui intuisi pribadi yang terbentuk oleh tradisi (dalam kehidupan nyata) yang mendalam.
Berbagai kalangan, melintasi proses perubahan mimpi menjadi ilusi dan fantasi, atau imajinasi, dalam melakukan proses kreatif — mulai dari creativity kick off sampai innovation breakhtrough, dalam berbagai aspek kehidupan.
Proses itu bergerak mengikuti irama rekacita (imagineering) yang terukur, sebagaimana diajarkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui sistem yang jelas parameternya. Mulai dari perumusan mimpi (dark dreams – light dreams) sebagaimana dialami para nabi dan rasul, perumusan focal concern dan mengujinya dengan kekuatan pendorong dalam realita, sehingga imajinasi teruji, lalu terumuskan menjadi visi, titik pandang pencapaian akselerasi pada bentang waktu tertentu, untuk mencapai tujuan.
Dengan kecerdasan budaya (sains, teknologi, seni, ekonomi, sosial, religi) manusia menerbitkan, menyeleksi, dan menguji mimpinya. Menyianginya, mana yang akan menjadi ilusi dan fantasi, manapula yang akan menjadi imajinasi dan realita. |