Menyambut Hajatan Betawi UIA 2022

Kini, tinggal lagi, generasi baru kaum Betawi — yang harus menjawab tantangan terkait dengan singularitas, transhumanitas, dan perancangan peradaban baru — dalam semangat menjemput seabad Indonesia Merdeka, mesti meneguhkan eksistensinya sebagai salah satu simpul penting ke-Indonesia-an. Dalam konteks ini, kata kuncinya, seperti sering diungkapkan Bang Dai : bersatu dalam kolaborasi dan sinergi (ta’awun) dengan memperluas wawasan nasional dan internasional, berbasis wawasan budaya dalam makna yang luas.

Nota Renjana Bang Sèm

Universitas Islam As Syafi’iyah (UIA) yang didirikan Allahyarhamah Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah di Jatiwaringin, bagi saya merupakan centre of excellence kaum Betawi dan ummat Islam, di antara berbagai universitas di Jakarta.

Cita-cita KH Abdullah Syafi’i ulama dengan model komunikasi dan retorika da’wah yang khas — dan belum ada penggantinya –, mencerminkan keilmuan dan integritas kaum Betawi dan cita-cita puterinya, Tutty Alawiyah (saya biasa memanggil Kak Tutty) yang menjadi simbol kecendekiaan perempuan Betawi, mewujud di UIA.

Kini, UIA berada dalam asuhan Prof. Dr. Dailamy Firdaus (Bang Dai) dalam Yayasan Perguruan Tinggi As Syafi’iyah (YAPTA) bersama adiknya, Nurfitriana Farhana, MA. dan adik-adiknya.

Proses panjang perjuangan menjadi pusat unggulan, bermula sejak 1933, kala KH Abdullah Syafi’i membangun masjid Al Barkah dan madrasah di Bali Matraman.

Tahun 1963, KH Abdullah Syafi’i beserta anak-anaknya melakukan kick off creativy pendidikan Islam melalui pendirian Akademi Pendidikan Islam (AKPI) As Syafi’iyah.

Gubernur Jakarta Raya, Anies Rasyid Baswedan pada Hajatan Betawi UIA 2018 : “Kebudayaan Betawi mesti terus dikembangkan. Betawi telah menjadi simpul ke-Indonesia-an” | dok. semhaesy

Inilah titik berangkat As Syafi’iyah memulai suatu gerakan membumikan al Qur’an sebagai upaya (tanpa henti) mengeluarkan manusia (umat) dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Ilahi, menuju jalan Allah nan Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, sesuai dengan isyarat Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana tercermin dalam Surah Ibrahim: 1.

Upaya terus menerus menjadikan UIA sebagai centre of excellence tak berhenti hanya pada bagaimana mewujudkan cita-cita Kak Tutty, menjadikan UIA sebagai great and good university berbasis kualitas dan menjadi kebanggaan umat Islam Indonesia, tak terkecuali, kaum Betawi di dalamnya.

Mencermati perkembangan UIA hingga kini, saya melihat ghirah dan gairah KH Abdullah Syafi’i mengangkat muru’ah umat Islam dan kaum Betawi terus mengalir, menjadi catu daya atau energizer yang terus bergerak dinamis.

Kiprah Bang Dai, yang juga anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) – Perwakilan Jakarta, baik dalam skala ke-Betawi-an, ke-Indonesia-an, dan dunia internasional, memungkinkan UIA menjadi tak hanya catu daya, melainkan pembangkit kebudayaan (culture generator) dalam makna yang sesungguhnya.

Kebudayaan sebagai induk dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, yang ditopang oleh sains, seni, ekologi, sosial, ekonomi, politik, berbasis aqidah, syariah, muamalah dan akhlaq Islami. Kebudayaan yang mampu memelihara keseimbangan artistika, estetika, dan etika.

Prof. Dr. Dailamy Firdaus – Pengagas Hajatan Betawi UIA : “Betawi bersatu menjadi lokomotif pergerakan budaya menuju peradaban baru.” – Hajatan Betawi 2018 | dok. semHaesy

Pendidikan sebagai jalan kebudayaan, dengan harmoni beragam minda dan metode, khasnya keselarasan pedagogi dan didaktika – tarbiyah islamiyah berorientasi amanah, shiddiq, fathanah, dan tabligh.

Muaranya, menghantarkan manusia sebagai modal insan (human capital dan human dignity) yang tak sekadar sumberdaya manusia (man power), untuk mencapai kualifikasi manusia berkualitas (ahsanit taqwimya’lu wa laa yu’la). Manusia komprehensif : kompeten dan kompetitif.

UIA menjadi salah satu ajang strategis proses ikhtiar umat Islam, tak terkecuali kaum Betawi, di tengah arus besar perubahan budaya yang sedang bergerak menuju era Society 5.0 dengan ciri utama internet on think dan artificial intelligent.

Dalam konteks ini, gagasan Bang Dai (2017, 2018, dan 2022) menyelenggarakan Hajatan Betawi di kampus UIA, saya maknai sebagai suatu upaya kongkret, memberikan ajang sekaligus jalan bagi kaum Betawi menjadi salah satu simpul penting dalam proses transformasi budaya Indonesia.

Seperti diungkapkan Bang Day (2018), bahwa dimensi Betawi adalah ke-Indonesia-an, ke-Islam-an, dan ke-Ilmu-an yang pada titik integrasi budaya (bukan lagi asimilasi dan asosiasi) di tengah arus besar transformasi, akan mampu menjadi bagian dari lokomotif penghela perubahan menuju peradaban baru. Peradaban konseptual. Peradaban digital.

Palang Pintu – ekspresi kaum Betawi sebagai masyarakat egaliter dan kosmopolit yang mempunyai integritas diri | Hajatan Betawi UIA 2018 | dok. semhaesy

Saya mengapresiasi dengan respek yang tinggi kepada Bang Dai, keluarga besar KH Abdullah Syafi’i, keluarga Kak Tutty dan Bang A. Chatib Naseh, yang konsisten mewujudkan komitmen KH Abdullah Syafi’i menempatkan ke-Betawi-an, ke-Indonesia-an, dan ke-Islam-an dalam satu tarikan nafas dalam menyelenggarakan pendidikan. Khasnya, pendidikan sebagai jalan utama perubahan nasib – termasuk muru’ah – kaum Betawi di dalamnya.

Hajatan Betawi yang menghadirkan ragam kearifan dan kecerdasan budaya kaum Betawi, mulai dari seni, sains, teknologi, nilai, norma, bahasa, silat, kuliner, fashion, dan tradisi mengusik dan memantik kesadaran untuk secara antusias melakukan reposisi kaum Betawi sesuai dinamika zamannya.

Apalagi, Bang Dai mengaktualisasi watak egaliter dan kosmopolit kaum Betawi yang sejak awal — berabad silam — sudah menunjukkan dirinya sebagai masyarakat inti yang inklusif, toleran, dan rendah hati, jauh sebelum Jakarta menjadi ibukota Republik Indonesia.

Bahkan, ketika Jakarta menjadi ibukota negara memainkan peran sebagai sentra peradaban Indonesia dan Asia Tenggara — termasuk pusat bisnis dan keuangan, sosial dan politik, budaya dan agama.

Meskipun demikian, ketika berbagai kalangan hanyut dalam arus perubahan Jakarta yang mengalir ke muara sekularisma, KH Abdullah Syafi’ie lantang menegaskan muruh kaum Betawi dengan houd dan proud kaum Betawi yang religius, islami. Washatiyah (moderasi) berintegritas.

Silat Treadisi Betawi pada Hajatan Betawi 2018. Ekspresi nilai keksatriaan kaum Betawi yang selalu siap menjaswab tantangan perubahan berlandas aqidah dan akhlak, paduan kearifan dan ketangkasan | dok. semhaesy

Hajatan Betawi UIA 2022, insyaAllah akan digelar pada penghujung Agustus 2022, setelah Undang Undang No. 3/2022 tentang Ibukota Negara yang baru disahkan dan diberlakukan. Ketika perubahan Undang Undang No. 29/2007 harus melakukan perubahan.

Maknanya, dalam sesi dialog pemikiran pada ajang Hajatan Betawi UIA 2002, diharapkan mengemuka berbagai pemikiran tentang positioning Jakarta sebagai salah satu global city dan kemandirian kaum Betawi.

Dari Hajatan Betawi 2022, dengan spirit egaliter, kosmopolit, ekuitas dan ekualitas budaya (tak terkecuali sosial, ekonomi, politik, dan lainnya) kita berharap berkembang pemikiran yang tak hanya menegaskan posisi dan konstelasi kaum Betawi sebagai masyarakat inti.

Jauh dari itu, menegaskan realitas kaum Betawi di tengah percaturan masyarakat global di berbagai aspek kehidupan. Kak Tutty — di masanya — telah menegaskan hakikat posisi Indonesia dan mengekspresikan kultura Betawi sebagai mercu peradaban Islam di Timur Matahari.

Kini, tinggal lagi, generasi baru kaum Betawi — yang harus menjawab tantangan terkait dengan singularitas, transhumanitas, dan perancangan peradaban baru — dalam semangat menjemput seabad Indonesia Merdeka, mesti meneguhkan eksistensinya sebagai salah satu simpul penting ke-Indonesia-an. Dalam konteks ini, kata kuncinya, seperti sering diungkapkan Bang Dai : bersatu dalam kolaborasi dan sinergi (ta’awun) dengan memperluas wawasan nasional dan internasional, berbasis wawasan budaya dalam makna yang luas. |

Cover Pict : Tari Baye-Baye ekspresi wawasan budaya global di atas nilai ke-Betawi-an dan ke-Indonesia-an – dok. semhaesy

Posted in ARTESTA.