Kekasihku.. sebagai bagian dari akademisi yang semestinya menjadi cendekiawan, bagi tahu aku, bagaimana cara menyelamatkan bumi, mengimbangi arus besar singularitas, ketidak-seimbangan keterampilan dengan kearifan, dan berbagai tantangan zaman yang sungsang. Zaman yang menghadapkan kita pada ketidak-pastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan.
Bang Sem
Kekasihku, angin senja tak lagi sejuk. Hembusannya tak lagi membelai wajah dengan desir kedamaian. Rembulan pun masih sembunyi. Bintang belum nampak untuk menawarkan isyarat esok.
Musim angin menderu sebentar lagi akan tiba. Tak pernah kutahu, angin yang membawa kesejukan surga atau angin yang membawa panas bara neraka.
Kita, sebagaimana halnya aku, tak kan pernah mafhum tentang surga dan neraka, karena yang baru bisa kupahami adalah berkah karunia dan petaka.
Kedunguanku tertimbun tertimbun bertahun-tahun lamanya di bawah lapisan atribusi, status sosial, dan beragam teori yang kita hafal berulang-ulang, tanpa pernah memahami hakikat sains dan ragam teknologi yang membuncah di atasnya.
Akibatnya, kita selalu seringkali menghampiri realitas hidup dengan alasan-alasan intuitif dan lupa, bahwa fenomena kehidupan yang dinamis dengan perubahannya yang dramatik, menyediakan ruang untuk merumuskan cara memecahkan masalah, the way of solution.
Itulah sebabnya kita seringkali memberikan kilah, ketika khalayak memerlukan cara melayari kehidupan yang dikendalikan oleh arus besar perubahan.
Inilah pandangan sikapku, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu tentang banyak hal yang seringkali disalah-pahami, dan kita tak mau mengerti bahwa kita sering salah paham membaca setiap fenomena perubahan.
***
Kekasihku.. aku tak paham musabab kita berada dalam realitas sedemikian. Aku tak cukup pandai menilai, bagaimana kecendekiaan tertimbun oleh pragmatisme dan perburuan simbol-simbol, posisi, dan kuasa.
Ya.. bagaimana aku akan pandai menilai segala kaum yang lebih gemar dan bersukacita berlomba memperebutkan kekuasaan melalui pragmatisme politik, dan tak pernah mau atau mampu berdukacita melihat dampak yang ditimbulkan oleh carut marut politik. Bahkan memahami diriku sendiri saja, seringkali aku tak pandai.
Aku hanya tahu — karena melihat — riak-riak perubahan ketika para politisi mengabaikan hakikat dirinya sebagai negarawan, ketika petinggi melupakan hakikat fungsi dirinya sebagai pemimpin, ketika para akademisi meninggalkan hakikat dirinya sebagai cendekiawan dan ilmuwan, ketika pensyarah (dosen) atau guru lebih sibuk sebagai pengajar dan mengabaikan hakikat dirinya sebagai pendidik.

Panyaweuyan – Maja, Majalengka kala senja | foto sem haesy
Bagi tahu aku, apa sesungguhnya yang terjadi, ketika para penjahat – maling besar yang merampas hak rakyat tak pernah kita sebut maling, secara eufemistik, kita sebut mereka koruptor. Satu dua tercokok, satu dua kabur bak hantu entah ke mana. Satu dua rehat dalam penjara dan berbagi pengalaman antar sesamanya, untuk mengatur siasat merampok lebih canggih lagi. Dan.. rakyat tetap berada dalam gelembung-gelembung buih di hamparan laut lepas kehidupan kita.
***
Kekasihku.. malam sebentar tiba. Aku masih duduk di sini, di atas bukit senyap memandangi bukit-bukit lain yang sudah dirobohkan dan hutan ditebangi secara sistemik. Lubang-lubang tambang terbiarkan begitu saja tanpa reklamasi, seperti hutan-hutan yang kian gundul terbiarkan tanpa reboisasi. Deforestasi seolah sesuatu yang wajar.
Ketika tanah longsor menimbun sawah dan ladang, banjir bandang menghempas permukiman penduduk, bahkan ketika bantuan sosial masa krisis sengaja ditimbun ke dalam lahan yang berubah fungsi, kita nyaris tak ambil peduli.
Kita, seolah-olah memandang semua realitas itu sebagai suatu kewajaran, keniscayaan. Bencana, seolah menjadi sesuatu yang dipandang sebagai hal biasa. Karena pada setiap bencana, selalu ada upaya untuk merompak hak rakyat, selalu ada peluang untuk mengulang-ulang kejahatan kemanusiaan yang sama. Seperti bencana dengan segala cerita lara yang menyertainya, selalu menjadi inspirasi yang cukup dihadirkan di larik-larik puisi dan syair lagu nestapa.
Sampai kapankah kita akan diam menyaksikan semua ini? Lalu hanyut oleh riuh gaduh politik musiman untuk dan atas nama demokrasi? Ikut terempas oleh percakapan-percakapan saling silang, saling hantam, silang sengketa khalayak yang diombang-ambingkan oleh firqah-firqah atas nama simbol, warna, dan aliran politik.
***
Kekasihku.. sebagai bagian dari akademisi yang semestinya menjadi cendekiawan, bagi tahu aku, bagaimana cara menyelamatkan bumi, mengimbangi arus besar singularitas, ketidak-seimbangan keterampilan dengan kearifan, dan berbagai tantangan zaman yang sungsang. Zaman yang menghadapkan kita pada ketidak-pastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan.
Akankah kita membiarkan diri menjadi ranting yang patah dan daun kering yang akan dihempaskan oleh angin menderu, yang boleh jadi membawa hawa panas petaka. Bagi tahu aku cara menghadapinya, termasuk cara menaklukan nanomonster berupa virus sebelum tiba pandemi, entah bila.
Aku kangen dengan pikiran-pikiranmu, kecerdasan dan kearifanmu, menempatkan sains, teknologi, politik, ekonomi, bahkan kosmologi sebagai bagian dari kebudayaan. Ya.. kebudayaan yang menghantar manusia ke gerbang kehidupan yang permai di dunia dan di akhirat, dan terbebas dari petaka.
Aku kangen ! |
Panyaweuyan – Maja, Majalengka: 26.07.22