Karena sejak kanak-kanak terbiasa mendapat ruang dialog dan kemerdekaan dialektis dalam memandang dogma dengan segala ikutannya, proses pendidikan keluarga yang mereka tempuh, juga terhindari dari sikap dogmatis.
Salah satu hal yang saya syukuri adalah prinsip-prinsip kehidupan inklusif yang diturunkan orang tua saya, terus terpelihara, sehingga kami terhindar dari jebakan-jebakan hidup sektarian. Dan, terbiasa menerima perbedaan.
Sém Haésy
Salah satu komitmen saya kepada anak-anak saya –sejak mereka lahir dan melintasi masa tumbuh kembang anak — adalah memperlakukan mereka sebagai manusia yang merdeka dan berdaulat atas dirinya.
Sebagai ayah, saya memandang, selain menafkahi, tugas utama saya adalah menemani dan memandu mereka menggunakan seluruh instrumen yang ada di dalam dirinya — baik yang berhubungan dengan jasmani dan ruhaninya — secara proporsional dan fungsional.
Mereka merdeka menggunakan nalar, naluri, nurani, rasa dan indrianya untuk berkelana ke alam ilusi, fantasi, dan imajinasi. Bila hendak diamsalkan, mereka merdeka menjadi penunggang kuda yang melintasi sahara.
Dengan cara dan metode sendiri, saya memberitahu dan menunjukkan mana ilusi, fantasi, dan imajinasi mereka. Saya juga mengikuti berbagai panduan hidup keagamaan untuk mengasah dan mematangkan perkembangan psikis dan psikologis mereka.
Pada fase awal tumbuh kembang mereka, memang agak repot, karena kehidupan manusia setiap hari bergerak dari ruang yang satu dengan lainnya yang sangat berbeda. Dalam berbagai hal, kadang menghadapkan mereka berada pada situasi konflik di dalam dirinya.
Apa yang mereka dapatkan di sekolah, di luar rumah, dan di rumah, termasuk nilai-nilai hidup, senantiasa tak sama. Termasuk dalam memahami hakikat dan praktik keagamaan.
Anak, bagi saya, bukan obyek yang harus mengikuti subyek. Dia punya hak dan otoritas atas dirinya untuk berbeda dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
Kami bersepakat dalam satu hal yang dikenal umum sebagai aturan hidup yang diatur dalam agama dan negara. Termasuk aturan yang mungkin dan tidak mungkin dipertanyakan.
Sebagaimana saya mengalami pendidikan dari orang tua, praktik keberdaulatan manusia secara pribadi diperkaya dengan nilai dan norma.
Sebagai muslim, patokan terkait aturan hidup dan kehidupan meliputi aqidah, syari’ah, muamalah, dan akhlaq. Patokan-patokan tersebut saling melengkapi satu dengan lainnya.
Karenanya, praktik ibadah secara relatif dan korelatif mesti berdampak kebaikan dan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.
Wujudnya adalah praktik kehidupan inklusif dan demokratis, yang berdimensi keadilan, keadaban, dan kemanusiaan. Termasuk di dalamnya, integritas diri dan kemampuan adaptasi dalam kehidupan inklusif.

Potret Diri | basic illustration : muda
Sebagai manusia berdaulat, anak berhak mendapat ruang kematangan batin melalui cara yang diyakininya. Cara menjadi penting, agar anak tak terbiasa menghadapi segala tantangan kehidupannya dengan alasan.
Intuitive reason pada skala tertentu sangat perlu, namun dalam merumuskan dan mengelola imajinasi hidup — yang bermuara pada cita-cita dan tujuan — mereka sangat memerlukan kesadaran rasional tentang cara hidup. Termasuk dalam melakukan kebaikan dan kebajikan.
Niat baik mesti dilakoni dengan kiat dan siasat yang baik. Dengan cara ini, anak mempunyai kemerdekaan untuk terbiasa mengji kebaikan, sebagaimana mereka mempunyai kemerdekaan menguji kebenaran.
Kiat dan siasat baik memandu mereka untuk punya kemauan dan kemampuan melakukan verifikasi dan konfirmasi tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan ketidak benaran. Termasuk dalam menyeleksi fakta yang nampak oleh kasad mata, dan memberi melihat fakta secara dimensional.
Karena meyakini, sejak kecil mereka sudah terbiasa dengan kemerdekaan dan kedaulatan, serta punya cara khas dalam mengelola kemerdekaan tersebut, relatif saya tak was was melihat perkembangan kehidupan anak-anak. Saya meyakini, mereka cukup mampu menghadapi tantangan kehidupannya.
Belakangan, ketika mereka telah menikah dan memberi saya cucu, dimensi kedaulatan mereka lebih nampak utuh.
Masing-masing punya cara dan metode mendidik anak-anaknya. Kedaulatan mereka atas rumah tangganya masing-masing terlihat (dan saya rasakan) penuh. Bahkan, jauh berbeda dengan kehidupan empirik saya berumah-tangga.
Cucu-cucu juga tumbuh dan berkembang dengan dinamika kehidupan di zamannya. Yang terasakan adalah mekar dan semaraknya keseimbangan seni, sains, teknologi, agama, dan kesadaran ekologis.
Karena sejak kanak-kanak terbiasa mendapat ruang dialog dan kemerdekaan dialektis dalam memandang dogma dengan segala ikutannya, proses pendidikan keluarga yang mereka tempuh, juga terhindari dari sikap dogmatis.
Salah satu hal yang saya syukuri adalah prinsip-prinsip kehidupan inklusif yang diturunkan orang tua saya, terus terpelihara, sehingga kami terhindar dari jebakan-jebakan hidup sektarian. Dan, terbiasa menerima perbedaan.
Hal lain yang saya syukuri adalah kedaulatan anak, justru menghidupkan tanggungjawab personal dan sosial mereka terhadap lingkungan sosialnya masing-masing, mulai dari lingkungan domestik.
Kami berpandangan sama:”Kalau hidup bertujuan mencapai kebahagiaan dan terbebas dari petaka, mengapa pula kita menjauhi kebahagiaan dan mendekati petaka?” |
Renungan dinihari | Padu – Bonjer, 20 Mei 2022