Pada masanya kaum Betawi dikenal sebagai peternak sapi unggul penghasil susu, yang tersebar di berbagai lokasi di wilayah Selatan. Mulai dari Senayan, Mampang, Buncit, Kemang, dan daerah lain. Akan halnya di wilayah Barat, mulai dari Kembangan, Poris Gaga, Joglo, Meruya dan sekitarnya, pernah dikenal sebagai penghasil kerbau. Demikian pula halnya dengan Jakarta Timur.
catatan bang sém
Ini bukan soal kandang biasa, meski bukan juga kandang buat orang. Kandang sungguhan yang disiapkan secara terencana dan terkelola baik.
Kandang permanen yang dibangun dengan bentuk bangunan serta perangkat sesuai standar peternakan modern, serta sistem sanitasi dan daur limbah yang tak mencemari lingkungan.
Saya lebih suka menyebutnya terminal vetening untuk Sapi, Kerbau, dan Kambing. Pemilik dan pengelolanya bagian dari kaum Betawi Muda, yang sehari-hari bergiat dalam dunia kepemudaan. Khasnya, Pramuka, Bung Latif.
Orang muda Betawi ini berkongsi dengan abangnya, mengelola terminal vetening yang diberi jenama, “Kandang Betawi Muda,” yang multi tafsir: konotatif dan denotatif.
Intinya sih, inilah bisnis orang muda Betawi yang kembali ke salah satu titik pangkal budaya: peternakan.
Lokasinya di daerah Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Tak begitu jauh dari kantor kelurahan dan jalur lintas tol JORR (Jakarta Outer Ring Road). Kawasan yang selalu menjadi incaran kaum beruang berbisnis properti.

Bung Latif (tengah kiri), Bang Yusron (Ketua Umum ASTRABI), Bang Boy Buchori (Ketua FJB) dan Bang Beky Mardani (Ketua Umum LKB) bersama anggota FJB di Kandang Betawi Muda | foto: setyohadi
Saya datang ke Kandang Betawi Muda, Ahad petang (22/5/22), bersama pengurus dan penggiat Forum Jurnalis Betawi (FJB), yang berkiprah dalam dunia jurnalistik.
Dari apa yang nampak terlihat dan paparan Bung Latif, banyak informasi di dapat. Tak hanya soal bisnis yang menggiurkan tapi penuh tantangan dan risiko ini.
Tak mudah mengurus lebih dari 250 ekor sapi (termasuk kambing dan kerbau), kualitas prima yang sesuai dengan standar hewan kurban.
Selain harus melalui proses dan prosedur kesehatan hewan (maklum, sering terancam penyakit mulut dan kuku), kompetisi di bisnis ini juga diramaikan oleh pemodal besar.
Para pemodal besar ini punya akses yang kuat dengan kalangan petinggi dan politisi yang punya daya pengaruh terhadap kebijakan, termasuk kebijakan impor sapi. Maklum, politisi senang ‘dagang sapi.’ Apalagi bila sudah dekat dengan Pemilihan Umum.
Bung Latif terbilang orang muda kreatif di bidangnya. Selain fokus pada penggemukan, pemeliharaan kesehatan, dan berbagai hal yang berhubungan dengan penyediaan hewan kurban berkualitas, dia juga memusatkan perhatian pada berbagai aspek menarik. Khasnya aspek bisnis yang bertumpu pada penetapan harga jual, kiat dan siasat pemasaran dengan cara-cara yang mengikuti dinamika teknologi informasi mutakhir.
Dari ceritanya, saya menangkap kejelian dalam mencapai nilai keekonomian hewan ternaknya, terutama sapi kualitas prima (dengan berat di atas 280 – 1.000 kilogram), termasuk sapi jenis Limousin dan sapi berotot (saya menyebutnya sapi binaraga).

Ketua Umum LKB, Bang Beky Mardani cerita pengalamannya terjatuh dari punggung kerbau dan kambing yang memungkinkan dia memungkas pendidikannya | foto setyohadi
Kerjasama Kandang Betawi Muda dengan FJB adalah salah satu kiat dan siasat saling memberi maanfaat, terutama untuk saling bertukar dan informasi dan meluaskan peluang dalam banyak hal.
Mulai dari diseminasi informasi tentang kiprah Bung Latif dan Kandang Betawi Muda dan pengembangan komunikasi bisnis, juga peluang bagi FJB menjadi mediator bisnis sapi, kambing dan kerbau. Baik dalam konteks Idul Adha, juga bagi kontribusi — sekecil apapun — dalam suplai daging fresh bagi warga Jakarta.
Dari aspek sosio budaya, usaha dan upaya Kandang Betawi Muda, pantas didukung oleh FJB. Terutama, karena di sini, Bung Latif dan abangnya menyadarkan kembali keunggulan peternak sapi.
Pada masanya kaum Betawi dikenal sebagai peternak sapi unggul penghasil susu, yang tersebar di berbagai lokasi di wilayah Selatan. Mulai dari Senayan, Mampang, Buncit, Kemang, dan daerah lain. Akan halnya di wilayah Barat, mulai dari Kembangan, Poris Gaga, Joglo, Meruya dan sekitarnya, pernah dikenal sebagai penghasil kerbau. Demikian pula halnya dengan Jakarta Timur.
Di berbagai wilayah lainnya, kaum Betawi pada masanya juga bertangan dingin dalam beternak kambing. Di Tanah Abang, kaum Betawi dikenal sebagai penyembelih kambing yang andal.
Budaya kaum Betawi mengonsumsi daging kerbau dan daging kambing telah melatih keterampilan tersendiri dalam kuliner khas Betawi, seperti semur daging kerbau, sate buntel, sop kaki kambing, gule atau gorengan kambing, sate kambing, dan lain-lain yang melengkapi kuliner khas nasi uduk, ketupat sayur, dan lain-lain.
Setiap tahun, menjelang lebaran, di kalangan kaum Betawi juga berkembang gotong royong – engkoan atau patungan membeli kerbau, karena lebaran akan terasa hambar tanpa semur.

Dua di antara ratusan sapi di Kandang Betawi Muda | foto setyohadi
Di Kandang Betawi Muda, Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Bang Beky Mardani, menceritakan kenangan empirismanya ‘bergaul’ dengan kerbau dan kambing ketika masa bocah. Mulai dari kenangan terjatuh dari punggung kerbau sampai memelihara kambing untuk keperluan biaya sekolah, hingga rampung.
Begitu juga dengan Bang Yusron, Ketua Umum Asosiasi Silat Tradisi Betawi. Ia bercerita ihwal keandalan kaum Betawi dalam hal ternak dan pengolahan susu sapi, yang disitribusikan ke berbagai wilayah di kawasan Menteng dan Kebayoran dengan menggunakan sepeda batangan yang dilengkapi dengan kantung botol susu berbahan belacu.
Alhasil, dari terminal vetening dan pusat penjualan sapi, kerbau dan kambing Kandang Betawi Muda, banyak inspirasi beragam yang memantik kreativitas para pengurus dan anggota FJB.
Tak hanya itu, karena Bung Latif juga menjadi bagian dari Asosiasi Pengusaha Betawi (APB), terjadi juga silaturahim dan sambung rasa sesama kaum Betawi.
Dari Kandang Betawi Muda – Petukangan Utara, saya hanya bisa mewanti-wanti, dalam proses perumusan perubahan undang-undang tentang Jakarta ke depan, siapa saja, jangan pernah sekejap pun berfikir ingin meng-kandang-kan anak Betawi yang pantas dan patut memimpin kota raya Jakarta. Tak terkecuali dalam proses penunjukan pejabat sementara Gubernur Jakarta, selepas 16 Oktober 2022 mendatang.
Sejumlah sapi melenguh ketika saya bicara dan pamit pulang. Boleh jadi, ‘paham’ apa yang saya maksudkan. |