Ketel Retak dalam Jebakan Fantasi Kaum Hedonis

Kaum hedonis tak memerlukan omongan – meski mengandung kebaikan — karena yang tak sesuai dengan apa yang mereka rindukan. Tak klop dengan hasrat kebahagiaan dalam fantasi mereka. Situasi semacam ini bisa terjadi di berbagai lapangan kehidupan. Politik, pendidikan, bisnis, bahkan agama.

Windhunoviari

“Human speech is like a cracked kettle on which we tap crude rhythms for bears to dance to, while we long to make music that will melt the stars.” ― Gustave Flaubert, Madame Bovary.

Ini salah satu kutipan menarik dari novel klasik Perancis karya Gustave Flaubert bertajuk Madame Bovary yang pertama kali diterbitkan pada paruh abad ke 19 (1 Oktober 1856), yang diserialkan publikasinya di Revue de Paris.

Secara bebas, kutipan ini bisa diartikan, “Omongan manusia seperti ketel retak, dimana kita mengetuk ritme kasar untuk beruang menari, sedangkan kita, rindu membuat musik yang akan melelehkan bintang-bintang.”

Novel Madame Bovery berkisah tentang petualangan cinta seorang perempuan bernama Emma, seorang gadis molek, putri pemilik perkebunan.

Pesonanya memikat. Emma berhasrat mendapatkan cinta dari lelaki tampan yang memujanya dengan penuh gairah. Ia mendambakan kehidupan cinta yang indah dalam kehidupan mewah, yang kerap melintas dalam fantasi.

Novel yang dimasukkan ke dalam genre realisme baru dalam sastra di masanya, ini pada ghalibnya berkisah tentang kehidupan suram pernikahan yang berujung tragedi.

Emma dinikahi Charles Bovary, dokter baik hati yang membosankan dan mengembara dalam fantasinya, menikmati pernikahan sebagai petualangan. Lantas memformulasikan kebahagiaan secara artifisial:  berada dalam lingkungan kelas atas dan menikmati penerbangan mewah, sebagaimana tergambar dalam novel romantis yang dibacanya.

Emma membelakangi Bovary dan berselingkuh dengan Rodolphe, tuan tanah di lingkungannya. Rodolphe mencampakkannya, sehingga Emma mengalami demam otak yang membuatnya terlelap selama sebulan.

ilustrasia

Petualangannya berlanjut, kala dia menjalin hubungan dengan Léon, mantan kenalannya, dan membuat hidupnya menjadi semakin kacau.

Emma terus terjebak dalam fantasinya, abstraksi gairah, sekaligus mengabaikan realitas sebenarnya. Dia menjadi pribadi yang terbelah antara khayalnya yang romantis dan kenyataan hidup yang pahit.

Fantasinya itu menyeret dia ke palung gelap kehidupan bertimbun utang. Rodolphe dan Léon tak mau membantunya. Emma kian terperosok ke palung gelap kehidupannya, lalu bunuh diri dengan menenggak arsenik.

Emma tak bisa keluar dari jebakan fantasi dan mati dalam kepahitan hidup.

Gustave Flaubert memusatkan perhatian pada gaya dalam penulisan novelnya ini. Tak hanya dalam mengurai gagasan dalam narasi, tetapi juga dalam dalam pilihan-pilihan diksi yang menggedor di masanya.

Banyak narasi dengan aksentuasi diksi dalam novelnya ini yang kemudian menjadi kutipan dan diaplikasikan untuk menunjukkan suasana kehidupan pada realitas pertama.

Berbagai kutipannya — termasuk kutipan di awal tulisan ini –masih relevan dalam kehidupan kini (di abad ke 21). Terutama ketika berkembang hedonisme dalam kehidupan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai hedonisme sebagai “pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.”

Dalam kehidupan kita kini, tak sedikit manusia yang terjebak dalam fantasi dan menjebak mereka menjadi kaum hedonis.

Manusia lantas memilah percakapan dalam realitas pertama secara paradoks dengan harapan fantasia.

ilustrasia

Omongan orang — meski benar dan bertujuan baik — dipandang laksana ketel retak yang ketika diketuk menimbulkan ritme kasar yang hanya pantas menjadi ritme pengiring beruang (baik secara harafiah maupun metaforik) menari.

Kaum hedonis tak memerlukan omongan – meski mengandung kebaikan — karena yang tak sesuai dengan apa yang mereka rindukan. Tak klop dengan hasrat kebahagiaan dalam fantasi mereka.

Situasi semacam ini bisa terjadi di berbagai lapangan kehidupan. Politik, pendidikan, bisnis, bahkan agama.

Hedonisme menyeret kaum hedonis ke dalam kehidupan artifisial, dan memantik mereka keluar dari pola kehidupan yang normal dan wajar.

Dalam situasi demikian, siapa saja yang terkungkung hidup sebagai hedonis, melakukan apa saja yang mereka pandang dapat menghantar mereka ke dalam kehidupan yang dikhayalkannya.

Tindakan manipulatif, koruptif, kolutif, dan sejenisnya, subur karena hedonisme. Tak terkecuali, aksi “maling teriak maling.”

Realitas hidup, seberapa pahit dan getir pun adalah sesuatu yang harus disyukuri. Menerima realitas semacam ini, disebut qana’ah.

Hidup memang mesti realistis. Basisnya, integritas, sehingga tak mudah diombang-ambingkan fantasi. Karena hidup bukanlah petualangan melayari fantasi. Hidup adalah menjalani realita. Ada kewajaran dan tanggungjawab di dalamnya. |

Posted in HUMANIKA.