Rasa Cendekia Soto Madura dan Sate Buntel Cak Ong

Sajian sate buntel yang menjadi salah dua menu utama di kedai makan, itu menurut Cak Ong sangat disukai penikmat, termasuk Dipo Alam dan beberapa tokoh nasional dan tokoh Madura, serta kalangan intelektual yang kerap singgah makan (atau memesan) di kedai yang relatif baru itu. Saya beruntung, bisa menikmatinya soto dan sate, itu saat berbuka puasa, sambil merasakan atmosfir perubahan suasana dari senja ke malam, serta lalu lalang kendaraan yang melintasi – mendaki jembatan lintas tol dari arah BSD (Bumi Serpong Damai) ke Ciputat.

Bang Sém

Adzan maghrib itu kumandang, disusul perubahan suasana dari senja ke malam yang merambat kelam. Lalu lintas di jalan dan jembatan lintas tol Kunciran – Pamulang, mulai berkurang.

Kampung Serua – Ciputat terasa sedang berubah. Sangat terasa, salah satu kawasan di bilangan Ciputat, ini sedang menggeliat, dari kawasan sub urban menjadi kawasan urban baru.

Dinamika perubahan, amat terasa mengikuti perkembangan cepat kawasan Cipaserong (Ciputat – Pamulang – Serpong) — yang terus bergerak meraih budaya metropolis.

Kami (beberapa kolega dan saya) segera berbuka puasa. Usai salat maghrib, kami segera menyantap soto Madura dan sate buntel khas a la Kedai Makan Cak Ong.

Hidangan sedap kuliner asal Madura kaya rempah, itu olahan tangan perempuan Malang, istri Cak Ong, yang nama aslinya Fathorrahman Fadli, pensyarah (dosen) dan pengamat politik di Universitas Pamulang, Banten yang juga sedang bertumbuh dan berkembang.

Saya sangat menikmati soto yang rempahnya (jahe, lengkuas, cengkih, merica), koya, daun bawang dengan sedikit saledri, jeruk peras, dan sambal rebusnya sangat terasa.

Dari tangan Nyonya Ong inilah mengalir prinsip “Memasak dengan Cinta” | dok. Cak Ong / NurIswanchannel

Bila saya ajak cucu saya menikmati Soto Madura olahan tangan perempuan Malang, Ahad (10.04.22), itu boleh jadi akan diberi label spices beef soup.

Berbeda dengan soto Madura lain yang sering saya nikmati dari pemegang merk ternama, asal Surabaya, soto Madura yang saya nikmati saat berbuka puasa kali ini sangat khas.

Hidangan rumahan yang tidak murahan. Segala rasanya terasa dan tertinggal di lidah,  pas dengan selera.

Saya teringat Faith Durand (2019), penulis khas kuliner dari Kitchn, yang menulis, bahwa masakan dalam kelompok soto dan sop, lebih dari kebijakan hidangan lainnya. Membawa penikmatnya ke dalam misteri rasa.

Daging yang bersekutu dengan koya dan bumbu rempah, yang dimasak dengan suhu tertentu, rempah-rempah dengan daya aromatiknya, serta sedikit sayur yang memberi ‘aksen’ tertentu, plus telur rebus yang dibelah, menjadikan sesuatu yang nampak sederhana menjadi istimewa.

Misteri rasa semacam itulah, yang menurut guru besar seni pertunjukan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia), Prof. Dr. Endang Caturwati – yang teramat piawai memasak – membawa kenangan tersendiri bagi setiap peminatnya. Bahkan, kerap memantik rasa rindu. Sebagaimana Soto Rawon hasil olahannya menjadi pemantik rindu anak dan koleganya dari berbagai daerah dan negeri. Nyonya Ong menerapkan prinsip yang sering dikemukakan Prof. Endang, “memasak dengan cinta.”

Cak Ong bersama Prof. Bill Liddle – Indonesianis dari Ohio State University – Amerika Serikat | dok Cak Ong

Soto Madura yang saya santap saat berbuka puasa, ini juga memantik obsesi untuk menikmatinya kembali. Persis seperti obsesi saya menikmati Gule Kambing khas masakan Betawi di bilangan Petamburan atau Sop Buntut dan Sop Kuning Bogor.

Saya kerap diskusi tentang resep masakan, termasuk takaran bumbu masakan dengan Prof. Endang Caturwati — yang juga seorang koreografer dan mantan penari –, termasuk minestrone domba dengan sayuran, yang berbeda dengan sup chorizo domba.

Soto Madura yang saya nikmati malam itu, tak hendak segera lenyap dari lidah, ketika Cak Ong, menyajikan sate buntel daging sapi dengan tusuk besi yang membuat daging matang luar dalam.

Saya sangat terobsesi dengan sate buntel rempah tamarind Betawi – Kebon Kacang, Jakarta yang sudah sangat lama tak pernah saya dapatkan lagi, meski setiap tahun, saya selalu mendapatkan dan menikmatinya dari (istri wartawan senior) Asro Kamal Rokan.

Sajian sate buntel yang menjadi salah dua menu utama di kedai makan, itu menurut Cak Ong sangat disukai penikmat, termasuk Dipo Alam dan beberapa tokoh nasional dan tokoh Madura, serta kalangan intelektual yang kerap singgah makan (atau memesan) di kedai yang relatif baru itu.

Kedai Cak Ong, di Kompleks Pertanian, tepian jembatan lintas tol, kelurahan Serua – Ciputat, dari arah jalan Bumi Serpong Damai ke Ciputat | dok. Cak Ong / NurIswanchannel

Saya beruntung, bisa menikmati soto dan sate, itu saat berbuka puasa, sambil merasakan atmosfir perubahan suasana dari senja ke malam, serta lalu lalang kendaraan yang melintasi – mendaki jembatan lintas tol dari arah BSD (Bumi Serpong Damai) ke Ciputat.

Selebihnya, suasana menjadi gayeng, karena soto dan sate yang dinikmati tanpa seorangpun Siti, dihidupkan atmosfernya dengan perbicangan cendekia tentang banyak hal. Mulai dari ironi intelektualitas dalam proses membangsa, stuttering culture, sampai ke isu-isu aktual semacam kelangkaan minyak goreng di ‘negeri kelapa sawit,’ demokrasi ekonomi dan demokrasi politik yang kian kehilangan makna.

Dan, ini yang juga menarik. Cak Ong juga menjelaskan ritus dan tata cara makan Sate Buntel dengan tusuk logam, itu. Demikian pula halnya dengan tata cara makan Soto Madura. Saya merasa, ada kreativitas di situ.

Khasnya, ketika Cak Ong merumuskan sesanti, “Rasa Soto Madura dan Sate Buntel Cak Ong, memang tak bohong.” Dia tergelak, ketika saya respon dengan cletukan, “Cuma di kedai Cak Ong, olahan rasa perempuan Malang, sungguh cendekia.” |

Foto-foto: Dokumentasi Cak Ong, termasuk yang bersumber dari @NurIswan_Channel

 

Posted in ARTESTA.