“Dengan keberanian menciptakan ekspresi baru, Remy Sylado mengajak kita terlibat dengan itu semua. Ia menawarkan bianglala kebudayaan sebagai titian untuk mengatasi aneka tegangan dan perbedaan. Kebudayaanlah yang menjadikan manusia adalah manusia – makhluk yang beberapa ratus ribu tahun lalu menemukan bahasa untuk berkomunikasi secara beradab… “
JAKARTA | Seniman ulung multi talenta Remy Sylado dan Masyarakat Adat Kinipan – Lamandau, Kalimantan Tengah, yang gigih melindungi hutan hujan tropis Indonesia, akan menerima Penghargaan Akademi Jakarta 2021, Senin – 28 Juni 2021, petang secara daring dan disiarkan langsung melalui saluran YouTube Dewan Kesenian Jakarta.
Ketua Akademi Jakarta 2020 – 2025, Seno Gumira Ajidarma mengemukakan, penghargaan tersebut adalah tradisi penghargaan kebudayaan, yang sempat terhenti pelaksanaannya tahun 2020.
Penghargaan Akademi Jakarta 2021, menurut Seno, merupakan debut perdana Akademi Jakarta (AJ) Periode 2020 – 2025. Berbeda dengan Penghargaan tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun ini, tak lagi hanya diberikan kepada seorang seniman. Tetapi diberikan juga kepada kelompok masyarakat penggiat kebudayaan dalam makna yang luas.
Proses seleksi atas beberapa kandidat dan pengambilan keputusan dilakukan oleh seluruh anggota Akademi Jakarta, sejak bulan November 2020.
Menurut Seno, Penerima Penghargaan AJ dalam kategori pribadi (individu) dinilai dari kalangan seniman yang konsisten mengembangkan gagasannya secara khas, yang dalam keadaan apapun tanpa henti melahirkan karya-karya kreatif dan inovatif.
Sikap tersebut terbukti mampu menghidupkan karya seni dan sastra, sebagai medium ekspresi kemanusiaan yang berorientasi keadilan.
Tahun ini, Remy Silado terpilih dari beberapa kandidat, menurut pertimbangan AJ yang dikemukakan anggota AJ Karlina Supelli, karena ia merupakan ‘Bianglala Kebudayaan Indonesia.’

Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma | Youtube DKJ
Karlina menyampaikan, Remy Sylado yang nama aselinya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong, lahir di Makassar, 12 Juli 1945, dan bercita-cita menjadi petani. Karena tak punya tanah, cita-cita itu tak kesampaian; begitu Remy Sylado pernah berkisah. Lantas, lahirlah karya-karya unggul dalam ladang sastra, teater, seni rupa, musik, drama dari tangannya.
Ia juga seorang munsyi. Dalam ungkapan Remy Sylado sendiri: seseorang yang terpanggil untuk menguasai bahasa karena kesukacitaan berbahasa, dan tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam idealitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya (Bahasa menunjukkan Bangsa).
Ada masa, ungkap Karlina, Remy Syladomengejutkan dunia sastra Indonesia karena mendobrak kekeramatan pandangan estetika bahwa bahasa puisi harus tertib dan terpilih.
“Ia menegakkan ragamnya sendiri melalui gerakan Puisi Mbeling. ‘Gerakan’ karena gagasannya tidak sekadar hadir, tetapi menimbulkan perubahan yang berpengaruh dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia,” ungkap Karlina.
Mbeling berarti “nakal tapi sembodo,” kata Remy Sylado dalam orasi sastra di Dewan Kesenian Jakarta (2013). Nakal, susah diatur, memberontak, tapi ada imbangannya. Yakni, ketangkasan permainan kata dan gagasan yang disertai kelakar, sindiran, dan olok-olok. Permainan tidak sama dengan main-main. Untuk semua karya sastra, Remy menaruh syarat yang serius, yaitu kekayaan intelektual dan kekayaan spiritual.
Mbeling bagi Remy Sylado hanya satu sikap untuk “berkisah tentang kejujuran dunia,” apa adanya (‘Dua Jembatan: Mirabeau & Asemka’). Dalam kejujuran itu, karya-karya Remy Sylado, ungkap Karlina, membuat kita tergelak sekaligus merasa seperti ada sebilah pedang menembus benak.
Karlina menyitir sikap Remy: “Orang Perancis / berpikir / maka mereka ada // Orang Indonesia /tidak berpikir / namun terus ada (‘Teks atas Descartes’)”.

Karlina Supelli : “Ia (Remy Sylado) menawarkan bianglala kebudayaan sebagai titian untuk mengatasi aneka tegangan dan perbedaan.” | Youtube DKJ
Remy Sylado, ungkap Karlina, mengoreksi pemahaman tentang kebudayaan, jauh melampaui pengertian sempit yang kerap muncul dalam pidato para pejabat, seakan-akan kebudayaan nasional identik dengan tarian daerah.
Remy Sylado, lanjut Karlina, tidak saja telah membuka jendela dunia sastra Indonesia untuk berkembang di luar batas-batas keangkeran horison kemapanan.
Melalui karya-karyanya, ia juga mengangkat beragam masalah di sekitar kita mulai dari yang lokal sampai global, mulai dari kekeliruan memahami kebudayaan nasional, hibriditas bahasa Indonesia yang diperdebatkan, sampai tegangan antara “kebangsaan yang sempit dan universalisme yang tidak berkerangka,” keyakinan bahwa realitas ini majemuk dan sikap fanatik primordial yang mau menciutkannya ke paham hingga berisiko membawa serta kekerasan.
“Dengan keberanian menciptakan ekspresi baru, Remy Sylado mengajak kita terlibat dengan itu semua. Ia menawarkan bianglala kebudayaan sebagai titian untuk mengatasi aneka tegangan dan perbedaan,” papar Karlina.
“Kebudayaanlah yang menjadikan manusia adalah manusia – makhluk yang beberapa ratus ribu tahun lalu menemukan bahasa untuk berkomunikasi secara beradab,” lanjut Karlina, menutup pertimbangan AJ.
Remy Sylado ‘hadir’ dari kamar tidurnya dalam keadaan terbaring, karena sakit yang dideritanya. Dalam ucapannya merespon Penghargaan AJ 2021, Remy menyatakan terima kasih kepada banyak pihak yang memungkinkannya meniti jalan di dunia seni dan kebudayaan pada umumnya. “Tanpa mereka saya bukan apa-apa,” cetusnya.
Remy juga mengatakan, bahwa ia hidup sebagai penulis. “Menjadi penulis itu berkah Illahi, bukan kutukan dewata,” cetus Remy.

Remy Silado ‘hadir’ sambil berbaring dari rumahnya. | Sungguh mengharukan. Sedih – haru – bangga campur aduk menjadi satu | YouTube DKJ
Utang kepada Masyarakat Adat Laman Kinipan
Akan halnya masyarakat Kinipan, hadir lengkap dari desanya di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, bersama ketua dan pimpinan adat lainnya.
Kinipan menerima penghargaan itu, karena dinilai sebagai kalangan masyarakat yang paling konsisten dan gigih memperjuangkan hak-hak dasar manusia, lingkungan hidup – alam dan sosial – untuk kepentingan kemanusiaan dan keadilan yang lebih luas sebagai tanggung jawab terhadap generasi baru di masa depan.
Seperti dikemukakan anggota AJ, I. Sandiawan Sumardi, masyarakat adat Laman Kinipan yang termasuk etnis Dayak Tomun berdomisili di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Komunitas ini terdiri dari 239 keluarga dan 938 jiwa, dan bergantung hidup pada hutan.
“Dari hutan mereka mengambil rotan, karet, durian, jengkol, obat-obatan, kayu bakar, madu, ikan, binatang buruan, kayu untuk membangun rumah, dan lainnya,” ungkap Sandyawan. “Hutan Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia, menyediakan semua yang mereka butuhkan untuk hidup, termasuk lingkungan yang baik dan sehat,” lanjutnya.
Hutan bagi komunitas adat bukan sekadar penyedia kebutuhan hidup. Ia adalah juga ruang hidup dan identitas serta basis kehidupan sosial budaya komunitas. Luas wilayah adat Laman Kinipan 16.169,942 hektar, terdiri dari 70% hutan rimba dan 30% lahan garapan masyarakat dan pemukiman.
Pada tahun 2012, kedamaian hidup masyarakat adat Laman Kinipan terganggu oleh kehadiran pihak Perusahaan Sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML) yang menginformasikan pada mereka tentang rencana korporat itu akan investasi perkebunan sawit di wilayah hutan adat Kinipan.
Hidup mereka kian memburuk karena ganti rugi lahan dan plasma dua hektar yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan karenanya mereka banyak terbebani utang. Selain itu, setelah perkebunan sawit masuk ke desa-desa, kehidupan masyarakat desa menjadi sarat konflik. Seluruh sistem adat dan budaya yang berbasis pada hutan dan ladang terancam menjadi terpecah. Perjuangan masyarakat adat Laman Kinipan untuk mempertahankan hutan mereka sungguh tidak mudah.

Hutan dipaksa alih fungsi menjadi lahan bakal perkebunan sawit | You Tube Kinipan
Pada April 2016, masyarakat adat Kinipan sudah merilis pemetaan wilayah adat Laman Kinipan dengan dihadiri oleh Asisten III Kabupaten Lamandau, anggota DPRD Lamandau, Pengurus Wilayah AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara) Kalteng, PW BPAN Kalteng, dan Dewan Wilayah AMAN Kalteng. “Pada awal 2018, komunitas adat Kinipan juga ambil bagian dalam rapat koordinasi nasional hutan adat yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).”
Sandyawan mengemukakan, pada saat itu mereka mengajukan pencadangan hutan adat kepada KLHK, Mereka sudah memiliki peta wilayah adat dan sudah diverifikasi.
Meskipun pihak perusahaan Sawit PT SML berulangkali datang untuk melakukan lobi-lobi, namun masyarakat adat Laman Kinipan tetap teguh bersepakat untuk menolak adanya investasi perkebunan sawit di wilayah adat mereka.
Seluruh Sistem Adat dan Budaya Berbasis Hutan Terancam
Pada Februari 2018, PT SML datang dengan alat berat menebang kayu-kayu besar di hutan adat Kinipan. Kayu jelutung, meranti, ulin, kapang tumbang. Pepohonan dihancurkan dan langsung ditanami sawit.
Dalam sekejap hutan adat berubah status menjadi alokasi penggunaan lain (APL). Kayu-kayu besar berganti menjadi tanaman sawit. Pembabatan hutan berjalan lancar karena dilindungi aparat bersenjata. Hanya berbekal ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan, PT SML membabat hutan adat Laman Kinipan.
Komunitas adat Laman Kinipan tak habis pikir. Mengapa hutan yang berisi tanaman-tanaman kayu yang bernilai ekonomi tinggi, jengkol yang harganya Rp16.000 per kg, madu, rotan, binatang buruan dan lainnya diganti dengan tanaman sawit yang harganya hanya Rp900 sampai 1.400 per kg.

Masyarakat Adat Kinipan yang Gigih Mempertahankan hutan warisan leluhur mereka | You Tube DKJ
Teori ekonomi macam mana yang dipakai pemerintah untuk menghitung keuntungan ekonomi hingga mengijinkan hutan yang tak ternilai harganya itu diganti menjadi sawit yang begitu murah harganya?
Komunitas adat Lamat Kinipan tidak begitu saja menolak kehadiran perkebunan sawit tanpa perhitungan dan tanpa pertimbangan. Mereka sudah belajar banyak dari desa-desa lain yang telah dipaksa menerima sawit dan bergantung hidup pada industri sawit.
Hidup mereka kian memburuk karena ganti rugi lahan dan plasma dua hektar yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan karenanya mereka banyak terbebani utang. Selain itu, setelah perkebunan sawit masuk ke desa-desa, kehidupan masyarakat desa menjadi sarat konflik.
Seluruh sistem adat dan budaya yang berbasis pada hutan dan ladang terancam menjadi terpecah. Perjuangan masyarakat adat Laman Kinipan untuk mempertahankan hutan mereka sungguh tidak mudah.
Masyarakat Adat Laman Kinipan secara resmi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya dengan tergugatnya adalah Bupati Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Tapi, pengadilan itu menilai Komunitas adat Laman Kinipan tidak punya hak karena tidak bisa menunjukkan selembar kertas yang menyatakan bahwa hutan yang ada di Laman Kinipan adalah hutan adat Laman Kinipan.
Padahal pemerintah-lah yang tidak menjalankan kewajiban untuk memberikan selembar surat legalitas dan menetapkan hutan di Laman Kinipan sebagai hutan adat Laman Kinipan meskipun komunitas tersebut sudah mengajukan peta wilayah adat mereka pada pemerintah.

Ratna Riantiarno, Wakil Ketua Akademi Jakarta | YouTube DKJ
Negara sudah melepaskan 80 persen atau jutaan hektar hutan di Kalimantan Tengah untuk diberikan pada korporasi. Ironisnya negara masih juga merampas hutan yang jadi hak masyarakat adat untuk diberikan pada korporasi.
Selain itu negara juga melakukan perampasan besar-besaran wilayah adat yang ada di desa-desa adat di Kalimantan Tengah lewat penetapan secara semena-mena wilayah adat sebagai kawasan hutan. Ini banyak terjadi di tahun 2012.
Komunitas adat Laman Kinipan, ungkap Sandyawan, sejak lama dikenal sebagai komunitas yang gigih menolak berbagai investasi yang berdampak pada perusakan hutan dan lingkungan.
Di saat mayoritas desa-desa di Kabupaten Lamandau dan Kalimantan Tengah pada umumnya sudah dihabisi hutannya, masyarakat adat Laman Kinipan dengan kearifannya memilih untuk berjibaku menjaga hutan dan wilayah adat mereka dari serbuan investasi yang merusak lingkungan.
“Mereka sudah berkontribusi menjaga kelestarian hutan. Namun ironisnya bukan penghargaan yang mereka terima melainkan hukuman. Entah sudah berapa warga komunitas adat di Indonesia yang meregang nyawa, terluka dan dikriminalisasi hanya karena mempertahankan hutan,” ungkap Sandyawan.

I Sandyawan Sumardi | Hidup mereka kian memburuk akibat alih fungsi hutan | YouTube DKJ
Tropi Kebudayaan dan Logo Akademi Jakarta
Namun mereka tidak begitu saja menyerah meskipun yang mereka hadapi adalah kekuatan perusahaan besar yang didukung kekuasaan negara. Mereka sudah dikriminalkan dan juga sudah mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara.
Mereka sudah datang ke Jakarta untuk mengadukan masalahnya pada pihak-pihak yang punya kuasa untuk membantu mereka: Kepala Staf Kepresidenan, Kementerian LHK, dan juga Komnas HAM. Semua macet di hadapan dalih legalitas.
Indonesia dan juga dunia punya utang besar pada masyarakat adat yang selama ini telah berperan besar dalam menjaga kelestarian bentang alam hutan tanpa dibayar dan cenderung tanpa dukungan negara.
Karenanya perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan hutan bukan hanya patut didukung dan diapresiasi, melainkan juga merupakan utang kita pada masyarakat adat yang harus segera kita bayar, harus dibayar oleh negara.
Para penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2021 akan mendapatkan piala karya Dolorosa Sinaga, salah seorang anggota Akademi Jakarta disertai hadiah berbentuk natura, dan piagam.
Piala karya Dolorosa Sinaga berbentuk patung mini yang melambangkan sosok manusia mendekati sempurna, mengungkap kesempurnaan penciptaan Sang Khalik. Tangan menunjuk ke bumi mengandung makna pembumian kepedulian, gagasan, dan kreativitas yang bermanfaat bagi manusia. Tangan menunjuk ke atas, menegaskan kedudukan manusia sebagai bagian dari alam semesta. Sedangkan lingkaran tempat berpijaknya adalah bumi dengan segala isinya, tempat kehidupan sesama manusia. Dalam bentuk lain, tropi karya Dolorosa, ini juga merupakan logo baru Akademi Jakarta.

Logo Akademi Jakarta dan Tropi karya Dolorosa Sinaga | dok. AJ
Semula, acara penyerahan Penghargaan Akademi Jakarta 2021 direncanakan akan digelar di Taman Ismail Marzuki secara hybrid (daring dan luring) dengan protokol kesehatan ketat. Namun, mengingat perkembangan situasi terakhir pandemi Covid 19 dan keputusan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial, penyelenggaraan acara tersebut diubah menjadi daring.
Sejumlah kalangan merespon pemberian Penghargaan AJ kepada Remy Sylado dan Masyarakat Adat Kinipan melalui kolom komentar saluran YouTube.
Penggiat budaya Taufik Rahen mengucapkan selamat. “Penghargaan yang memberi semangat pada warga budaya. Takzim untuk Bang Remy dan Masyarakat Adat Kinipan,” tulisnya. Selanjutnya, Taufik berkomentar, “Namaku Matahari karya Remy Silado. Bumi adalah bakti Warga Adat Laman Kinipan. Anugerah patung karya Dolorosa, menunjuk Matahari dan menunjuk Bumi. Betapa indahnya. Akademi Jakarta memulai dengan Anggun.”
Penyair Eka Budianta berkomentar, “Turut berbahagia bersama Remy Sylado. Selamat untuk Akademi Jakarta telah menghargai para pahlawan kebudayaan. Saya tidak mampu menahan air mata melihat Remy Sylado terlentang di ranjang dan berpidato menyambut Anugerah Akademi Jakarta, Sungguh mengharukan. Sedih – haru – bangga campur aduk menjadi satu.”
Lebih jauh, Eka menulis komentarnya, “Kalau hutan hancur kehidupan hancur dan kebudayaan tak ada lagi. Terima kasih Akademi Jakarta telah melihat masalah ini dengan jeli dan memberikan dukungan kepada masyarakat adat yang semakin terpinggirkan.”
Jill Kalaran, penggiat seni dari Surabaya menulis, “Menurut saya ini penghargaan paling bergensi.” Akan halnya sastrawan Budi Darma menulis, “Acara ini sangat bagus.” Alfi Nur Hikmah berharap,”semoga akan terus bermunculan karya-karya luar biasa selanjutnya.” |Haedar Mohammad