Amsal Watak Ayam dan Merpati

Tuhan menciptakan makhluknya (manusia, flora, dan fauna) untuk saling berinteraksi sesamanya, karena masing-masing saling berkaitan. Banyak amsal yang dapat dipelajari manusia dari fauna dan flora.

Dalam keluarga bangsa unggas misalnya, ayam jago dan merpati, satu dengan lainnya saling memberi contoh watak untuk manusia melakukan evaluasi diri.

Adalah H. Sofhian Mile (Bupati Luwuk Banggai – 2011 – 2016), Ketua Dewan Penasihart Perkumpulan Usaha Memajukan Anakbangsa (UMA), yang senang memantik amsal ihwal pelajaran watak dari fauna, khasnya dari bangsa unggas.

Suatu hari, ketika memberikan nasihat pernikahan mengemukakan cerminan watak manusia beramsal ayam jago dan burung merpati (akarpadinews, 04.11.19).

Dalam tausiyahnya, Sofhian, yang juga mantan politisi senior Partai Golkar, itu mengemukakan, bila harus memilih watak manusia dalam pernikahan, ia menganjurkan memilih watak burung merpati katimbang ayam jago.

Apa pasal?

Lelaki bermisai yang selalu nampak segar, dan gemar khutbah Jum’at atau menjadi imam salat, itu mengatakan, “Jangan terkesima dengan sosok dan perangai ayam jago. Berusahalah jadi merpati yang tak pernah ingkar janji,” ungkapnya.

Dalam ilmu perbintangan Tiongkok, ayam jago memang menandakan ketabahan untuk memikat dan mendapatkan ayam betina. Kala memikat ayam betina, ayam jago selalu melakukan ‘pencitraan,’ menampakkan segak.

Ayam jago ketika memikat ayam betina, mengeksplorasi dirinya sebagai sosok idola terbaik, dengan segala hal — boleh disebut atribut — yang, melambangkan keberuntungan, nasib baik, dan perlindungan.

Tentu, sambil menyembunyikan totem dirinya sebagai hewan yang dianggap sebagai simbol makhluk yang sangat suka memerintah, meskipun secara konotatif dan denotatif tidak harus dengan cara yang buruk.

Ayam jago — dikenal pula sebagai ayam jantan alias gallinaceous — secara naluriah juga menghadirkan persepsi hirarki, selalu menampakkan diri sebagai gallus domenicus atas ayam jago yang lebih muda.

Dia menjaga area umum tempat ayam-ayam betina bersarang, dan akan menyerang ayam jago lain yang memasuki wilayahnya.

Positifnya, ayam jago memecahkan fajar, dengan berkokok, sebagai isyarat ‘kekuasaan’ di lingkungan komunitasnya yang lebih kecil. Kokok ayam jago, merupakan seruan kepada komunitasnya tentang eksistensi kesiagaannya menjalankan perlindungan.

Penelitian yang dilakukan di Perancis (1998) menunjukkan, kokok ayam jago ‘melelehkan’ instink ayam betina, sehingga mudah ‘menyerahkan’ dirinya.

Dan, ketika ayam betina bertelur dan mengerami telurnya, ayam jago tak hirau, sembari terus menampakkan segaknya, memikat ayam betina lain.

Ayam jago dewasa (gallus domenicus) – terutama pada masa memikat ayam betina, sering kehilangan semua rasa takut pada manusia dan bisa menjadi agresif. Ayam jago, juga sering menunjukkan perilaku menyimpang.

Akan halnya merpati, merupakan simbol kesetiaan cinta, kasih sayang, harmoni, dan perdamaian sepanjang tahun. Karenanya, kerap dijadikan sebagai simbol dan menyertai tradisi memelihara pokok cinta, Hari Valentine yang romantis.

Di abad pertengahan, orang-orang percaya bahwa semua burung merpati memilih pasangannya dan kawin di pertengahan bulan Februari. Momen itulah yang sering diperingati sebagai Hari Valentine.

MERPATI tak pernah ingkar janji dan setia (foto istimewa)

Tapi, tak hanya merpati saja yang kawin di pertengahan Februari. Burung-burung thrush mistle, blackbird dan partridge, juga, sebagian besar kawin selama musim semi dan musim panas, utamanya di pertengahan Februari.

Merpati lantas dipilih mewakili romansa karena mitologi Yunani membabitkan (mengaitkan) burung putih kecil dengan Aphrodite, dewi cinta (yang dalam mitologi Romawi dikenal sebagai Venus).

Aphrodite atau Venus sering digambarkan dengan merpati yang beterbangan di sekelilingnya atau bertumpu di tangannya. Dan, ini yang penting, agaknya: Merpati mewakili simbol konsepsi monogami dan kesetiaan dalam hubungan kualitas yang bagus untuk mendahulukan cinta dan kasih sayang, katimbang asmara.

Burung merpati jago pun membantu pasangan betina mereka mengerami dan merawat piyik (anak-anak) mereka, yang membantu citra mereka sebagai burung yang berbakti dan pengasih. Reputasi merpati sebagai simbol cinta begitu kuat, sehingga banyak resep ramuan cinta populer selama abad pertengahan memerlukan hati seekor merpati.

Amsal atau perumpamaan yang dikemukakan Sofhian Mile, itu juga mengusik kita ke dalam pemikiran yang luas tentang hubungan-hubungan sosial dan bahkan politik. Khasnya dalam memelihara antusiasme mengembangkan simpati, empati, apresiasi, dan respek sebagai jalan menuju cinta.

Generasi baru abad pertengahan menggunakan simbol gembok dan anak kunci, pengunci mata rantai kesetiaan. Bahkan, ketika gembok sudah terkunci, anak kunci selalu dibuang, agar tak ada peluang bagi siapapun untuk membukanya, termasuk pasangan kekasih itu.

Maknanya adalah, komitmen dalam pernikahan merupakan konsistensi abadi dengan segala konsekuensi.  Gembok yang sudah terkunci tak kan pernah memberi anak kunci lain untuk membukanya.

Konsep kesetiaan pasangan dalam pernikahan di lingkung budaya Jawa memposisikan isteri sebagai garwo (gagaring nyowo), belahan jiwa.

Itulah, esensi pernikahan dhaim — sepanjang hayat — bukan pernikahan sembunyi-sembunyi atau pernikahan dengan tenggat waktu tertentu.

Dalam budaya politik yang benar, inilah yang disebut sebagai koalisi permanen. Bukan koalisi musiman hanya sekadar untuk berkuasa, menjalankan pemerintahan.

Dengan konsep koalisi permanen, peta kekuatan politik dapat lebih disederhanakan dan pemerintahan dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien, sekaligus tidak membingungkan rakyat.

Tak hanya itu, koalisi dhaim yang permanen itu, dapat mendudukkan partai politik sebagai suatu wahana politik visioner dan menghidupkan praktik politik yang berbudaya.

Politik yang berbudaya, dapat menyekat partai politik dari celah masuknya oligarki, termasuk perjudian di luar gelanggang, laksana para tapin – petaruh di ajang sepak bola. | bang sèm

Posted in HUMANIKA.