24 Jam Tanpa Henti Mengendalikan Kedaulatan Tubuh dan Irama Rasa

24 jam atmosfer di lingkungan kampus ISI Surakarta terkesan lain, khasnya di lokasi-lokasi ke sebelas penari dan musisi menunjukkan kepiawaiannya. Musik dan gerak saling terkoneksi satu dengan lainnya. Fluktuasi bioritme mereka tak tertampak di permukaan.

Catatan Nabil

MENARI tak sekadar menggerakkan tubuh mengikuti musik. Menari merupakan kerja artistik, esttetik, dan etik secara dinamik, menggerakkan raga mengikuti irama rasa, melibatkan pikiran, naluri, nurani dan rasa, secara terintegrasi.

Ketika menari, seorang penari melakukan tata kelola tubuh mencapai keseimbangan pikiran dan jiwa secara sadar, menembus dimensi ruang dan waktu. Karena menari, dalam pandangan Guru Besar Ilmu Seni Pertunjukan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung, Endang Caturwati adalah proses mengolah raga dan rasa secara kreatif dan inovatif.

Menurut Rachel W. Cole dalam The Body Souvereignity Workbook, menari, dengan sendirinya, melibatkan atribut fisik, mental, dan spiritual penari, sehingga tarian yang dihadirkannya menjadi karya seni, ritual budaya, rekreasi sosial, aktivitas kesehatan dan kebugaran, bahkan ekspresi diri.

Menari selama 24 jam, bukan sesuatu yang mudah dan tidak semua orang mampu melakukannya. Terutama karena penari yang melakukannya harus secara sadar dan terencana menempatkan dirinya sebagai pemilik kedaulatan atas tubuh. Menaklukan lelah, kantuk, bosan, dan bahkan rasa nyaman yang kesemuanya harus terkelola dalam enduransi tubuh dalam merespon perubahan bioritme tubuh mengikuti perubahan waktu dan suhu.

Di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, 28-29 April 2024 (dari pukul 06.00 sampai pukul 06.00) lalu, dalam merayakan Hari Tari se Dunia,  digelar ajang tari dan bermusik terus menerus selama 24 jam.

Hani, Yuliarmaheni, dan Yuliana Meneses.. piawai memainkan bahasa tubuh mengungkap perpaduan nalar dan budi | ss ISI Surakarta

Delapan penari terlibat pada momentum bersejarah tersebut. Masing-masing Hani Sulistia Ningrum (ISBI dan Rumah Seni Hapsari, Bandung), Tyoba Armey (ISBI dan Universitas Parahyangan Bandung), Tony Broer (alumni ASTI – STSI Bandung dan ISI Yogyakarta),  Djarot Budi Darsono (Studio Taksu – Solo), Adi Putra (Sasana Gebyar Jombang), Safrizal (Arbi Institut Aceh, mahasiswa pasca ISI Surakarta),  Yuliana Meneses Orduno (Mexico – Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), Ni Nyoman Yuliarmaheni (ISI Surakarta). Akan halnya pemusik yang terlibat selama 24 jam adalah Choirul Slamet (Yogyakarta), Misbahudin (Makassar), dan Nurhandayani (ISI Surakarta).

Momen gelaran menari tanpa henti 24 jam ini adalah kali ke 18 yang diselenggarakan ISI Surakarta dan telah banyak melahirkan karya tari, penari dan koreografer.

Seni Tari sebagai Seni Rupa Bergerak

Direktur Jendral Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid saat bicara pada pembukaan perayaan Hari Tari Dunia menyebut, seluruh rangkaian aksi tari selama 24 jam termasuk menari secara nonstop di Surakarta itu, tak terpisah dari trilogi: kesuburan (kreativitas dan inovasi) yang digelar di Candi Sukuh, kelahiran (karya kreatif dan inovasi) yang digelar di ISI Surakarta, dan rumah pengembangan – pemajuan yang digelar di Pura Mengkunegaran – Tari Bedhaya Senapaten Diradameta, karya yang sudah ‘berusia’ lebih seabad.

Adi Putra, Safrizal, dan Tyoba tampil dengan ciri masing-masing dan menampakkan latar pengaruh sosio habitus dan budaya asal masing-masing | ss ISI Surakarta

Berbagai informasi yang terpumpun dari kampus ISI Surakarta, aksi tari 24 jam nonstop delapan penari dan tiga pemusik menunjukan sesuatu yang khas Indonesia dibandingkan dengan gelaran perayaan sejenis di berbagai negara lain. Terutama, karena setiap penari menghadirkan pola dan ragam gerak, serta kendali atas kedaulatan atas tubuh masing-masing yang khas. Juga keragaman formula tari dan kelengkapan kostum dengan ragam warna yang berbeda.

Pandangan Endang Caturwati tentang tari sebagai seni rupa bergerak dan resonansi gerak tubuh atas musik, bunyi, dan atmosfer yang menyertai dan melingkupi, termasuk ‘retorika tubuh’ berpadan dengan pandangan Hilmar Farid tentang bahasa gerak, bunyi, rupa, dan filosofi (yang menyertai) karya mereka.

Meminjam pandangan Ksenia Parkhatskaya, performa yang tersaji di lingkungan kampus ISI Surakarta menghadirkan kesahihan, bahwa tari merupakan cara yang menggugah secara emosional untuk mengeksplorasi ‘tantangan hidup’ karena ia membawa energi dalam gerakan. Kendati, salah seorang dari delapan penari, menggunakan pendekatan teatrikal, menghadirkan pesan verbal (Djarot Budi Darsono).

Para penari, khasnya Hani dan Tyoba dengan bahasa tubuh dan rupa, mengirimkan perasaan positif yang kuat seperti upaya untuk membangun kegembiraan, kesenangan, harapan, kasih sayang, pembuka ruang soliditas. Dengan pola gerak tubuh mereka, tarian menggerakkan gagasan untuk senantiasa melewati dimensi ruang dan waktu. Termasuk sukacita dalam hidup keseharian sebagaimana ditampakkan Adi Putra dengan gerak maknawi tari Remo gaya Boletan yang mempengaruhinya.

Choirul Slamet,Nurhandayani, dan Misbahudin menghadirkan luah musikal dan daya vokal yang mampu menciptakan atmosfer yang magis dan khas | ss ISI Surakarta

Pola gerak dan kendali gerak tubuh Syafrizal mengingatkan siapa saja yang pernah mengalami interaksi ekologis dengan wilayah Takengon di Aceh. Bentang dan gerak tangan yang terpumpun ke dada padu padan gerak saman dan kias-kias seudati, serta gerak dinamis pelepasan raga – cangkang sebagai bagian ekspressi esensial khulu’ dalam tarikat qadariyah. Dalam format dan formulanya yang lain, pola gerak maknawi ditampakkan oleh Ni Nyoman Yuliarmaheni, yang konsisten ditampakkan sampai momen terakhir.

Pula perluasan kondisi kesadaran dalam pencarian. Tubuh yang jelma dalam gerak tarian yang mengeksplorasi kesadaran untuk berpindah ruang antar keadaan, sebagaimana tampak pada penampiulan awal Yuliana dengan pola gerak khas latino Mexico. Bergerak ke depan, dari kiri ke kanan, kemudian berputar menganggit efek busana yang dikenakan. Lantas bergerak lebih penuh ke arah diagonal sebelum kembali berputar.

Tony Broer memilih cara lain dalam mengekspresikan kedaulatan tubuh dalam makna sebenar. Tak hanya dalam ragam gerak sensasional (jalan mundur, gerak monumental, akrobatik, berguling di jalan raya, dan gaya ‘ustadz lembur’ di penghujung ) melintasi bentang ruang kota dari Stasiun Solo Balapan hingga kampus ISI Surakarta.

Telangkai gerak tubuh dan irama

Dari sisi pemusik, Choirul Slamet (Yogyakarta) dengan instrumen musik tiup (flute sampai zamponas) dan Misbahudin (Makassar) dengan pui-pui yang dibawa sejak awal, dan daya vokal Nurhandayani (ISI Surakarta) yang khas. Komposisi musikal dan tembang keiganya yang magis, menghantar perpaduan dan pelepasan minda dan jiwa menciptakan suasana yang khas. Interaksi batin ketiganya direspon apik oleh para penari.

Djarot Budi Darsono dan Tony Broer tampil dengan daya olah tubuh teatrikal. Tony memilih jalan yang memantik daya pikat dengan risiko lalu lintas kota | ss ISI Surakarta

24 jam atmosfer di lingkungan kampus ISI Surakarta terkesan lain, khasnya di lokasi-lokasi ke sebelas penari dan musisi menunjukkan kepiawaiannya. Musik dan gerak saling terkoneksi satu dengan lainnya. Fluktuasi bioritme mereka tak tertampak di permukaan.

Interaksi mereka, seketika mengingatkan kita pada ungkapan Paracelsus, “Manusia adalah mikrokosmos, karena  merupakan ekstrak dari semua bintang dan planet di seluruh cakrawala, dari bumi dan unsur-unsurnya; jadi dia adalah intisari mereka.” Di sisi lain, suasana yang terbangun antara ketiga musisi dengan empat sub kolaborasi gerak: Hani Sulistia Ningrum dan Tyoba Armey; Tony Broer, Djarot Budi Darsono, dan  Safrizal; Yuliana dan Adi Putra; sedangkan Ni Nyoman Yuliarmaheni tampak menjadi telangkai dan berinteraksi gerak tubuh dengan ketujuh penari lainnya. Plus Nurhandayani yang juga memainkan gerak tubuhnya sebagai penguat daya vokalnya. Sekaligus menjadi telangkai bagi Slamet dan Misbahudin.

Kesemuanya menghadirkan intuisi dalam mempertemukan artistika, estetika, dan etika dalam satu kesatuan harmoni (keseimbangan). Seperti tersirat dan tersurat dalam ungkapan P. Coehlo dari “The Alchemist,” bahwa intuisi benar-benar merupakan pencelupan jiwa yang mengalir begistu saja ke dalam arus universal tari dan musik, dimana sejarah (serta pengetahuan dan pengalaman batin) semuanya terhubung, dan kita semua mampu mengetahui segalanya,” karena semuanya terungkap dalam ritme gerak tubuh dan musikal.

Apresiasi, respek, dan salut yang tinggi untuk mereka.  Juga bagi kerja bersungguh-sungguh ISI Surakarta sebagai tempat persemaian dan kelahiran para insan seni yang memberi makna atas hakikat utama pendidikan seni budaya sebagai basis pendidikan nilai insaniah.

Sekali lagi: salut ! |

Berbagai sumber

Posted in ARTESTA.