Mencermati Pilpres dan Pemilu dengan Isyarat Jangka Jayabaya

Untuk mengembalikan kewarasan dalam berbangsa dan bernegara, ada baiknya, kita merenungkan isyarat yang tersurat dan tersirat dalam Jangka Jayabaya (secara konotatif dan denotatif), bahwa kini secara faktual terjadi: Wong agung kasinggung. Wong ala kapuja. Wong wadon ilang kawirangane. Wong lanang ilang kaprawirane. Akeh wong lanang ora duwe bojo. Akeh wong wadon ora setya marang bojone. Akeh ibu padha ngedol anake. Akeh wong wadon ngedol awake. Akeh wong ijol bebojo. (Orang — yang — mulia dilecehkan. Orang — yang — jahat dipuji-puji. Perempuan kehilangan malu. Laki-laki hilang keperwiraan – kejantanannya. Banyak laki-laki tak mau beristri. Banyak perempuan ingkar pada suami. Banyak ibu menjual anak. Banyak perempuan menjual diri. Banyak orang bertukar istri atau suami).

Bang Sèm

Kontestasi dan kompetisi Pemilihan Presiden – Wakil Presiden (Pilpres) 2024 akan tiba pada fase yang buruk, bila setiap kontestan tidak mampu mengendalikan dirinya dari berbagai godaan kusam kekuasaan yang memuakkan. Menanggalkan akal budi dan terseret jebakan fantasi, lantas terjerembab dalam politik pragmatis paling purba : menghalalkan segala cara.

Kondisi demikian akan berdampak buruk bagi rakyat dan bangsa ini, khasnya, ketika salah satu pihak mulai menganggap umpatan, cacian, makian, dan hal sejenisnya sebagai sesuatu yang biasa dan wajar. Melemahkan lawan politik dengan upaya sadar melakukan pembunuhan karakter.

Dalam situasi demikian, yang akan berlangsung adalah proses penghancuran nalar publik yang melibatkan kaum agamawan, aparatur negara, dan kaum terdidik. Ditandai oleh sikap berpihak penguasa kepada salah satu kontestan yang dianggap paling mungkin melanggengkan kekuasaannya.

Situasi ini sudah diprediksi oleh Raja Kediri (1135-1157) Jayabaya, dalam prasasti Hantang (1135), Talan (1136), Jepun (1144), dan kakawin Bharatayuddha (1157). Kita kemudian mengenalnya sebagai Jangka Jayabaya yang merupakan paduserasi kecerdasan dan kearifan lokal berbasis kesadaran spiritual dalam mencermati fenomena sosio budaya dalam kehidupan nyata.

Jangka Jayabaya, pada masanya, didalami untuk memahami, bahwa semesta dan manusia tidak tercipta dan ada dengan sendirinya. Pasti ada prima kausa, Sang Mahadaya yang menciptakan (to create), termasuk manusia di dalamnya. Yakni, Tuhan Mahaesa yang juga dipahami sebagai Hyang Widhi.

Lepas dari perbedaan pandangan dan persepsi tentang Jangka Jayabaya, membaca prediksi di dalamnya dengan pendekatan imagineering (rekacita) dan etimologi sangat proporsional. Beberapa butir ungkapan dari 216 poin prediksinya, menunjukkan Jayabaya fokus pada dinamika mikro kosmis dan makrokosmis sebagai focal concern dengan titik berat pada perilaku manusia.

Debat Calon Presiden | khas

Zaman Terbolak Balik

Dari perspektif etimologis, jangka Jayabaya menggunakan banyak metafora yang berkaitan dengan perilaku manusia itu, terkait dengan dimensi empiris yang bisa dipelajari, dan terkait dengan dimensi waktu atau zaman.

Hal tersebut terasa pada bagian awal Jangka Jayabaya, seperti ini :

Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandhang. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak. (Kelak akan tiba masa, kereta tanpa kuda, pulau Jawa berkalung besi, perahu berlayar di angkasa, pasar kehilangan suara. Itu pertanda zaman Jayabaya segera tiba).

Pada masa tersebut, Bumi saya suwe saya mengkeret. Sekilan bumi dipajeki. Jaran doyan mangan sambel. Wong wadon nganggo pakeyan lanang. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman-balik. Akeh janji ora ditetepi. Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe. Manungsa padha seneng nyalah. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi. (Bumi kian. Tanah sejengkal dikenakan pajak. Kuda suka makan sambal. Perempuan berpakaian lelaki. Itu pertanda manusia akan mengalami zaman yang terbolak balik. Banyak janji tidak ditepati. Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri. Orang-orang saling melempar kesalahan. Tak peduli akan hukum Tuhan (etika).

Barang jahat diangkat-angkat. Barang suci dibenci. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit. Lali kamanungsan. Lali kabecikan. Lali sanak lali kadan. Lupa sanak lupa saudara. Akeh bapa lali anak. Akeh anak wani nglawan ibu. Nantang bapa. Sedulur padha cidra. Kulawarga padha curiga. Kanca dadi mungsuh. (Yang jahat dijunjung dan disanjung. Yang baik dibenci. Banyak orang hanya mementingkan uang (materi). Lupa jati diri kemanusiaan. Lupa hikmah kebajikan. Banyak ayah lupa anak. Banyak anak (derhaka) berani melawan ibu. Menantang ayah. Sesama saudara saling khianat. Keluarga saling curiga. Kawan menjadi lawan).

Akeh manungsa lali asale. Ukuman Ratu ora adil. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil. Akeh kelakuan sing ganjil. Wong apik-apik padha kapencil. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin. Luwih utama ngapusi. Wegah nyambut gawe. Kepingin urip mewah. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka. Wong bener thenger-thenger. Wong salah bungah. Wong apik ditampik-tampik. Wong jahat munggah pangkat. (Banyak orang lupa asal-usul. Hukuman Raja tidak adil. Banyak petinggi jahat dan ganjil. Banyak ulah-tabiat ganjil. Orang yang disisihkan. Banyak orang kerja halal justru merasa malu. Lebih mengutamakan menipu. Malas untuk bekerja keras. Hasratnya hidup mewah. Mengumbar nafsu angkara murka, memupuk durhaka. Orang (yang) benar termangu-mangu. Orang (yang) salah gembira ria. Orang (yang) baik ditolak. Orang (yang) jahat naik pangkat (beroleh kewenangan).

Tiga Calon Presiden : Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo | khas

Yang Mulia Tersisihkan

Realitas zaman sungsang sedemikian itulah — modernitas yang dikelola secara primitif — yang kini terlihat sebagai fenomena. Kontestasi dan kompetisi memimpin negara dan bangsa, tidak sepenuhnya dan tidak seluruhnya dimaknai sebagai suatu persaingan memperoleh kewenangan dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Melainkan kuat kehendak mengambil dan memindahkan kedaulatan itu darfi rakyat kepada dirinya. Mengemuka dalam luahan sikap ambisius, “Kita ingin berkuasa.” Suatu kalimat yang menegaskan birahi kekuasaan. Bukan sekadar hasrat mendapatkan kewenangan.

Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilpres sebagai ajang demokrasi -momentum kontestasi dan kompetisi gagasan menghidupkan kewarasan dalam berbangsa dan bernegara, masih dipahami sebagai ajang berebut kekuasaan.

Jauh dari pemahaman asasi yang tersimpan dalam sesanti bhinneka tunggal ika tanhana mangrwa, yang menitikberatkani persatuan di tengah keragaman. Sesuatu yang mestinya mampu menjadikan demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan.

Dalam konteks inilah, agaknya, kita sebagai rakyat mesti pandai memilih dan memilah dengan cermat. Menggunakan nalar, nurani, dan rasa untuk mencermati, mendalami, dan kemudian membandingkan gagasan, yojana (visi), dan sikap perilaku masing-masing kontestan dalam Pemilu dan Pilpres. Lantas memilih dan memilah mana yang paling dekat dan pas dengan imajinasi kita tentang bangsa dan negara ini ke depan.

Untuk mengembalikan kewarasan dalam berbangsa dan bernegara, ada baiknya, kita merenungkan isyarat yang tersurat dan tersirat dalam Jangka Jayabaya (secara konotatif dan denotatif), bahwa kini secara faktual terjadi: Wong agung kasinggung. Wong ala kapuja. Wong wadon ilang kawirangane. Wong lanang ilang kaprawirane. Akeh wong lanang ora duwe bojo. Akeh wong wadon ora setya marang bojone. Akeh ibu padha ngedol anake. Akeh wong wadon ngedol awake. Akeh wong ijol bebojo. (Orang — yang — mulia dilecehkan. Orang — yang — jahat dipuji-puji. Perempuan kehilangan malu. Laki-laki hilang keperwiraan – kejantanannya. Banyak laki-laki tak mau beristri. Banyak perempuan ingkar pada suami. Banyak ibu menjual anak. Banyak perempuan menjual diri. Banyak orang bertukar istri atau suami).

Cermati para calon anggota legislatif dan calon Presiden – Wakil Presiden, bandingkan satu dengan lainnya. Kenali pribadi dan keluarga mereka. Nilai kelayakan dan kepatutannya untuk memperoleh kewenangaan dari kita sebagai rakyat, pemilik sah republik ini. Jangan tergoda oleh pemberian – saweran dana yang tak seberapa (bahkan lebih murah dibanding harga seekor kambing) untuk mendapatkan suara (hak) kita. Untuk itulah perubahan harus dilakukan, supaya kewarasan berbangsa dan bernegara kita alami kembali. Jangan diam, karena diam itu salah !  |

Posted in ARTESTA.