Dalam praktik politik, rasisma sebagai kepandiran ideologis, di tengah masa berkembangnya ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan keterbelahan dipilih oleh para rasis untuk menghambat perkembangan citra positif lawan politik. Namun, mereka gagal melakukan penghambatan tersebut, karena para rasis tak cukup pandai (apalagi cerdas) dalam mengenali DNA (deoxyribonucleic acid) yang mengandung informasi genetik, orientasi berfikir, bersikap, dan bertindak lawan politiknya.
Catatan Bang Sèm
Rasisme alias diskriminasi berdasarkan genetika, garis keturunan, ras, dan etnik yang dilakukan oleh orang per orang atau kelompok orang adalah bentuk kepandiran ideologis yang fatal.
Pelakunya, sesuai tinjauan penelitian Trusted Source (2019) adalah orang sakit (fisik dan mental). Dalam konteks gangguan kesehatan mental, pelakunya dapat diduga merupakan oang yang depresi, gangguan kecemasan, stres pascatrauma, dan psikosis. Antara lain, tersebab oleh penggunaan dan penyalahgunaan alkohol dan narkoba.
Dalam konteks politik, para rasis dari sudut pandang epistemologi mengalami kegagalan asasi dalam memahami sesuatu hal, antara lain tentang perkembangan ideologi, tanpa kecuali ihwal nasionalisme dan berbagai hal yang terkait.
Para rasis, meminjam pandangan Linda Martín Alcoff, filsuf Amerika Latin dan profesor filsafat di Hunter College, City University of New York, adalah mereka yang mengalami kebingungan dan kegagalan dalam memahami pengetahuan — yang diterimanya sepotong-sepotong. Mereka mengalami kendala akses ke beberapa pengetahuan dan akses yang lebih terbatas ke pengetahuan lainnya.
Alcoff yang mengkhususkan diri dalam epistemologi sosial, filsafat feminis, filsafat ras, teori dekolonial, dan filsafat kontinental, mengemukakan, mereka yang berpikir, bersikap, dan bertindak rasis, mengalami kepandiran ideologis lantaran memiliki posisi yang lebih buruk untuk mengetahui hal-hal tertentu tentang domain tertentu.
Orang semacam ini berbahaya ketika memimpin suatu organisasi, karena kepandiran ideologisnya berpengaruh pada keputusan-keputusan yang diambilnya. Terutama karena mereka hidup dalam presumsi keliru yang dipandangnya sebagai suatu kebenaran.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa para rasis pengidap kepandiran ideologis adalah mereka yang gagal dalam percakapan akal budi. Namun, tak menyadari, bahwa mereka menderita kesadaran palsu, yang secara moral, keliru.
Mereka umumnya hidup dalam atmosfir ‘mencari-cari alasan’ pembenaran argumentasi, ketika pernyataan atau ekspresi pikirannya berdampak (sekaligus mendapat reaksi) negatif dari khalayak ramai.

Rasisme sistemik harus diakhiri | foto: WUNC
Kesadaran Palsu
Dalam praktik politik, rasisma sebagai kepandiran ideologis, di tengah masa berkembangnya ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan keterbelahan dipilih oleh para rasis untuk menghambat perkembangan citra positif lawan politik.
Namun, mereka gagal melakukan penghambatan tersebut, karena para rasis tak cukup pandai (apalagi cerdas) dalam mengenali DNA (deoxyribonucleic acid) yang mengandung informasi genetik, orientasi berfikir, bersikap, dan bertindak lawan politiknya.
Kegagalan tersebut lantas menjadi boomerang bagi para rasis yang tetap terkurung dalam kepandiran ideologis dan terjerembab dalam jebakan ilusi dirinya (dengan beragam kepentingan pragmatis dan praksis politik).
Kesadaran palsu yang diidap para rasis kian mengungkung diri mereka, laksana katak dalam tempurung kaca, dan tak kan membuat mereka keluar dari kondisi kepandiran ideologis yang kian fatal.
Reaksi khalayak terhadap pikiran dan aksis para rasis, akan membuat mereka kian terperosok ke dalam kotak-kotak sempit yang menguatkan struktur ideologi ampang (hambar) yang dominan.
Terkait dengan relasi mereka dengan kekuasaan status quo, akan menyebabkan posisi mereka tidak setara dengan lawan politik yang dipilih sebagai sasaran rasisme mereka. Mereka berada dalam ketidaksetaraan sistemik yang disebabkan oleh kedunguannya.
Para rasis atau mereka yang diposisikan sebagai gerombolan rasisma, akan kian dalam terseret ke dalam kubangan kepandiran. Khasnya tentang kedunguan asasi untuk berpikir tentang kedunguan yang berkaitan dengan ideologi. Terutama, karena mereka tak paham tentang hakikat kesadaran palsu, kelelahan dalam memahami esensi ideologi, yang sesungguhnya tidak hanya bermanifestasi dalam struktur berpikir personal mereka.

Taktik politik rasis dipergunakan untuk menghambat Anies Rasyid Baswedan. Politik pandir. | foto: khas
Jalan Berbatu
Dalam perspektif pragmatisme politik semu ideologi, para rasis cenderung berpikir mendominasi kelompok melalui institusi dan praktik-praktik politik bebal. Umpanya, menghadapkan lawan politik dengan dikotomi ras dan etnik – karena tak kuasa mengejar kualitas dan kapasitas lawan politik. Pragmatisme politik ‘buta ideologi.’
Dalam color blind theory (CBT) alias teori buta warna — ideologi — terkait dengan kognisi rasial, para rasis cenderung berusaha menjelaskan rasisme dengan mengaitkannya pada ciri-ciri ideologis dari masyarakat yang dominan.
Mereka melakukan manuver dan serangan melalui pernyataan rasis dengan menutup wajah mereka seolah-olah ideologis. Seperti anak-anak menutup wajahnya dengan jari dalam permainan ‘petak umpet.’
Adalah Eduardo Bonilla-Silva, profesor sosiologi di Duke University yang juga presiden American Sociological Association (2018), penulis buku Racism Without Rasists yang mengupas tuntas ihwal ras, rasisme sistemik, dan berbagai perpecahan yang terus melanda masyarakat di Amerika Serikat dan tempat lain.
Menurut Bonilla-Silva, praktik politiknya adalah, ideologi rasial mengorganisir dan membenarkan hubungan – hubungan material yang mendominasi atau subordinat dalam sistem politik, sosial, dan ekonomi. Komponen utama dari setiap ideologi rasial yang dominan adalah bingkai atau jalur yang ditetapkan untuk menafsirkan informasi. Antara lain melalui framing media.
Bingkai-bingkai dominan harus menggambarkan realitas secara keliru (menyembunyikan fakta dominasi). Bingkai-bingkai rasial dominan, menyediakan peta jalan pikiran yang digunakan para penguasa untuk menavigasi jalan yang selalu berbatu.
Dalam konteks Indonesia dan Malaysia, saya memahami, apa yang dimaksud Bonilla-Silva, antara lain dengan beragam stigma, antara lain politik identitas – politik perkauman, yang rancu, menyesatkan dalam pemahaman, dan memecah belah. Khasnya di negara banga yang plural, multi ras, dan multi etnik.
Pernyataan rasis sebagai manifestasi kongkret dari kepandiran ideologis, agaknya dipergunakan oleh para ‘penasihat politik’ kalangan status quo dan yang hendak terus menerus mendominasi kekuasaan. Sasarannya adalah isolasi sosial.
Individu calon pemimpin dengan beberapa warisan ras mungkin hendak dihadapkan pada upaya pengucilan sosial berdasarkan warisan ras atau penampilan mereka.
Dalam konteks inilah, kita bisa membaca dan menduga peta taktik para perindu dominasi kekuasaan negeri ini menghadapi suksesi kepemimpinan nasional Indonesia 2024. Mereka sulit menghadirkan rekam jejak prestasi dan kualitas diri dalam menghadapi seorang Anies Baswedan. Mereka terperosok ke dalam fantacy trap dan berusaha menjadi machiavellian. Namun, pandir secara ideologis. |
