Di SMK Cokroaminoto – Wanadadi, seketika melintas sikap dan pandangan HOS Tjokroaminoto tentang pendidikan sebagai suatu sistem yang kehidupan manusia yang islami (hairun naas anfa’uhum lin naas, urip iku urup : sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat luas bagi banyak manusia lain), serta keseimbangan ilmu pengetahuan umum dan khas, keseimbangan keterampilan dengan akal budi. Dari sini, saya membaca setelempap laman Banjarnegara dengan optimisme.
catatan perjalanan Bang Sèm
Banjarnegara bukan hanya salah satu kabupaten seluas 1.069,73 km2 yang terletak pada ketinggian antara 501 sampai di atas 1000 meter dpl (di atas permukaan laut) dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Banjarnegara merupakan salah satu wilayah penting di pulau Jawa yang mempunyai sejarah panjang sejak mula abad Masehi, yang dapat dilihat dari artefak berupa bebagai candi peninggalan Hindu-Budha (Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, Semar, Bima, Sembadra, dan Puntadewa).
Setelahnya, Banjarnegara yang dikabarkan bermuasal dari desa Banjar — cikal bakal Banjar Petambakan yang didirikan Kyai Ageng Maliu — juga merupakan basis penyebaran ajaran Islam di masa keberadaan Kerajaan Demak.
Para tokoh dan pemimpin Banjarnegara terlibat dalam perlawanan terhadap dominasi oligarki kolonial VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perkongsian dagang Belanda terbesar asal Belanda yang pada abad ke-17 yang menguasai pusat perdagangan di wilayah Asia. Sekaligus melakukan aksi curang dalam melakukan monopoli jalur perdagangan rempah-rempah. Sebutlah itu perlawanan Paku Buwono II dari Kerajaan Mataram, yang memantik Geger Pecinan di Kartosuro.
Pada abad berikutnya, pemimpin dan rakyat Banjarnegara memainkan peran dalam Perang Jawa 1825-1830, yang terbilang sebagai perang terbesar yang pernah dialami Belanda di kawasan Nusantara. Perang tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Rakyat Banjarnegara dipimpin oleh Bupati Watu Lembu – Raden Ngabehi Mangunyudo III. Salah satunya diabadikan menjadi nama daerah Adipasir.
Pasukan Diponegoro menjadikan sejumlah daerah di Banjarnegara sebagai basis pertahanan dan perlawanan, seperti Marden Semagede, Bobot, Ajibarang, dan Pegunungan Perahu. Perjuangan Diponegoro didukung oleh kalangan ulama Islam, seperti Kyai Muhammad Musa yang terkoneksi dengan Kyai Hasan Besari, Kiai Imam Ropii, Kyai Gozali, Kyai Mojo, Kyai Imam Nawawi, Haji Ibrahim, Haji Nginggo, Haji Ibrahim, Haji Usman Ali Basah, dan Kyai Munadi. Perjuangan Diponegoro dalam Perang Jawa tersebut juga dimaknai sebagai perjuangan mempertahankan tanah air yang hendak dirampas dan dikuasai oleh VOC yang kemudian populer disebut sebagai Kompeni.

PRAMUKA SIAP SMK Cokroaminoto – Wanadadi, Banjarnegara. Istilah Pandu dari H. Agus Salim pertama kali tercetus di Banjarnegara | bangsem
Pemikiran Perubahan
Pada abad ke 20, sejak kesadaran kebangsaan menyeruak ke berbagai kesultanan dan kerajaan, lantas dilanjutkan dengan pergerakan kebangsaan (dengan kesadaran berpemerintahan sendiri) yang merdeka – dipantik oleh HOS Tjokroaminoto lewat pidatonya yang beken Zelfbestuur, 16 Juni 1916 di Bandung, sehari menjelang berlangsungnya NATICO (Kongres Nasional Sarikat Islam) I di Societat Concorde (kini Gedung Merdeka).
Banjarnegara tak ketinggalan. Selain karena sebelumnya sudah hidup kesadaran berorganisasi di kalangan priyayi lewat Pandrijo Harjo (1902) dan kaum perempuan lewat Wanita Kencana, di Banjarnegara sudah berdiri Sarekat Islam (kini Syarikat Islam) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto — dari sebelumnya Sarekat Dagang Islam yang didirikan KH Samanhudi di Surakarta dan di Bogor, Tirtoadhisoerjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah, kedua tokoh ini kemudian berkongsi.
Banjarnegara tak pernah henti menjadi basis perjuangan kebangsaan. Banyak tokoh bangsa, agama dan spiritual — termasuk putera Banjarnegara sendiri, Soemitro Kolopaking — memainkan peran-peran strategis perjuangan kebangsaan. Berbagai pemikiran perubahan gerakan Sarekat Islam dari gerakan sosio reliogius menjadi gerakan kebangsaan, banyak terpercik di Banjarnegara. Termasuk pengembangan sikap inklusif dan praktik demokrasi, baik melalui pendidikan maupun ektivisme politik.
Soemitro Kolopaking menjabat Bupati Banjarnegara — setelah menimba ilmu di Leiden dan bertugas sebagai Gewestelijk Leider der Veldpolitie di Priangan –. Ia dipandang sebagai pemimpin yang sangat berperan menjadikan Banjarnegara sebagai rumah ideal bagi perkembangan pergerakan kebangsaan. Ia juga dikenal sebagai telangkai sekaligus pendamai antara kaum Syarikat Islam, komunitas Kiai Sadrach dan komunitas Tionghoa Banjarnegara.
Meski berbeda latar belakang, Soemitro Kolopaking berinteraksi dan berkomunikasi baik dengan K.H Ichsan – pemimpin Syarikat Islam Banjarnegara. K.H Ichsan adalah putera Patih Cakra Santa, cucu dari Glondong Loano dari salah satu basis perjuangan Pangeran Diponegoro dan diyakini bertalian darah dengan Sunan Geseng. K.H Ichsan belajar ke Makkah dan menjadi murid Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi — paman dari KH Agus Salim — , dan karib dengan K.H Ahmad Dahlan – pendiri Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan. Bahkan, KH Ahmad Dahlan sempat menitipkan Sird Dahlan, puteranya dan beberapa pemuda Yogyakarta kepada K.H Ichsan.

MASJID DARULHUDA – WANADADI. Tapak perjuangan Arudji Kartawinata abadi di lokasi masjid di lingkungan kompleks Yayasan Pendidikan Islam Cokroaminoto ini | Bang Sem
Hubungan karib inilah yang diyakini peneliti Jepang, Takashi Shiraishi meyakini, menjadi penyebab keperintisan Syarikat Islam oleh K.H Ichsan di Banjarnegara. Terutama, karena K.H Ahmad Dahlan sempat menjadi Ketua Syarikat Islam Yogyakarta, dibantu Mas Pengoloe Abdoellah Sirat, sebelum mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.
Syarikat Islam dan Kepanduan
Selama masa kepemimpinan Bupati Soemitro Kolopaking, para tokoh Syarikat Islam, seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Arudji Kartawinata, A.M Sangaji, dan lainnya, kerap berkunjung ke Banjarnegara. Antara lain terkait dengan Kongres I SIAP (Sarekat Islam Afdeling Padvinderij) — yang disahkan pembentukannya pada Kongres PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) di Yogyakarta (1927).
Sejarawan Belanda Harry Poeze — ketika berkunjung dan berjumpa saya di kantor (2009) menjelaskan, menurut Moeridan dan Reksodipoero yang memimpin SIAP dibentuk untuk mempersiapkan pemuda dengan fisik yang sehat dan karakter yang kuat untuk berperang melawan musuh Islam. Sekaligus bertujuan mempersiapkan para pemimpin untuk perjuangan kemerdekaan, bersama-sama Pemuda Muslim. Dalam konteks itu, SIAP menyelenggarakan perkemahan di Banjarnegara selama tiga bulan, sambil kurus bela diri.
Lantaran dilarang menggunakan nama Padvinderij oleh Nederlandsch-Indische Padvindersvereeniging (NIPV) – organisasi kepanduan bentukan pemerintah Hindia Belanda. H. Agus Salim pada Kongres I SIAP di Banjarnegara tersebut mengubah kata Panviderij dengan Pandoe. Akan halnya KH Ahmad Dahlan membentuk organisasi kepanduan di lingkungan Muhammadiyah bernama Hizbul Wathan (HW).
Sudah lama saya mendengar dan menyimak seluruh paparan tersebut dari berbagai kolega dari berbagai kalangan, termasuk membacanya dalam berbagai buku sejarah yang ditulis dengan metode dan pendekatan yang obyektif. Sabtu (3/3/23) saya berkunjung ke Wanadadi dan mampir di salah satu situs – lokasi perjuangan para tokoh dan pemimpin Banjarnegara dan bangsa ini. Persisnya SMK HOS Tjokroaminoto dengan dua bidang kompetisi khas: komputer jaringan dan mesin kendaraan bermotor.

MODAL INSAN. Pramuka SIAP di lingkungan YPI Cokroaminoto – Wanadadi, Banjarnegara. Menghidupkan nilai gotong royong dan spirit kebangsaan | bangsem
Sekolah ini berdampingan dengan masjid yang pertama kali dibangun oleh tokoh pergerakan kebangsaan asal Garut, allahyarham Arudji Kartawinata — Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Sjahrir. Istrinya, allahyarhamah Sumarsih Subiyati atau Yati puteri Pekalongan dikenal sebagai komandan Laskar Wanita Indonesia (LASWI) yang berbasis di Majalaya – Bandung.
Di sekolah ini nilai-nilai dan nafas perjuangan kebangsaan dalam spirit keislaman, ke-Indonesia-an, dan keilmuan masih amat terasa. Para siswa dan sejumlah guru aktif dalam kegiatan latihan kepanduan (kini kepramukaan) di laman sekolah. Mereka mengembangkan kreativitas tali temali yang mencerminkan kerja kolaboratif dan sinergis, gotong royong yang dalam ajaran Islam disebut ta’awun. Bukan persekongkolan.
SMK Cokroaminoto Wanadadi
Di seragam para guru, merah putih menyolok di lengan mereka. Ketika berdialog dengan para guru di salah satu ruang kelas, saya menyaksikan papan tulis yang besar, yang berfungsi sebagai dinding pelepas uneg-uneg dan menuangkan aspirasi, termasuk ihwal cinta, bagi siswa. Para siswa menulis dan menggambar ekspresi suasana hati mereka di dinding itu dengan gaya mural.
Di tengah arus besar singularitas yang banyak menghantarkan proses penghancuran nalar publik melalui media sosial oleh para buzzer dan berbagai kelompok orang yang gemar memproduksi dan menyebarkan hoax, sekolah ini memberikan ruang katarsis. Salah satu medium kemerdekaan berekspresi dalam koridor pendidikan bernilai demokrasi. Nilai pedagogis terasa dalam papan tulis berisi gambar muralis tersebut.

TENTRAM. Suasana pedesaan yang bergerak dalam tentram menuju Wanadadi, Banjarnegara | bangsem
Dalam bahasa lain, saya memandang, di sekolah ini, siswa dan guru memelihara proses pembelajaran kebangsaan dalam dimensi spirit keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan yang memberikan tawaran optimisme secara dimensional. Keislaman yang bertumpu pada aqidah – syariah – muamalah dan akhlaq; Keindonesiaan yang berpijak pada realitas keragaman (termasuk multikulturalitas) dan berorientasi pada persatuan – kesatuan; Keilmuan berorientasi kemanfaatan luas dalam membentuk manusia terampil dan berintegritas, selaras dengan perkembangan era. Tiga komponen yang kelak akan menjadi pilar kedaulatan, kemandirian, dan kemajuan dalam melayari arus besar perubahan.
Di Wanadadi, kedamaian dan geliat kemajuan desa, serta spirit kemandirian dalam konteks ke-Indonesia-an sangat terasa. Nilai-nilai asasi kehidupan khalayak berbasis persatuan tertampak pada kesungguhan kerja masyarakat membangun wilayahnya. Saya melihat setitik Indonesia yang guyub, tertata, tentram, dan berbudaya. Integritas khalayaknya terasa dalam sikap ketika berkomunikasi.
Benih-benih kemajuan terasa melalui proses pendidikan yang bertumpu pada manifestasi pedagogis, yang terkait langsung dan tak langsung dengan keseluruhan ikhtiar pembangunan modal insan. Proses pendidikan yang tak terlepas dari pembangunan manusia sebagai investasi kemajuan masa depan.
Di SMK Cokroaminoto – Wanadadi, seketika melintas sikap dan pandangan HOS Tjokroaminoto tentang pendidikan sebagai suatu sistem yang kehidupan manusia yang islami (hairun naas anfa’uhum lin naas, urip iku urup : sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat luas bagi banyak manusia lain), serta keseimbangan ilmu pengetahuan umum dan khas, keseimbangan keterampilan dengan akal budi. Dari sini, saya membaca setelempap laman Banjarnegara dengan optimisme. |