Berpikir Ulang tentang Pendidikan Tinggi Seni Budaya

Lembaga-lembaga pendidikan tinggi mengubah konsep transformasi dari evolusi ke revolusi, dan tak memilih jalan perubahan reformasi yang sangat melelahkan, sedangkan perubahan sains dan teknologi bergerak revolutif, amat cepat. Termasuk perubahan terkait dengan populasi manusia terdidik lulusan lembaga pendidikan tinggi dan lapangan pekerjaan yang menyusut, diambil alih oleh produk kecerdasan buatan. Terutama, ketika realitas sosial di berbagai negara, terjebak perdebatan tentang korelasi langsung hasil evolusi pendidikan tinggi dengan perubahan cepat hasrat, kehendak, dan kepentingan individu maupun masyarakat. Kendati di berbagai negara, termasuk di Indonesia berkembang lembaga pendidikan tinggi korporat.

Catatan Bang Sèm

Ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan zaman masih akan terus berlangsung. Percepatan sains dan teknologi yang terus bergerak menuju teknologi nano — yang terus menggerakkan perubahan cepat kehidupan manusia — tak kan terhalangi.

Singularitas memicu ketergantungan manusia pada produk sains – teknologi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligent). Lantas, memacu transhumanitas. Menghadapkan manusia pada pertautan realitas kehidupan pertama dan kedua. Pertautan ilusi, fantasi, imajinasi dengan visi yang menjembatani realitas hidup yang sesungguhnya. Pertautan intuitive reason dan way of think dalam konsep berpikir merayap dan meruyak ke berbagai aspek kehidupan manusia.  Muaranya adalah proses dehumanisasi yang terbendung.

Di tengah arus deras perubahan yang menghadapkan manusia pada kecemasan dan harapan tersebut, dalam berbagai percakapan global, mengemuka kembali berbagai tema penting yang pernah berlangsung di abad XX. Khasnya tentang lembaga pendidikan tinggi seni budaya berdimensi humaniora.

Lembaga pendidikan tinggi seni budaya, apapun formatnya, akan berhadapan dengan dampak langsung perubahan tersebut, khasnya ketika tsunami informasi secara multi media, multi channel, dan multi platform mengguncang tiang-tiang peradaban dan keadaban manusia. Terutama, ketika penegakan hukum tak berbuah keadilan, kemajuan estetika sekadar memoles wajah peradaban tanpa keadaban, ketika cinta beranja pergi dalam relasi sosial dan menjauhkan manusia dari kualitas kemanusiaan yang dimensional. Melepas kesadaran tentang simpati, empati, apresiasi, dan respek dalam gelombang besar penghancuran akal budi manusia.

Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Eropa (universitas-universitas tua Oxford, Paris, dan Bologna) terus menerus melakukan pemikiran ulang peran dan konstelasinya. Tak terkecuali melakukan peninjauan ulang sebagian besar kurikulum yang didasarkan pada materi keilmuan dan keberadaban, untuk melayani tujuan yang sangat luhur, “memperluas akal budi” manusia sebagai subyek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seni artikulatif dan aspiratif mahasiswa seni rupa Iran | PBS

Perubahan Geo Politik

Universitas-universitas yang menjadi penggerak dinamika kehidupan abad ke 12 tersebut, berinteraksi dan merespon perkembangan Humboldtian (universitas Humboldt di Berlin) model Jerman-Amerika pada abad ke-19, tentang lembaga pendidikan tinggi sebagai pusat riset.

Lantas terus berinteraksi dengan berbagai perubahan era massifikasi abad 20 yang menghadapkan lulusan universitas sebagai bagian dari pergerakan dinamis era industri dan informasi, yang mempengaruhi lembaga pendidikan tinggi di Asia (dimulai oleh Korea Selatan, Taiwan dan Jepang).

Percakapan-percakapan global tersebut, lantas memberikan tawaran gagasan, narasi, rencana dan aksi tentang pendidikan tinggi berbasis ketrampilan, dengan ‘membunyikan peringatan dini’ (mulai dari Oxford) ihwal : penyelamatan bumi, populasi penduduk, ketergantungan dan ketersambungan manusia dengan mesin yang diciptakannya (komputer), menyempitnya bandwith, pemikiran ulang ihwal planet, disharmoni kecerdasan dengan kearifan, sinkronisasi globalitas dengan lokalitas (dengan mempertanyakan secara kritis globalisasi dan glokalisasi), penaklukan pandemi dan beragam ancaman kesehatan akibat keserakahan manusia ‘melahap’ bumi, perang gaya baru, disorientasi religi dan budaya, perubahan orientasi geopolitik dan geo-ekonomi, serta keperluan perencanaan peradaban baru.

Lembaga-lembaga pendidikan tinggi mengubah konsep transformasi dari evolusi ke revolusi, dan tak memilih jalan perubahan reformasi yang sangat melelahkan, sedangkan perubahan sains dan teknologi bergerak revolutif, amat cepat. Termasuk perubahan terkait dengan populasi manusia terdidik lulusan lembaga pendidikan tinggi dan lapangan pekerjaan yang menyusut, diambil alih oleh produk kecerdasan buatan. Terutama, ketika realitas sosial di berbagai negara, terjebak perdebatan tentang korelasi langsung hasil evolusi pendidikan tinggi dengan perubahan cepat hasrat, kehendak, dan kepentingan individu maupun masyarakat. Kendati di berbagai negara, termasuk di Indonesia berkembang lembaga pendidikan tinggi korporat.

Pandemi nanomonster Covid 19 melantakkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dan menyeret manusia ke dalam realitas faktual: limbungnya globalisma kapitalistik dan sosialisma mondial. Jutaan ijazah yang dikeluarkan lembaga pendidikan tinggi tak membuat para sarjana yang dihasilkannya mampu menaklukan kondisi di tengah krisis kesehatan, ekonomi dan bahkan politik. Setarikan nafas, lembaga pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, sebagaimana dunia industri dan bisnis mesti mengubah metode pengajaran – secara online.  Suatu metode yang semula disiapkan untuk menguatkan koneksi insan akademik, menghubungkan dunia nyata dengan lembaga pendidikan tinggi.

Terapi Seni merupakan salah satu bentuk integrasi antar disiplin ilmu seni dan ilmu kedokteran dalam berbagai medium yang dikembangkan College of Art, Harvard University – Amerika Serikat | CAHU

Tak Hanya Perubahan Kurikulum

Pasca pandemi global, metode pengajaran mengubah konsep asasi pembelajaran, berusaha keras mempertemukan aspek didaktis dan pedagogis dengan perkembangan teknologi informasi, termasuk block chain dan media baru. Percakapan tentang keterhubungan manusia dengan komputer — via chips yang ditanamkan di dalam anatomi manusia –, pula tantangan dehumanitas dari manusia ragawi – ruhi (jasmani – ruhani, raga – jiwa) menjadi manusia data, kian berkembang. Apalagi ketika kemajuan cepat teknologi telah mengubah peta pergerakan khalayak menjadi masyarakat teralgoritmakan, disertai dampaknya: malas berpikir, materialistik, agnostik, dan terjebak dalam perubahan menuju khayawan an nathiq (hewan yang berakal).

Sejumlah lembaga pendidikan tinggi dunia (di Amerika, Eropa, Timur Tengah, Asia, dan Pasifik) lekas memilih jalan keseimbangan, memberi perhatian khas pada lembaga pendidikan tinggi kebudayaan (lebih spesifik seni dan budaya). Tidak sekadar untuk menciptakan peluang dalam konteks supply dan demand atas perkembangan cepat media baru dengan segala keragamannya. Jauh dari itu, untuk kian menghidupkan daya artistika – estetika – etika sebagai bagian utuh proses humanisasi, melawan ancaman risiko eksistensial manusia.

Iran dan Korea Selatan, bersama Taiwan dan sejumlah negara di kawasan Pasifik, seperti Australia dan Selandia Baru adu cepat dengan negara-negara Eropa dan Amerika, bergerak cepat merespon keadaan. Memberikan perhatian khas dan berpikir ulang tentang posisi dan konstelasi strategis lembaga pendidikan seni dan budaya sebagai penyedia manusia sebagai subyek perkembangan sains dan teknologi yang mengubah gaya hidup. Tidak semata-mata melakukan perubahan pada kurikulum dan materi pembelajaran yang menyertainya. Jauh dari itu, memberi landasan kuat pada budaya pendidikan. Tanpa kecuali menggali kembali norma dan nilai budaya tradisi, mengembangan daya cipta (kreativitas dan inovasi) untuk mengolah norma dan nilai tersebut relevan dengan dinamika perkembangan dan perubahan terjadi.

Lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya, memperbarui konsep integralitas keragaman ilmu pengetahuan — dengan melakukan sinkronisasi ilmu-ilmu pasti (sains dan teknologi), sosial, budaya, ekonomi. Kemudian melihat seluruh proses perubahan yang sedang dan akan terjadi merupakan perubahan kebudayaan yang berdampak langsung pada perubahan peradaban.

Secara spesifik lembaga-lembaga pendidikan seni dan budaya mempertautkan, misalnya, seni pertunjukan tradisi dan modern (tari, teater, musik) dan seni rupa, filsafat, dan sastra dengan ilmu fisika, matematika, neuroscience, dan lain-lain.  Pertautan keilmuan ini berorientasi pada penguatan kembali eksistensi manusia sebagai subyek utuh dalam kehidupan dan memainkan peran sebagai pengendali sains dan teknologi, serta sebagai penyampai utama pesan kehidupan tentang keadilan dan kemanusiaan. Sekaligus pemberi peringatan dini atas kemungkinan penyimpangan sains dan teknologi yang mengubah orientasi manusia tentang keindahan dan kebahagiaan.

Pemikiran ulang untuk penguatan institusi pendidikan tinggi juga dilakukan untuk memelihara keseimbangan akal budi sebagai identitas utama manusia dengan algoritmasi yang menjadi penanda utama manusia data. Hal tersebut tak cukup hanya dengan mendiseminasi jargon-jargon, seperti kampus merdeka. Melainkan pendalaman atas hak dasar manusia (independence of think, will, expression) yang tidak bersumbu hanya pada ‘freedom’ dan ‘liberalism’ dalam konteks individual yang dipagari matra etik dalam konteks keberadaannya sebagai homo socius.

MAHASISWA jurusan musik tradisional K’ART University – Korea Selatan | KArt

Ars Longa Vita Brevis

Dalam konteks ini, landasan pendidikan tinggi seni dan budaya bertumpu pada kesadaran tentang eksistensi manusia berdaulat yang berdimensi kemanfaatan luas kepada semesta dan sesama. Kesadaran ini akan menjadi faktor dan aspek penting dalam membangun sistem universe prosperity, untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan menjaga manusia terjebak dalam jebakan petaka. Menjadi perisan bagi khalayak dalam mencegah terjadinya penghancuran nalar secara massif.

Lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya juga berperan strategis untuk menghidupkan dan membangun imajinasi baru (dalam rancang peradaban kemudian) sekaligus menghidupkan rekacita (imagineering) terkait dengan konsep sustainable development goals (SDG’s).

Intinya adalah lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya, tak lagi cukup hanya menjadi ajang pembentuk manusia trampil dan laboratorium kreativitas dan inovasi seni. Jauh dari itu, merupakan ajang pembentuk manusia berkebudayaan dan berkemajuan untuk bangsanya dan semesta. Menjadi mata air bagi telaga atau oase di tengah pertumbuhan gaya hidup industrial. Termasuk pilar baru dalam menciptakan demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kehidupan manusia.

Lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya, mau tak mau, mesti mengenali kekuatan – daya baru sebagai penyeimbang arus besar artifisial intelligent melalui upaya sistematis dan terus menerus menghidupkan kecerdasan budaya. Termasuk sumber pencerah di tengah kekusutan zaman. Energi spiritual bagi khalayaknya.

Untuk itulah tata kelola lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya, sebagaimana dianut secara internasional, membebaskan dirinya dari aksi Gerakan Reformasi Pendidikan Global, yang terus berusaha menstandardisasi pendidikan secara global melalui kurikulum standar dengan sistem pengukuran mesin homogenisasi yang tidak memiliki konteks dengan masyarakatnya.

Seluruh sistem tata kelola lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya mesti bertumpu pada kesadaran untuk mencegah terjadinya fenomena ‘group immaturity’ – ketidakdewasaan kelompok dengan kecenderungan moralitas kelompok di dalam masyarakat, yang sering memicu khalayak ke tingkat konflik egois; kecenderungan kelompok yang melanggengkan diri secara eksklusif; dan, mencegah kebiasaan atau kecenderungan memilih jalan pintas dan menghindari proses yang bertanggungjawab. Sesuai dengan sesanti abadi: ars longa vita brevis. Seni (budaya) itu abadi (sedangkan) hidup itu terbatas. |

Posted in LITERA.