“Seni, khususnya musik dan film mempertemukan manusia, mendekatkan dan mengkaribkan antar kelompok masyarakat yang terkotak-kotak melalui simbol, warna, dan partai politik“
Catatan Kenangan Bang Sèm
Musik fanfare terdengar mengalun malam itu, Jum’at – 30 September 2022. Lampu-lampu panggung menyala. Tak berapa lama, tampak dua belia memainkan dua buah lagi, kemudian masuk lagi satu penyanyi belia seusia. Lantas, tiga belia, itu : Mia Ismi, Putri Ariani, dan Alien Child melakukan eksplorasi performa panggung mereka yang ciamik.
Pergelaran konser Erwin Gutawa Orchestra bertajuk ‘Chrisye Live by Erwin Gutawa’ memperingati 30 tahun Balai Sidang Senayan Jakarta pun memasuki fase-fase berikutnya, rising performance. Pasya, putera bungsu pasangan Chrisye dan Yanti Noor, tampil ke panggung dengan gaya belianya, menandai dimulai konsernya.
Pergelaran mulai merambat, hangat dan karib. Ferry Mursyidan Baldan menikmati performa seluruh musisi di atas panggung, termasuk penyanyi Cantika Abigail dan Michael Jakarimilena yang memikat, meski mengaku baru pertama kali terlibat dalam konser yang memadukan konsep semi media baru, itu.
Ferry menikmati pergelaran itu. Ia menyimak tekun setiap lagu dan nyaris tak bercakap-cakap. Ia memahami betul dan mengaktualisasi etika menonton konser musik, yang berbeda dengan kaum kerumunan yang lebih pandai bercakap-cakap, katimbang mendengar dan menyimak.
Ferry adalah sosok penikmat musik dan politisi yang paham bagaimana bersikap dan bertindak dalam suatu majelis. Termasuk majelis kesenian dan politik yang ditekuninya sejak masih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat – Republik Indonesia (MPR RI) mewakili golongan kaum muda.

Ferry, Keenan Nasution dan penulis | dok sem
Sebelum melangkah ke Plenary Hall – Balai Sidang Senayan, di Kedai Dapur Kasma yang terletak di sudut salah satu gedung Parkir Timur Senayan, ia banyak bercakap-cakap tentang Chrisye dan karya-karya musikalnya. Termasuk berbagi informasi dengan seorang jurnalis muda salah satu kantor berita. Ia juga saling sapa dan bercakap-cakap dengan berbagai kalangan yang dikenalnya dan mengenalnya.
Cara Merawat Cinta Istri dan Keluarga
Ferry kerap mengajak saya menikmati pergelaran musikal. Kami, bersama Anies Rasyid Baswedan, juga sama bergabung dalam pergelaran Jakarta Melayu Festival yang digagas aktivis sosio politik Geisz Chalifah. Bersama Geisz juga ia menginisasi pergelaran lagu-lagu Chrisye dalam beat dan arangemen musik Melayu di Pasar Seni Ancol.
Pada pergelaran ‘Chrisye Live by Erwin Gutawa’ malam itu, setiap tampilan musikal dan lagu mengusik resonansinya untuk ikut bersenandung. Saya memperhatikan sikapnya, termasuk mimik dan gesturnya dari satu lagu ke lagu lain. Ia seperti sosok cermin yang nyata tentang konvensi pergelaran musikan yang secara soft penetratif merasuk ke dalam penikmatnya.
Ferry dan para fans Chrisye dan Erwin Gutawa malam itu, seolah mengisi ruang interaksi batin yang mengalirkan efek ikatan sosial dan menjadi penanda evolusi musik yang meluas. Ia menjadi bagian dari komunikasi musikal satu lintasan. Lantas, menunjukan kesahihan pemahaman tentang inherensi musik dan proses sosial. Pula, sensorimotorik dan kognisi yang menghaluskan budi.
Pada malam pergelaran tersebut, saya perhatikan, beberapa lagu membuat dia tak hanya mengeksplorasi dimensi kedalaman dirinya, bahkan mengekspresikan dengan ikut berdendang pada bagian-bagian musik yang melibatkan khalayak penonton. Khasnya ketika tembang Galih dan Ratna, Lilin Lilin Kecil, Anak Sekolah, Damai Bersamamu, Kisah Kasih di Sekolah, Seperti Yang Kau Minta, Merpati Putih, dilantunkan.

H. Deddy Mizwar dan Ferry Mursidan Baldan. Film dan politik kebangsaan | dok. sem
Khas pada lagu-lagu tersebut, Ferry memanfaatkannya untuk sesuatu yang sangat indah. Merawat Cinta. Dalam perjalanan pulang dari konser menuju ke rumah saya, sambil mengemudi Ferry mengemukakan, tembang-tembang cinta melodius baginya merupakan medium memelihara kesadaran untuk merawat cinta kepada istrinya, Hanifah Hussein.
Tembang-tembang cinta dengan beat melodius, baginya menjadi telangkai kesadaran mengharmonisasikan nalar, naluri, nurani, dan rasa cinta. “Merawat cinta istri, penting buat kita-kita yang aktif dalam beragam kegiatan kemasyarakatan dan politik,” ungkapnya. Wife and family are the first !
Kaya Referensi
Ferry yang mempunyai ekspresi ferrial (pesona persona) pada dirinya, terbilang politisi yang menempatkan seni, khasnya seni musik dan film sebagai cara menjaga keseimbangan dan harmoni yang mematangkan dirinya. Termasuk menjadikan dimensi artistika – estetika – etika musikal dan film sebagai daya koneksi dengan khalayak, rakyat. Tak terkecuali menguatkan silaturrahmi. Hal ini nampak, misalnya pada hubungan persaudaraan Ferry dengan keluarga Chrisye dan Yanti Noor. Ferry mengusung jenazah keranda Yanti ke makam, kala Yanti wafat.
Berkali-kali Ferry terlihat melakukan interaksi sosial dengan menempatkan musik sebagai medium, dan lagu-lagu Chrisye mewarnai. Antara lain dengan para koleganya di kumpulan Rasela – Bandung, para wartawan musik (hasil kolaborasinya menghasilkan buku tentang Chrisye), dengan para pemain live music di beberapa resto, bahkan pengamen difabel di Stasiun Kereta Bandung, atau pengamen di kedai sate Harris – Jalan Asia Afrika Bandung.
Dari sering menonton konser musik bersamanya (termasuk pergelaran musikan karya-karya Koes Bersaudara dan Koes Plus) yang juga mengkaribkan Ferry dengan Nomo Koeswoyo, Yok Koeswoyo, dan anak-anak Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, dan Muri, saya menangkap kesan, Ferry mempunyai referensi khas tentang musik.

Geisz Chalifah, Anies R Baswedan, Nong Niken, Kiki Ameera, Ferry Mursyidan Baldan. Menggerakkan dan mengembangkan musik Melayu | dok. sem
Suatu malam, di sela pergelaran lagu-lagu Keluarga Koeswoyo (Koes Bersaudara dan Koes Plus) di Hard Rock Cafè, dalam percakapan bersama Nomo Koeswoyo, Yok Koeswoyo, dan Setyawan Djodi, kekayaan referensi musikalnya, nampak.
Pemahaman dan pengetahuan musikalnya tersebut, bahkan diekspresikan lewat nyanyi bersama di atas pentas. Hal yang sama juga terlihat dalam interaksinya dengan komunitas musik melayu, khasnya dengan kelompok musik Serojacoustik Band, yang merupakan home band Al Jazeera Signature.
Percakapannya dengan musisi-musisi Melayu seperti Darmansyah Ismail, Butong, Tom Salmin, Nong Niken Astri, Erie Suzan, Kiki Ameera, Maxi dan lain-lain terasa hidup. Tembang-tembang melayu melodius seperti Seroja, Engkau Laksana Bulan, Cinta Hampa, dan lainnya terekam baik dalam berada dalam mind and soul dirinya. Para musisi itu menobatkan Ferry salah satu tokoh nasional yang peduli musik Melayu.

Ferry mengusung keranda Yanti Noor Chrisye ke pemakaman | dok.sem
Menguatkan Ekosistem Budaya
Belakangan hari, bahkan tampak, Ferry berusaha keras menyanyikan lagu-lagu tersebut. Usahanya nampak berhasil, sejak saya melihatnya bernyanyi di kafè sebuah hotel di kota Padang, disaksikan istri dan para koleganya. Sejak itu dalam kesempatan lain, saya menyaksikan dia bernyanyi sesuai dengan komposisi nada dan irama yang pas.
Dalam konteks dirinya sebagai politisi, Ferry dalam berbagai kesempatan dialog dan diskusi kecil dengan saya dan para musisi, ia mengemukakan berbagai pemikiran yang menunjukkan kepedulian besar terhadap seni dan budaya secara luas. “Ekosistem budaya, termasuk ekonomi budaya perlu menjadi prioritas,” ungkapnya suatu petang di Sarinah, usai menikmati suasana baru Jakarta.

Ferry, Biem Benyamin, Geisz Chalifah dan penulis, ditepungtawari musisi Melayu | dok. sem
Ferry berfikir perlunya negara melayani rakyatnya merawat cinta dan membangun keseimbangan melalui kebijakan berupa strategi kebudayaan yang pas. Terutama berkaitan dengan pengembangan potensi kreatif seni yang tak sekadar masuk ke dalam kotak ekonomi kreatif.
Kami sering diskusi serius tentang perluasan pemahaman tentang kebijakan negara terkait kebudayaan yang tak cukup hanya sebatas pemajuan kebudayaan. Ferry melihat peran kebudayaan, khasnya kesenian, dalam keseluruhan konteks politik kebangsaan. Produk budaya dalam bentuk karya kreatif seni, terutama musik, bagi Ferry merupakan bahasa rasa yang secara universal membebaskan orang dari sekat-sekat pragmatisma politik.
“Seni, khususnya musik dan film mempertemukan manusia, mendekatkan dan mengkaribkan antar kelompok masyarakat yang terkotak-kotak melalui simbol, warna, dan partai politik,” ungkapnya dalam suatu percakapan dengan saya.
Dalam konteks itu, ketika bertemu dan berbincang dengan sejumlah kalangan seniman yang terjun ke dalam dunia politik, Ferry tak pernah bosan mengingatkan mereka untuk menguatkan kepedulian mereka untuk secara politik memperjuangkan konstelasi seni dan budaya dalam mind set politik kebangsaan. Hal ini juga yang mengemuka kala dia berinteraksi intens dengan H. Deddy Mizwar – aktor dan sutradara film, kala Deddy menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat.
Bahkan, belakangan hari, dia mengingatkan banyak koleganya di parlemen yang berhubungan dengan kebudayaan, untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap seni dan budaya. Terutama, karena Ferry melihat masih terbatasnya anggaran pembangunan di sektor seni dan budaya.
Seni, bagi Ferry adalah kesadaran berproses sebagai bagian utuh kehidupan manusia dan politik, menurutnya adalah seni berkehidupan dan mengelola cara mencapai nilai kehidupan manusia. Di dalamnnya, ideologi, idealisme, dan visi kehidupan menjadi penting dan utama. |