Melayari Bentang Masa via Patung Instalasi Multatuli Karya Dolorosa Sinaga

Ketika menyentuh ‘bahu’ patung Saijah, dan memandangi ‘mimik’ wajahnya, saya membayangkan, ada proses rekacita khas Dolorosa yang berbeda dengan pematung lain. Ada sentuhan simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta, yang saya yakini, terbangun oleh interaksi dan proses internalisasi Dolorasa ‘belanja ide’ yang tak hanya melalui novel Max Havelaar.

Catatan Bung Sèm

Lama tak mengunjungi Rangkasbitung – Lebak, Banten. Sejak 22 September 2022, untuk urusan keluarga, beberapa kali, saya berkunjung kembali kota ini. Lantas menyempatkan diri bertandang ke Museum Multatuli yang terletak di Jalan RM Nata Atmaja – atau Jalan Alun-alun Timur.

Tak jauh dengan Pendopo Kabupaten Lebak, berdiri tegak Perpustakaan Saijah & Adinda dengan rancang bangun, tampak muka, menandai ‘perjalanan mencapai sumber kemajuan, ilmu dan pengetahuan yang terekam dalam buku.’ Di sebelahnya, di bekas kantor Wedana – Hindia Belanda berdiri Museum Multatuli.

Keberadaan perpustakaan dan museum anti kolonial pertama adi Indonesia, ini ‘mengubah’ landskap alun-alun, yang selalu dilengkapi dengan Pendopo, Masjid Agung, dan penjara.  Ada pula Rumah Sakit dr. Ajidarma di sebelah Utara.

Masuk ke kompleks Museum Multatuli, yang segera menarik perhatian dan selalu mengundang untuk disambangi pertama adalah patung instalasi karya pematung andal, Dolorosa Sinaga, dosen Institut Kesenian Jakarta dan aktivis Hak Asasi Manusia yang 31 Oktober 2022 berusia 70 tahun.

Patung instalasi karya Dolorosa Sinaga, bukan hanya memikat karena instagramable. Bagi saya, patung yang menghadirkan sosok Mulatuli, Saijah dan Adinda, ini boleh diamsalkan sebagai ‘dermaga’ untuk melayari bentang masa, dari masa lampau ke masa depan. Khasnya, dalam melihat keseluruhan konteks Lebak, Banten, dan Indonesia.

Karya patung instalasi tersebut terdiri dari sosok Saijah yang berdiri dengan karakternya yang kosmopolit sekaligus mengekspresikan watak manusia tangguh memperjuangkan cinta.

Di bagian lain, nampak sosok Adinda, yang duduk di bangku, dengan bunga dalam pangkuan, sedang memandangi rak buku.

Di depannya tampak patung Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker) yang sedang duduk, membaca buku. Buku sangat tebal yang besarnya, melebihi sosok Multatuli.

PATUNG SAIJAH dengan dada terbuka dan lengan yang seolah mempersilakan siapa saja masuk ke ‘dermaga bentang masa.’ | bungsem

Patung instalasi, ini dari berbagai data dan informasi, dikerjakan Dolorosa melalui proses kreatif selama setahun. Terbuat dari bahan perunggu. Keberadaannya di halaman museum, itu laiknya etalase penting sebelum pengunjung masuk ke dalam berbagai ruang di museum ini.

Museum menyimpan berbagai koleksi, mulai dari novel Max Havelar edisi pertama berbahasa Perancis yang diterbitkan tahun 1876; litografi dan lukisan Multatuli, manuskrip surat menyurat Multatuli dengan para petinggi Hindia Belanda, foto-foto sejumlah tokoh pergerakan kebangsaan, literasi, dan sastra. Beberapa ‘artefak,’ dan materi koleksi hibah dari Multatuli Haus di Belanda, juga menjadi koleksi museum ini.

Max Havelar merupakan karya sastra abadi di dunia yang ditulis dari pengalaman Mulatuli menyaksikan perilaku kejam Pemerintah Hindia Belanda menindas rakyat Lebak, kala menjabat Asisten Residen Hindia Belanda (Januari – Maret 1856). Penindasan yang juga dialami di berbagai belahan lain, negeri yang dulu dikenal dengan Nusantara, ini.

Sosok Saijah, merupakan tokoh dalam novel Max Havelaar yang mewakili kaum tertindas yang hak-hak kemanusiaannya tertindas, namun gigih berjuang untuk mendapatkan kedaulatan atas dirinya, termasuk mewujudkan cintanya kepasa Adinda yang tak pernah kesampaian, akibat aksi kolonialisme yang mencerai-beraikan manusia melalui tindakan anti kemanusiaan.

Adinda, merupakan sosok perempuan desa di Lebak yang membawa cinta, kesetiaan, dan kerinduan kepada kekasihnya (Saijah) yang diboyong keluarganya hijrah ke Lampung, menyeberangi Selat Sunda, dan melanjutkan perjuangan melawan penjajah, dan mati di bawah ditembus peluru kekuasaan yang bengis.

PATUNG ADINDA menggenggam bunga dalam pangkuan memandang ke almari buku. Ekspresi perempuan dengan keteguhan cinta, optimistis memandang cakrawala kehidupan | khas

Setting waktu kisah Saijah dan Adinda dalam novel Max Havelaar adalah dekade 1930-an, ketika pemerintah penjajah Hindia Belanda, menerapkan kebijakan tanam paksa, mencekik rakyat dengan pajak yang tinggi. Kisah keduanya diwarnai oleh noktah penghianatan yang dilakukan Adipati Lebak dan Demang Parangkujang, yang membuat rakyat miskin dan menderita.

Akan halnya Multatuli adalah ambtenaar Hindia Belanda yang berpihak kepada rakyat, menentang keras aksi penjajahan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.  Sikapnya yang konsisten membela rakyat memantik konflik dengan Bupati Lebak Karta Natanegara, dan kemudian menjadi penyebab Mulatuli dipecat dari jabatannya.

Multatuli merekam berbagai peristiwa penindasan atas rakyat dan menangkap tragedi cinta kaum pribumi di tengah penindasan kolonial tersebut, lewat sosok Saijah dan Adinda. Lewat Max Havelaar, Multatuli tak sekadar ingin mengabarkan kepada dunia tentang kekejaman kolonial dan dampak buruk dehumanitas kolonialisme. Dia juga memberi gagasan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakannya.

Saya meyakini, Dolorosa memerlukan waktu untuk tidak sekedar membaca novel Max Havelaar, kemudian mengenali lebih dalam tentang Multatuli yang menggunakan novel sebagai medium ekspresi diri, mengeksplorasi gagasan, meluahkannya dalam narasi berisi pesan perlawanan terhadap kekuasaan, sekaligus membebaskan diri dari relasi kuasa.

Pun demikian halnya ketika menyelami sosok sekaligus watak Saijah, lelaki desa korban kekejaman penjajah, pergulatan pribadinya untuk mencapai kedaulatan diri (sehingga hijrah dan menjadi kusir bendi di Batavia), dan komitmen cintanya kepada Adinda.

SEORANG anak memeluk hangat patung Adinda, laiknya anak memeluk ibunya sendiri. Terkesan ada resonansi batin anak terhadap sosok Adinda yang mengalami nasib sansai dalam novel Max Havelaar | khas

Saya juga membayangkan, Dolorosa intens masuk dan menyelami sosok Adinda dengan kompleksitas masalah yang dihadapinya, kepatuhannya kepada orang tua untuk hijrah ke Lampung melanjutkan perlawanan kepada penjajah. Lantas tewas tertembus peluru penjajah.

Tiga sosok patung berbahan tembaga dengan ukuran orang dewasa yang dikerjakan Dolorosa, ini menyampaikan transformasi sebagai jalan perubahan dramatik insaniah, ini tampak dan terasa sebagai ekspresi subyektif pematung, kreator.

Postur dan karakter imajinatif Saijah, Adinda dan Mulatuli dengan segala bentuk ‘wajah’-nya selain menyimpan gagasan dan subyektivitas dalam satu kesatuan, juga mengalirkan romantisme kemanusiaan.

Rangkaian ide dan pemikiran kreatif yang dibangun melalui struktur nalar, naluri, nurani, dan rasa hadir dalam keseluruhan konteks kisah dan peristiwa yang melatari proses kreatif pembuatan patung ini.

Ketika menyentuh ‘bahu’ patung Saijah, dan memandangi ‘mimik’ wajahnya, saya membayangkan, ada proses rekacita khas Dolorosa yang berbeda dengan pematung lain. Ada sentuhan simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta, yang saya yakini, terbangun oleh interaksi dan proses internalisasi Dolorasa ‘belanja ide’ yang tak hanya melalui novel Max Havelaar.

Patung Saijah yang membuka ruang memasuki imajinasi tentang kisah dirinya dalam Max Havelaar seolah memandu jalan menuju sesanti, ‘historia vitae magistra.’ Sejarah sebagai ibu kehidupan.

Pandangan Adinda yang tertuju ke lemari buku, seolah memberi kode khas bagi yang melihatnya untuk memasuki garba literasi, tak hanya dalam konteks mengunjungi masa lampau. Melainkan, mengambil berbagai nilai pembelajaran di masa lalu sebagai bagian tak terpisahkan dalam seluruh proses melayari masa depan.

Sosok Multatuli yang sedang membaca buku, yang bukunya melampaui jangkauan tangan, bahkan sosoknya, memantik kesan tentang hakekat karya literatif (tak terkecuali ilmu pengetahuan yang terus berkembang dinamis). Dalam konteks imajinasi, terasa mengalir juga pandangan Einstein, “imajinasi melampaui ilmu pengetahuan,” pada patung itu.

KIRI : Profil patung saijah, gambaran lelaki desa konsisten, kiri (dok. khas) | KANAN : Dolorosa Sinaga pematung – pencipta sosok patung instalasi Multatuli (foto. BatakviaMedia)

Patung instalasi karya Dolorosa, ini belakangan ramai dikunjungi keluarga sebagai latar berfoto dan bermain anak-anak. Beberapa rekaman di kanal You Tube, bahkan ada yang menggambarkan, bagaimana bocah-bocah mengalami ‘kedekatan batin’  dengan patung Adinda.

Bagi saya, patung instalasi Dolorosa, ini merupakan medium inkubasi untuk menyerap semangat, memproses gagasan, dan mengembangkan wawasan. Sesuatu yang bisa memantik iluminasi atau pencerahan tentang peristiwa-peristiwa dari masa ke masa dalam wilayah kehidupan. Iluminasi bagi manusia dalam konteks personal, komunal, dan sosial untuk melakukan perubahan.

Dolorosa melalui karyanya itu telah meletakkan ide besar yang tentang perjuangan menjadi manusia berdaulat, perempuan sebagai ‘keperkasaan’ yang dibangun oleh keindahan, cinta, kesetiaan, dan keberanian hidup yang akan lebih mumpuni dengan ilmu pengetahuan. Khasnya perempuan sebagai pendidik pertama dan utama, penyedia benih keberanian dan kebajikan, perawat kemanusiaan dan kehidupan, dan pemandu jalan hidup menapaki trilogi nilai Banten : nista, madya, utama.

Patung tersebut, bagi saya, juga menyampaikan pesan panjang ke masa depan. Tak hanya konsisten dalam melawan segala penindasan yang dibawa kapitalisme global dan gagal menciptakan kesejahteraan yang disuarakan sosialisme mondial. Sebaliknya mengusik atau memantik gagasan untuk berfikir, bersikap, dan bertindak mewujudkan sistem universe prosperity (kesejahteraan semesta) yang dilandasi oleh keadilan.

Patung-patung itu juga membuka suatu cakrawala perubahan yang menarik tentang kesadaran literatif untuk mengabadikan pengalaman, pengetahuan, ilmu (dengan sendirinya teknologi) dalam format gerakan perubahan yang harus dilakukan serentak dan serempak melalui pendidikan menyeluruh. Termasuk penyelenggaraan community college untuk mempercepat keseimbangan kearifan dan keterampilan dengan kecerdasan budaya.

PATUNG Multatuli membaca buku yang berkuran lebih besar dari sosoknya. Pesan simbolik tentang literasi berisi gagasan yang melampaui manusia itu sendiri | bungsem

Dengan bekal ini semua, ketika berinteraksi dengan beragam koleksi di museum ini dan koleksi perpustakaan Saijah & Adinda, akan diperoleh kesadaran literatif tentang percepatan kebangkitan Lebak dan Banten, memasuki zaman baru. Tidak terjebak pada ambivalensia: menjawab tantangan abad ke XXI dengan pemikiran abad ke 19.

Kabupaten Lebak merupakan kabupaten khas yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Banten sebagai kawasan utama percepatan pembangunan Banten. Apalagi, pembangunan infrastruktur (termasuk jalan tol dan commuter line) telah memungkinkan koneksi Lebak dengan Jakarta.

Kode imajinatif patung instalasi Dolorosa tentang perjuangan kemandirian, perlawanan atas penindasan, kesungguhan mengubah keadaan, arus utama gender dalam memainkan peran strategis perubahan (berbasis pendidikan), optimisme, dan cinta dapat diartikulasikan secara kongkret dalam strategi pembangunan Lebak. Khasnya, untuk menegaskan, bahwa pembangunan merupakan gerakan kebudayaan.

Pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai subyek, rakyat yang berdaulat dan diperlakukan secara adil. Rakyat, khasnya di Lebak, selama masa kerja paksa zaman kolonial diperlakukan tidak adil.

Dengan segala keterbatasan, berjuang melakukan perlawanan untuk memperoleh keadilan, yang ditandai oleh pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Pembangunan yang, membawa rakyat, meninggalkan ‘masa gelap’ menuju cahaya terang kemerdekaan dan kedaulatan. |

 

Posted in LITERA.