Menyaksikan pertunjukan Teater Koma kali ini, lagi, kita merasakan, bahwa panggung teater merupakan ruang untuk bercermin, sekaligus salah satu cara untuk menemukan kembali akal sehat dan budi nurani. Cara mencapai keseimbangan nalar, naluri, rasa dan dria dalam satu tarikan nafas. Termasuk, yang diyakini Teater Koma, sebagai cara merawat sikap saling menghargai perbedaan, saling menghargai sesama. Bagi saya, pementasan ini tetap masih menghadirkan koma dalam keseluruhan konteks transformasi kreatif dalam menempatkan seni teater sebagai jendela budaya makro.
Catatan Bang Sèm
TEATER Koma menggelar produksinya yang ke 225, Roro Jonggrang, di Graha Bhakti Budaya – Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, 14 – 16 Oktober 2022. Lakon tersebut ditulis dan disutradarai sendiri oleh N. Riantiarno, yang selama 45 tahun (didirikan 1 Maret 1977) memimpin kelompok teater ini.
Pergelaran ini, boleh jadi, patut juga disebut sebagai ‘uji coba’ gedung pertunjukan yang kabarnya kini didukung oleh peralatan berteknologi tinggi, seperti: Motorised flying bars system, High-tech stage lighting system, High quality sound system, Orchestra pit untuk musisi 45 orang, dan celling and wall panel accoustic system.
Gedung berkapasitas 954 kursi penonton, setelah dikurangi beberapa layer di depan panggung untuk pemain musik pergelaran tersebut, penuh. Melihat jumlah penonton tersebut, Prof. Dr. Endang Caturwati, Guru Besar Seni Pertunjukan Instititut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, menyatakan, animo penonton teater tak pernah surut, setelah dua tahun didera pandemi Covid-19.
Dari aspek pertunjukan, menurut Endang, pergelaran ini kembali mempertemukan kreativitas di sebalik produksi dan lakon, pemain, dan penonton dalam suatu interaksi langsung di gedung pertunjukan.
Tak hanya itu. Ratna – Pimpinan Produksi Teater Koma pada booklet pertunjukan, bahwa Teater Koma membuka lembar baru dalam kiprah kreatifnya. Ia berharap perjuangan menuju lakon ini bisa memberikan sebuah perenungan sekaligus hiburan bagi khalayak. “Kerinduan berpentas langsung juga sama dengan kerinduan Anda menonton pentas tersebut secara langsung. Sungguh temu kangen yang menyenangkan,” ungkap Ratna lagi.
Harapan itu kesampaian. “Mengharukan dan membahagiakan,” cetus Nungki Kusumastuti, praktisi dan akademisi seni pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Keyakinan Nano Riantiarno dan Teater Koma, bahwa teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi, tercapai, ketika pertunjukan usai, saat benderang lampu memperlihatkan wajah-wajah seluruh pemain dan kru di atas panggung, yang disambut standing occasion penonton.

SUASANA panggung Roro Jonggrang dengan latar visual digital | bang sem
Roro Jonggrang versus Bandung Bondowoso
LAKON Roro Jonggrang, bagi sebagian khalayak Indonesia, memang tak asing. Lakon ini terinspirasi oleh kisah legenda Roro Jonggrang. Puteri Kerajaan Boko, ini bersikap, menolak pinangan para raja dan pangeran, ia lebih merindukan pinangan pemuda biasa yang bersahaja.
Roro Jonggrang tiba pada satu momen, terpaksa menerima pinangan Bandung Bondowoso – Putera Mahkota Pengging. Mulanya Roro Jonggrang menolak dan berniat membalas dendam, karena Bandung Bondowoso telah menyerang Kerajaan Boko, dan membinasakan Raja dan Ratu Boko, ayah dan ibu Jonggrang, jadi abu.
Lamaran diterima dengan syarat: Bandung Bondowoso mesti membuat sumur Jalatunda di Gunung Boko, pada suatu pagi. Lantas membangun 1000 candi yang harus rampung dalam satu malam. Bandung Bondowoso menerima syarat itu. Lalu mengerahkan para lelembut untuk melakukannya.
Sumur sudah tersedia. Roror Jonggrang dengan bantuan patih Boko, emban dan prajurit Prambanan, bersiasat menjebak Bandung Bondowoso, supaya masuk ke dalam sumur, kemudian dilenyapkan dengan timbunan batu. Muslihat licik Jonggrang tak berhasil. Ia balik memuji Bandung Bondowoso sebagai lelaki perkasa dan sakti.
Tapi, Roro Jonggrang cemas. Laporan patih, emban dan prajuritnya menunjukkan, Bandung Bondowoso akan berhasil memenuhi syarat membangun 1000 candi dengan bantuan lelembut. 999 candi sudah terbangun. Roro Jonggrang mencari cara untuk menggagalkan.
Salah seorang emban menemukan cara muslihat. Roro Jonggrang menjalankan muslihat itu. Ia memerintahkan patih Boko dan prajurit Prambanan, menggerakkan rakyat mengumpulkan jerami dan membakarnya lepas dinihari, supaya nampak fajar sudah tiba dan ayam-ayam berkokok. Berhasil.
Api yang membakar jerami dan ayam yang berkokok, disangka para lelembut, sudah tiba fajar, sehingga mereka harus menghentikan kerja membangun seluruh candi. Para lelembut tak ingin didahului oleh matahari yang akan melumatkan mereka.
1000 candi gagal dibangun. Kesaktian luar biasa dan cinta membara Bandung Bondowoso ternyata bisa digagalkan oleh tipu muslihat Roro Jonggrang. Bandung Bondowoso tak berhasil menyunting Roro Jonggrang yang kemudian berubah jadi batu, di antara 999 candi.
Pesan moral yang terkirim dari lakon ini, adalah kecurangan sudah terjadi sejak lama. Cinta terkalahkan oleh kecurangan.

ADEGAN penyerangan Bandung Bondowoso yang membuat Raja dan Ratu Boko dilumat api | bang sem
Naskah Cerdas, Dialog Tangkas
MENYIMAK dialog para pemain di atas panggung prosenium GBB tersebut, pesan moral tentang kecurangan yang terus terjadi, tersampaikan dengan jelas. Termasuk kesan mendalam tentang daya rusak kecurangan yang melumat kesadaran cinta. Meski cinta ditupang oleh entusiasme simpati, empati, apresiasi, dan respek dalam keseluruhan dimensi kedalaman manusia. Pesan moral yang teresonansi kepada penonton dengan pengalamannya masing-masing.
Prof. Endang terdengar beberapa kali menggumam, meresonansi dialog di atas panggung, ‘kecurangan dan kejahatan itu milik setan’ dan diambil alih oleh manusia. Kecurangan dan kejahatan ada di mana-mana.
Berbagai dialog yang mengemuka dalam pergelaran ini, menjadi katarsis, pelepasan emosi yang baik untuk memperoleh lagi keseimbangan akal budi. Dialog-dialog Roro Jonggrang (Sekar Dewantari) dan Bandung Bondowoso (Rangga Riantiarno) mengusik kesadaran tentang realitas paradoks dalam berbagai sisi kehidupan manusia secara universal.
Sikap keras hati Roro Jonggrang menolak dan mencari cara menaklukan realitas dengan jurus machiavellian; dan sikap penetratif hipodermis Bandung Bondowoso mengungkapkan ekspresi kawasa dengan jumawa meski untuk kepentingan cinta, membuka mata batin untuk membaca berbagai fenomena realitas kehidupan pertama kita. Khasnya tentang kondisi era post truth yang menyeret manusia dalam ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan.
Semua indikator keadaan realitas pertama kehidupan yang bisa terjadi di mana-mana, itu kemudian menjadi sangat dekat dengan lingkungan sosial ‘ke-disini-an’ kita, lewat Emban Roro Jonggrang I (Rita Matumona) dengan aksentuasi Batak; dan, Emban Roro Jonggrang II (Suntea Sisca) yang njawani. Dari Patih Boko (Pandu Raka) kita dapatkan refleksi menarik tentang abdi tanpa daya dalam relasi kuasa.
Dialog Raja Boko (Budi Ros) dan Ratu Boko (Ratna Riantiarno) dengan aksentuasi dan irama yang terjaga, memberikan gambaran tentang perubahan watak secara dramatik, tentang daya dan semangat mempertahankan eksistensi dalam relasi kuasa. Juga memberikan sentuhan humanis, kala berdialog dengan Roro Jonggrang dari dimensi ruang yang berbeda, tentang keseimbangan nalar, naluri, dan rasa sebagai manusia. Persisnya, kala Ratu Boko mengingatkan Roro Jonggrang tmenerima realitas, menasihatinya untuk melunakkan hati. Mengubah watak raksasa menjadi watak manusia.
Dialog-dialog Raja Lelembut (Godi Gustaman) dan Ratu Lelembut (Daisy Lantang) meski ringan, pada bagian-bagian tertentu menyentak. Terutama tentang sublimasi watak lelembut (setan) yang menjadi watak manusia. Sentakan yang menyadarkan, bahwa di dalam diri manusia terdapat watak setan. Naskah cerdas yang diartikulasikan dengan dialog tangkas, memberi ruang bagi penonton untuk menyimak pergelaran selama dua jam tersebut.
“Dua jam tidak terasa. Mas Nano sebagai sutradara sangat berhasil mengelola pertunjukan, antara lain dengan dialog dan dialek jenaka yang segar, nyanyian solo dan serempak sangat menghibur,” ungkap Prof. Endang.

Dialog tangkas mengartikulasikan naskah yang cerdas antara pemeran Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang | bang sem
PERGELARAN Roro Jonggrang membayar kerinduan kita tentang tentang hakekat teater sebagai perubahan aktivitas manusia secara universal, dari realitas pertama ke realitas kedua dan ketiga. Asumsi-asumsi tentang dimensi artistik, estetik, dan etik mengalir bersama dengan fenomena sosial yang tertata dalam naskah yang kuat. Juga keseimbangan artistika dan teknik dengan sajian musik, tata lampu, digital scenery yang memandu penonton masuk ke dalam rangkaian plot cerita. Terutama ketika tetiba dua kain putih terbentang turun dan menjadi layar transparan menggambarkan adegan Raja dan Ratu Bokor terbakar api dalam serangan Bandung Bondowoso. Digital scenery, tata cahaya, latar videotik dan dekor menjadi jendela fantasi penonton.
Teater Koma konsisten dengan konsep asasinya tentang teater sebagai bentuk tontonan yang bisa dikemas sebagai padu padan harmoni sastra, tari, drama, dan musik dalam satu kesatuan yang utuh. Berbagai pola gerak pelaku, tari, lagu, busana, properti, digital scenery (statik dan animatik) terpadu dalam kemasan yang memenuhi hasrat penonton secara visual dan audial. Maknanya, pertunjukan Roro Jonggrang Teater Koma merupakan bentuk transformasi kreatif dari format teater lama dengan format teater yang berinteraksi dengan media baru. Evolusi pembaruan dramatik.
“Pertunjukan kali ini agak sedikit berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan Teater Koma sebelumnya. Panggung menggambarkan setting ruang dan waktu peristiwa yang dinamis. Mengandalkan teknologi digital, kecuali kursi singgasana dan trap level yang mendasarinya, dan hidraulis pada titik tertentu,” komentar Prof. Endang.
Sebagai sutradara, Riantiarno teliti mengelola dan mengarahkan seluruh unsur dalam pertunjukan ini, tak hanya dalam konteks alur gerak pemain, interaksi pemain dengan set property, hand property (pada Raja Lelembut dan Prajurit Prambanan, termasuk ember kayu). Terasa prosedur kerja yang apik, terutama pada pergantian set dan properti yang menggambarkan dimensi ruang, waktu, dan peristiwa.
Ilustrasi musik dan tata suara juga kompak dengan irama dan dinamika pemain di atas panggung. Termasuk interaksinya dengan latar visual yang terasa pada saat suara kokok ayam jago. Instrumen musik (trumpet, kendang, taganing, gitar akustik, cello, contrabass, erhu, clarinet dan tenor sax) menghadirkan suasana secara proporsional. Para musisi menghadirkan kepekaan mereka secara pas dengan dinamika adegan.

PARADE pemain, kru dan sutradara di penghujung pergelaran Roro Jonggrang karya sutradara N. Riantiarno. Masih koma. | bang sem
Kua akting dan daya tahan stamina para pemain, terutama Sekar Dewantari, Rangga Riantiarno, memikat, dengan olah vokal yang berbeda satu dengan lainnya. Pun demikian halnya dengan Rita Matumona yang tak pernah kehabisan cara berekspresi. Juga Suntea Sisca dengan gelengan kepala dan Perdana Hassan (pemeran Penasehat Pengging, dengan sedikit dialog) yang peka merespon lawan mainnya. Hal yang sama juga terasakan pada akting Dodi Gustaman dan Daisy Lantang, yang memantik perenungan.
Pilihan casting pada Rangga Riantiarno dengan postur tubuhnya, menghadirkan sosok Bandung Bondowoso yang perkasa dan sakti dalam fantasi penonton. Demikian juga dengan kelenturan tubuh Sekar Dewantari dan para penari (Mieke Ramadhan, Sasmara Dara, dan Satria Syeh).
Selama pertunjukan berlangsung para pemain berhasil menghadirkan pesan-pesan perenungan dan penghiburan yang segar, dengan joke-joke cerdas yang terlontar seketika. Transformasi kreatif Teater Koma, yang digarap oleh sutradara masih dalam kondisi belum sepenuhnya sehat, bisa menjadi kajian menarik dalam memposisikan seni pertunjukan pasca pandemi. Termasuk interaksi teknik dan teknis dengan media digital.
Secara teknis pada beberapa adegan, terasa ‘gangguan kecil’ pada sound system di bagian belakang panggung, sehingga kualitas suara para pemain yang berada di altar, terutama pada bagian dialog awal Ratu Boko terkesan ‘jauh,’ padahal berada dalam setting di atas singgasana.
Menyaksikan pertunjukan Teater Koma kali ini, lagi, kita merasakan, bahwa panggung teater merupakan ruang untuk bercermin, sekaligus salah satu cara untuk menemukan kembali akal sehat dan budi nurani. Cara mencapai keseimbangan nalar, naluri, rasa dan dria dalam satu tarikan nafas. Termasuk, yang diyakini Teater Koma, sebagai cara merawat sikap saling menghargai perbedaan, saling menghargai sesama. Bagi saya, pementasan ini tetap masih menghadirkan koma dalam keseluruhan konteks transformasi kreatif dalam menempatkan seni teater sebagai jendela budaya makro. |