Menyimak Ghirah dan Gairah Tokoh Betawi

Kini, jelang tiba era Society 5.0, kaum Betawi memang kudu unjuk kemampuan kompetitif dan komparatifnya dengan begitu banyak tokohnya yang berkelas nasional dan internasional, tandang di gelanggang zaman baru.

Catatan Bang Sèm

SUASANA Perkampungan Budaya Betawi (PBB) di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, Rabu (15/6/22) terasa hangat. Puluhan tokoh Betawi, dengan berbagai latar-belakang, hadir di situ.

Para orang tua, May.Jend (Purn) H. Eddy Marzuki Nalapraya dan Brig. Jend (Purn). dr. Abdul Syukur; Pengacara H. Chevy Rasyid  nampak ceria; dan Ir. Juaini Yusuf – Wakil Walikota Jakarta Utara.

Keceriaan juga nampak di wajah Bung Imron, Kepala UPT PBB Setu Babakan yang menjadi shohibul bait; Pengacara H. Zamakh Sari – Ketua Panitia Pelaksana; Dr. H. Azis Kafia memandu acara dengan karib.

Senyum menghias Haji Zainuddin – Ketua Umum Bamus Betawi, Prof. Dr. Dailamy Firdaus – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta yang juga Pimpinan Universitas Islam As Syafi’iyah, KH Jaelani dan H. Rojali – Ketua dan Sekretaris Yayasan Seni Budaya Mushaf Jakarta – lembaga yang secara khas menyelesaikan Al Qur’an Mushaf Betawi.

Hal yang sama tertampak di wajah H. Beky Mardani – Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi; H. Ubaidillah – tokoh Betawi Jakarta Selatan (shahibul wilayah); H. Budi – tokoh Betawi – salah seorang anasir pembangunan pesantren di Amerika Serikat.

Para anggota Tim Jibang (Pengkajian dan Pengembangan) PBB Setu Babakan, seperti dr. Roosyana Hasbullah, Hj. Diana M. Muzammil, Lahyanto Nadie, dan Yahya Andi Saputra, juga nampak bersukacita.

Pun, demikian dengan Moh Ihsan – Ketua Umum FORKABI; Guru Besar Silat Beksi (Merah) Betawi, H. Basir Bustomy; dosen dan pemerhati politik Dr. Usni; aktivis dan tokoh Kaukus Muda Betawi,  H. Boim; Wakil Ketua Umum Bamus Betawi H. Muhammad Rifki; serta para aktivis Betawi lainnya.

Nampak juga dua tokoh muda Betawi Doel dan Ervan, yang terkesan aktif di balik acara siang itu.

H. Eddy Marzuki Nalkapraya di tengah para tokoh Betawi | foto: dok. h. zamakh sari

Para tokoh yang hadir sebagian terbesar adalah kalangan Betawi terdidik dengan pengalaman dan jejaring nasional, regional, dan internasional.

Sejumlah musisi dan penyanyi gambus Ar Rominia pimpinan Ahmad Supandi, menghibur dengan lagu-lagu gambus dan Melayu, ditingkah dua penari zapin, yang menambah hangat, mesra dan intim suasana.

Lagu ‘Pantun Janda’ dan ‘Pantun Jenaka,’ karya Ami Hadi Mahdami – musisi gambus – Melayu legendaris, dilantunkan dua penyanyi dengan ritme yang pas, mengundang sejumlah tokoh berjoget.

Ada juga pemotongan tumpeng, selain hidangan kuliner Betawi, termasuk suguhan Bir Peletok.

Ya, siang itu, para tokoh Betawi hadir di situ untuk bersilaturrahmi, sekaligus mensyukuri hari kelahiran H. Eddy Marzuki Nalapraya ke 91 tahun.

“Walaupun saya sudah bilang kepada Doel, saya hanya mau mensyukuri hari kelahiran saya kali ini di lingkungan keluarga, tapi ketika kaum Betawi yang menyelenggarakan, saya tidak bisa menolak,” ujar H. Eddy M. Nalapraya, yang datang paling dulu dan pulang kemudian, tepat waktu.

Sekilas H. Eddy M. Nalapraya berbicara ihwal Betawi dan Kebetawian, termasuk bagaimana Badan Musyawarah (BAMUS) Betawi diinisiasi dan didirikan, beberapa tahun lampau, yang kepemimpinannya lalu diserahkan kepada H. Effendy Yusuf dan kemudian dr. Abdul Syukur.

Haji Eddy Marzuki Nalapraya nampak bahagia di tengah para tokoh Betawi | foto dok. zamakh sari

H. Eddy M. Nalapraya terkesan merespon mulawacana H. Zamakh Sari yang mengemukakan, bahwa acara siang itu sepenuhnya adalah ajang silaturrahmi para tokoh Betawi. Dengan esensinya yang jelas: mempertemukan yang terserak, mendekatkan yang jauh, dan mengkaribkan yang dekat, untuk mencapai komitmen bersama: bersatu mengokohkan harkat – martabat kaum Betawi sebagai community origin masyarakat Jakarta.

Penegasan tersebut dipandang perlu, untuk merespon proses pembentukan ibukota negara yang baru di Paser Utara, Kalimantan Timur, yang landasan Undang Undang-nya (No.3/22) sedang diuji dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Silaturrahmi itu, juga dimaksud untuk membuka ruang bagi para tokoh Betawi meluahkan aspirasi mereka tentang Betawi dan Jakarta pasca UU tentang Ibu Kota Negara, yang sekaligus mengharuskan perubahan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Khasnya tentang Majelis Adat Betawi sebagai salah satu pilar – anasir penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta kelak, disamping Eksekutif dan Legislatif. Benchmark-nya adalah sistem pemerintahan dengan otonomi khas di Nangroe Aceh Darussalam dan Papua.

Dengan semangat menguatkan buhul persaudaraan dalam dimensi Betawi dan kebetawian, berbagai pemikiran yang mengemuka, saling menguatkan.

Zainuddin yang biasa dipanggil Bang Oding, fasih mengurai tentang eksistensi kaum Betawi dengan merujuk ke lintas sejarah, pemikiran, bahkan tafsir sejarah yang berakar sejak berbilang abad silam.

Persisnya sejak berkembang pemikiran Al Balkhi – pemikir Persia, tentang kaum Zangdes dengan keunggulan khas, sehingga menjadi sasaran bangsa-bangsa Eropa, Tiongkok, dan Mesopotamia, sampai pemikiran tentang Betawi yang terhubung kuat dengan bangsa Melayu Tua di Javadvipa.

Prof. Dr. Dailamy Firdaus mewanti-wanti soal komitmen kebersatuan kaum Betawi dalam menjawab tantangan ke depan | foto bang sem

Ketika menjabat Ketua Umum Bamus Betawi 2013-2018 — sebelum memimpin Bamus Betawi 1982 — Haji Oding telah melakukan telusur jejak historis Betawi – Riau Lingga dan Kesultanan Johor di Semenanjung. Termasuk menelusuri jejak para ulama Betawi di Temasek (kini Singapura), Johor, Pahang, Perak, Kedah, dan Selangor.

Dalam berbagai kesempatan Haji Oding juga menelusuri dimensi nilai budaya Betawi dengan mengacu pada Shanghyang Siksakanda ing Karesian dan Dharma Siksakanda, juga Babad Tanah Jawi, dan catatan hasil Gotrasawala yang diinisiasi oleh Pangeran Wangsakerta, termasuk Naskah Rajya Rajya [ Bhumi Nusantara ].

Dalam silaturrahmi itu, karena keterbatasan waktu, Oding hanya menyampaikan lintasan berbagai informasi historis dan budaya yang mengemuka, paling tidak, sampai era Prabu Surawisesa, serta 40 Wasiat dan Ipat-Ipat Syarief Hidayatullah – Sunan Gunung Jati, yang berisi nilai filosofis dan landasan muru’ah kaum Betawi kini dan nanti.

Namun, esensi aspirasinya tetap satu: kebersatuan kaum Betawi dalam mengibarkan muru’ah-nya, dan perlunya Majelis Adat dalam sistem pemerintahan Jakarta mendatang. Oding juga menegaskan perlunya Bamus Betawi dalam konteks penyelenggara operasional adat dan adab untuk melaksanakan keputusan-keputusan Majelis Adat.

Pandangan Haji Oding relevan dengan apa yang dikemukakan H. Zamakh Sari sebelumnya, meski berbeda titik pandang-nya, tanpa kehilangan perspektif yang sama.

Ghirah dan gairah kebetawian untuk menjadi origin community Jakarta dengan segala perkembangan kemajuan kaum Betawi kini — setelah lebih dari lima abad — menerima realitas sebagai host dan menghidupkan inklusifitas, egaliterianisma kosmopolit, mengemuka dalam acara ini.

Prof. Dr. Dailamy Firdaus, cucu ulama kharismatik KH Abdullah Syafi’ie dan putera tokoh ulama – intelektual perempuan Betawi, Prof. Dr. Hj. Tuti Alawiyah, memberikan aksentuasi atas apa yang sudah disampaikan Haji Oding dasn Haji Zamakh Sari sebelumnya.

Kata kuncinya adalah memberi makna yang kuat atas peluang yang memercik dari momentum berlakunya UU No.3 / 22 tentang Ibu Kota Negara.

Dailamy juga mewanti-wanti tentang perlunya ketangkasan, kecerdasan, dan kemumpunian kaum Betawi memberi makna momentum sebagai cara menjawab tantangan, mengenali kelemahan faktual, sehingga dapat terumuskan format kekuatan kaum Betawi secara dimensional merespon masa depan.

Esensinya adalah perlunya kolaborasi dan kesadaran kolektif kaum Betawi, untuk mengelola, menguatkan, dan mengembangkan dirinya, sekaligus melakukan perubahan – transformatif, dengan siyasah cerdas dan arif.

Betawi dan kebetawian tak bisa lagi dibiarkan tereduksi dan menjadi komoditas (apalagi komoditas politik praktis) siapapun, terutama yang tidak jelas kebetawiannya.

H. Zamakh Sari menyampaikan mulawacana silaturahmi para tokoh Betawi | foto bang sem

Mencermati luahan aspirasi siang itu, saya melihatnya sebagai musyawarah sekaligus muzakarah menarik, laiknya suatu muktamar. Semacam ‘kongres kaum Betawi’ supermini. Singkat waktunya, padat acaranya, dan efektif luahan aspirasinya.

Muaranya adalah persatuan dan kebersatuan kaum Betawi untuk mengurus Jakarta sebagai kampung halamannya, paling tidak sejak era Kalapa dan Tarumanegara, atau bahkan sejak era Salakanagara. Kaum dengan watak dan kepribadian khas, yang tak pernah henti menjadi sasaran kolonialis untuk dikecilkan dan dimarginalkan.

Kini, jelang tiba era Society 5.0, kaum Betawi memang kudu unjuk kemampuan kompetitif dan komparatifnya dengan begitu banyak tokohnya yang berkelas nasional dan internasional, tandang di gelanggang zaman baru.

Akan bagaimana aspirasi para tokoh Betawi, memang harus menjadi pemikiran kolektif, yang perlu di-follow up. Khasnya aspirasi tentang Majelis Adat Betawi yang — melalui diseminasi informasi media — sudah menyebar ke pelosok negeri, bahkan sampai Semenanjung.

Semua itu sudah mengkristal sebagai janji sejarah bagi anak cucu yang mesti mewujud nyata, kelak. Janji perubahan, yang mesti dilakoni dengan mengubah diri dari hal paling sederhana: tepat waktu!  Haji Eddy Nalapraya: sudah memberi contoh, termasuk salat tepat waktu.

Hujan turun bagai cucuran rahmat. Mengikuti Haji Chevy Rasyid saya meninggalkan lokasi acara lebih awal, sambil membawa syair lagu karya Ami Hadi Mahdami:

Beduk lah lohor lebaran haji
Memotong padi sedang banyaknya
Sudah tersohor keliling negeri
Kalau tak jadi apa rasanya

Kalau lah hendak kepurai saji
Jangan lah lupa bunga melati
Kalau lah tuan berjanji
Janji yang mana wajib tepati
|

PaDu, Bonjer: 15 Juni 2022

 

Posted in HUMANIKA.