Anjuran Pemusnahan Wayang dan Kepandiran Ideologis

Doktrin, sikap, dan pernyataan penganut aliran wahabiyah dengan segala doktrinnya, termasuk di Indonesia dan Malaysia, tak pernah usai memercikkan api perselisihan dan pertentangan di kalangan ulama. Terutama karena doktrin yang mudah mengkafir-kafirkan orang lain yang tak sepaham dengannya. Sekaligus mengharamkan segala hal, terutama yang berkaitan dengan adat resam budaya tempatan. Sebagian sahabat saya menyebut mereka, kaum yang ‘cerdas asesoris’ sekaligus ‘pandir ideologis.’ Karenanya, sikap serampangan yang dilakukan salah satu penganjurnya, bahwa wayang haram dan harus dimusnahkan, tak bisa dipisahkan dari ekspresi ‘pandir ideologis’ karena hanya ‘cerdas asesoris.’

Bang Sém

SEJAK masa kanak-kanak, saya hidup dalam sosio habitus yang menempatkan budaya dan agama dalam keseimbangan dan keselarasan. Orang tua saya memberi jalan kepada kami, anak-anaknya untuk mengapresiasi segala bentuk medium dan produk budaya sebagai medium pembelajaran agama.

Beragam jenis pertunjukan wayang — khasnya wayang golek, wayang klitik, wayang kulit, dan wayang beber — menjadi bagian penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dimensi kedalaman kemanusiaan saya.

Sejak kecil, saya beroleh pembelajaran penting, bahwa seni merupakan bagian penting dari budaya yang membedakan manusia dengan semua makhluk yang hidup (termasuk flora dan fauna) dalam semesta.

Meski pertunjukan wayang, dalam konteks ritual, kerap dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi manusia dengan dewa sebagai ungkapan rasa hormat dan pemuliaan terhadapnya, sebagai Mahadaya yang berada di luar empirisma manusia, menghubungkan realitas petama (dunia nyata) dengan realitas kedua (dunia imajinasi).

Wayang, kemudian saya kenali dan pahami sebagai medium visual untuk menghadirkan ragam watak manusia yang dapat ditemukan pada realitas pertama, yang pergelarannya menghimpun seluruh anasir seni. Tak hanya senirupa, musik, dan tari. Melainkan juga seni bertutur dengan konsep narasi yang kaya dengan beragam diksi yang menghaluskan budi.

Wayang Banjar | khas

Adalah tepat, ketika para wali yang zuhud, menggunakan wayang sebagai medium dakwah yang dilakoni, sekurang-kurangnya — dengan prinsip bil hikmah wal mauidzaatil hasanah : kearifan dan pembelajaran (ungkapan, komunikasi, tutur bahasa) yang terbaik. Bahkan dalam hal berdebat, pun harus dilakukan dengan cara yang baik: al mujadalah (wajadilhum) billati hiya ahsan (baca secara mendalam firman Allah dalam Al Qur’an, Surah an-Nahl 125).

Kaidah-kaidah pembelajaran dan dakwah islamiyah, bagi saya, merujuk dan mengacu kepada kebaikan, mulai dari niat, kiat (metode), siayasat (cara), dan perangkat (sains dan teknologi) yang baik, berpijak pada keutuhan akidah, syariah, muamalah, dan akhlak yang tak tak terpisahkan satu dengan lainnya.

Saya tak sepenuhnya sepakat dengan pandangan anak kedua saya, yang mendalami wayang sebagai realitas kearifan dan kecerdasan budaya, bahwa wayang merupakan akar dari semua seni. Terutama, karena saya masih berpegang pada pemahaman, bahwa akar seni adalah seni rupa dan seni musik, yang berkorelasi dengan pandang dan dengar.

Wayang, dengan demikian, saya pahami sebagai salah satu produk budaya pandang dengar pertama, yang kemudian menjadi inspirasi bagi perkembangan seni tari, teater, film, dan kemudian media baru.

Selaras dengan itu, saya memahami dan menempatkan wayang sebagai medium ekspresi sekaligus artikulasi partikel-partikel penting kehidupan dunia. Sekaligus menjadi ruang imajinasi yang memungkinkan kita memahami dimensi lain dari dunia di luar empirisma.

Wayang mempertemukan dimensi ilusi, fantasi, dan imajinasi dengan dimensi asasi kehidupan nyata. Mempertemukan intuitive reason dengan way of life yang bersumber dari beragam norma dan nilai budaya, berpijak pada dimensi artistik, estetik, estetik, dan pedagogik. Ragam norma dan nilai yang berinteraksi selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma dasar agama.

Wayang Kulit Thailand | Remote Land

Wayang — kemudian medium ekspresi seni budaya lainnya — bagi saya, mempertemukan dimensi nalar dengan naluri – nurani dan rasa yang memperkaya dria manusia. Memandu jalan untuk memahami hakekat keadilan, keadaban, dan kemanusiaan.

Wayang merupakan salah satu warisan peradaban dan keadaban umat manusia yang terpumpun selama ribuan tahun yang amat berharga bagi manusia untuk bercermin diri. Lantas, diperkaya dari generasi ke generasi dengan beragam kreativitas, inovasi, dan invensi karya seni baru yang disumbangkan oleh seniman paling brilian.

Edi Majaron, budayawan dari Zagreb – Kroasia (2012), menyebutnya sebagai warisan yang mengisi hidup kita dengan energi positif, menghadapkan kita dengan diri kita sendiri dan mendorong kita untuk menjadi manusia yang sadar dan bangga sebagai manusia.

Wayang yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia — khasnya di kawasan budaya Nusantara — sebagian besar Asia Tenggara — yang hadir sebagai simbolisma dari komunikasi dan transmisi pesan, yang lebih segar dibandingkan dengan interaksi sosial kehidupan sehari-hari.

Karakterisasi tokoh dalam wayang, memberikan gambaran lengkap tentang berbagai dimensi manusia, sebagaimana diajarkan dalam agama, tak terkecuali agama Islam. Termasuk ekspresi watak yang dipengaruhi oleh energi dan sifat baik-buruk manusia. Mulai dari amarah, lawamah, sawiyah, dan mutmainnah.

Allah mengisyaratkan kepada Muhammad Rasulullah SAW dan penganut ajaran Islam, bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.

Inovasi pergelaran wayang kulit plus wayang orang arahan Larry Read | bangsem

Saya tidak terkejut, ketika ada ustadz yang — ketika menjawab pertanyaan jama’ahnya — menyatakan wayang (dari persepsinya tentang ajaran Islam — haram dan menyarankan agar pemilik wayang sebaiknya memusnahkan koleksinya (detikcom, 14/2/22).

Sikap demikian bisa terjadi dan menjadi keyakinan bagi penganut faham wahabiyah — yang pertama kali diajarkan oleh Syaikh Ibn Abdul Wahab dari Najd (1114 H) yang berguru pertama kali kepada ayahnya Syekh ‘Abd al-Wahhab, seorang ulama dan hakim (qadi) di Najd.

Ibn Abdul Wahab lantas pergi ke Madinah dan belajar dengan para ulama di wilayah itu, kemudian menentang para gurunya, karena interpretasi pribadinya tentang beberapa masalah terkait keyakinan subyektifnya. Dia kemudian diusir dari Madinah, pergi ke Irak dan menetap di Basrah.

Di Basrah ia berkenalan dengan Syekh Muhammad Majmu’i yang mengadopsi ide-idenya, sehingga keduanya yakin dengan interpretasi keagamaannya. Lalu memicu konflik, dan kemudian diusir oleh para ulama Basrah.

Dari Basrah ia pergi ke Damaskus. Di sini pun dia terusir, hingga akhirnya kembali ke Najd, karena Makkah dan Madinah tertutup baginya. Ia bahkan ditentang oleh saudara kandungnya sendiri Syekh Sulaiman bin ‘Abd al-Wahhab yang didukung ayahnya. Dia dan doktrin interprestasi keagamaannya menimbulkan pertentangan dari para ulama, hingga ayahnya meninggal.

Wayang Kulit Kelantan. Negeri Kelantan adalah negara bagian yang dikuasai PAS ( Partai Al-Islam Se-Malaysia) | khas

Doktrin, sikap, dan pernyataan penganut aliran wahabiyah dengan segala doktrinnya, termasuk di Indonesia dan Malaysia, tak pernah usai memercikkan api perselisihan dan pertentangan di kalangan ulama. Terutama karena doktrin yang mudah mengkafir-kafirkan orang lain yang tak sepaham dengannya. Sekaligus mengharamkan segala hal, terutama yang berkaitan dengan adat resam budaya tempatan.

Sebagian sahabat saya menyebut mereka, kaum yang ‘cerdas asesoris’ sekaligus ‘pandir ideologis.’ Karenanya, sikap serampangan yang dilakukan salah satu penganjurnya, bahwa wayang haram dan harus dimusnahkan, tak bisa dipisahkan dari ekspresi ‘pandir ideologis’ karena hanya ‘cerdas asesoris.’

Jadi tak keliru ketika Sujiwo Tejo, salah seorang dalang inovatif, menyebut oknum ustadz yang menganjurkan pemusnahan wayang, tak usah direken, karena proses pembelajaran agamanya mungkin belum usai dalam satu semester.

Akibatnya, jangan kan pergelaran wayang, tradisi umat islam tahlilan, rajaban, maulid nabi, dan tawassulan pun, mereka haramkan. Hal semacam ini, salah satu contoh penghancuran nalar publik, dengan tindakan intoleran.

Saya masih meyakini, wayang sebagai produk budaya merupakan medium edukasi penuh makna, termasuk dalam hal melakukan dakwah yang sesuai dengan perintah Allah: bil hikmah wal mauidzaatil hasanah. |

 

Tulisan ini merupakan pemikiran pribadi

 

Posted in LITERA.