Kita dihadapkan oleh fakta, bagaimana korupsi dan ruswah terus merajalela di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terus melebar. Pada waktu yang bersamaan, arus penyimpangan seksual – seperti LGBT (lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender) –, pornografi dan porno-aksi, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, dan gizi buruk atau stunting menghadang anak cucu kita.
Hanifah Husein
12 Desember 2021 adalah hari yang sangat penting bagi keluarga besar alumni HMI-wati. Hari yang mesti dimaknai sebagai momen untuk menyegarkan ingatan kita, tentang hakekat dan makna eksistensi Forum Alumni HMI-wati atau FORHATI.
FORHATI merupakan wadah perjuangan alumni HMI wati dalam memainkan peran strategis di tengah dinamika perubahan zaman dan peradaban. Termasuk di tengah dinamika peubahan masyarakat, negara dan bangsa kita.
23 tahun yang lalu, sejumlah alumni HMI-wati, kaum muslimah Indonesia berpendidikan tinggi, yang menyandang citra diri sebagai insan cita mendirikan organisasi ini.
Insan Cita merupakan tujuan pencapaian Himpunan Mahasiswa Islam. Kualitas manusia yang di dalam dirinya, mengalir harkat dan derajat insan mulia. Yaitu, “insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala,”
Maknanya adalah, FORHATI merupakan suatu organisasi perjuangan, tempat kita terus menerus menyalakan kesadaran, antusiasme, simpati, empati, apresiasi, dan respek, yang tak terpisahkan dari rasa cinta kita kepada agama, nusa, dan bangsa.
FORHATI didirikan sebagai ajang untuk senantiasa mengasah kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan budaya. Kecerdasan yang menunjukkan eksistensi insaniah seluruh anggotanya sebagai ahsanit taqwim, sebaik-baik makhluk, yang oleh Allah SWT diberikan nalar, naluri, nurani, rasa dan dria. Sebagai sebaik-baik perempuan, khairun nisa.’
Di dalam organisasi ini, kita mengembangkan potensi diri sebagai insan cendekia yang senantiasa harus kreatif dan inovatif, dalam mengabdikan diri kepada keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Insan yang berakal-budi, dilandasi keutamaan nilai-nilai Islam, dilandasi kedalaman aqidah, kejelasan syari’ah, kemanfaatan muamalah, dan kemuliaan akhlaq karimah.
Dengan nilai-nilai demikian, kita secara tanpa henti memelihara komitmen kebangsaan, yang ditopang oleh spirit ke-Islam-an, ke-Indonesia-an, dan ke-Ilmu-an.
Spirit yang selalu memelihara kesadaran personal, sosial, dan kultural untuk selalu mau dan mampu secara aktif, merawat dan menjaga bangsa ini, agar tidak menyimpang dari cita-cita perjuangan para pendirinya.
Oleh karena itu, FORHATI tidak dapat berpangku tangan, apalagi membiarkan bangsa ini melenceng, keluar dari garis lurus cita-cita perjuangan, terwujudnya suatu negara bangsa yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan unggul dalam peradaban. Suatu baldah thayyibah wa rabbun ghafuur.
FORHATI memilih jalan turun tangan dan ambil bagian dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa yang memungkinkan kemuliaan umat atau rakyat didahulukan, serta keadilan dan kemakmuran rakyat diutamakan.
Sejalan dengan sikap itulah, keluarga besar FORHATI di seluruh penjuru tanah air, bersama-sama dengan elemen dan komponen bangsa lainnya, mesti secara progresif, memainkan peran dan fungsi yang utama, menguatkan ketahanan bangsa ini di tengah pusaran arus perubahan zaman.
Dalam konteks itulah, FORHATI memandang penting dan utama ketahanan keluarga, sesuai dengan prinsip, “Perempuan adalah Tiang Negara, dan Keluarga adalah Pilar Utama Bangsa.”
Ketahanan Keluarga di Tengah Tantangan Zaman
Ketahanan Keluarga sebagai perhatian utama kiprah perjuangan FORHATI, selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada Surah At Tahrim ayat 6, mewajibkan seluruh insan beriman, untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari neraka. “Ya Ayyuhal ladziina amanu ku anfusakum wa ahlikum naro.”
Ayat ini juga dapat dimaknai sebagai kewajiban setiap insan beriman, menjaga dirinya dan keluarganya dari malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat. Termasuk menjaga negara dan bangsa dari malapetaka. Terutama yang dipicu dan dipacu oleh ulah manusia, dalam skala lokal, nasional, regional dan global. Baik dengan cara langsung maupun tidak langsung. Melalui berbagai pemikiran dan aksi yang secara sengaja ingin melemahkan ketahanan keluarga, masyarakat, negara, dan bangsa.

Hanifah [kiri] saat mengikuti webinar Cerdas Digital dan Ketahanan Keluarga | kasma
Di bidang politik dan ekonomi, sejak era 80-an, berkembang aksi pilantropi politik yang membuat manusia terjerembab dalam kapitalisme global yang menyeret banyak negara dan bangsa, tidak berdaya menghadapi pragmatisme politik dan politik transaksional. Lalu menjadi mangsa oligarki dan oligopoli, yang bila dibiarkan, akan merampas seluruh potensi sumberdaya negara dan bangsa. Lalu membuat umat atau rakyat tersingkirkan dan terpinggirkan.
Di bidang sosial dan budaya, secara simultan dikembangkan berbagai pemikiran dan aksi yang menjauhkan umat manusia dari keyakinan, nilai, dan norma agama. Pemikiran dan aksi yang mengubah orientasi dan gaya hidup, yang membuat kita berjarak dengan Islam dan tradisi budaya bangsa sendiri.
Pada saat bersamaan, secara intensif dan massif, kita dan anak cucu kita dikondisikan oleh singularitas, kebergantungan yang sangat tinggi terhadap gadget, yang membuat hidup kita dekat dengan jauh, dan jauh dengan yang dekat.
Kita juga dihadapkan oleh pusaran arus besar transhumanitas, yaitu kesenjangan antara skill di satu sisi dengan kearifan dan tradisi di sisi lain. Termasuk eksplorasi friksi dan konflik sosial di seluruh aspek kehidupan. Antara lain, dalam kehidupan sehari-hari, mengemuka pemikiran dan aksi yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam; keragaman dengan persatuan; hoax dengan fakta; dusta dengan kejujuran; bahkan, kita dihadapkan oleh pemikiran dan aksi yang melemahkan adab dan keadaban, yang menjauhkan kita dari agama sebagai landasan utama mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.
Kita dihadapkan oleh fakta, bagaimana korupsi dan ruswah terus merajalela di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terus melebar. Pada waktu yang bersamaan, arus penyimpangan seksual – seperti LGBT (lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender) –, pornografi dan porno-aksi, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, dan gizi buruk atau stunting menghadang anak cucu kita.
Kita juga dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit, menjalar dan menyebarnya gaya hidup berhutang dan riba, yang terus menerus diproduksi oleh mesin kapitalis, seraya melemahkan akses umat terhadap modal.
Kesemua itu, membangkitkan kesadaran kita untuk secara antusias menguatkan ketahanan keluarga dengan cara cerdas dan sesuai dengan tuntunan agama. Membangun benteng yang kokoh di tengah zaman yang gamang, dipenuhi ketidak-jelasan, kompleksitas, dan keterbelahan.
Cerdas Digital dan Politik Hadapi Perubahan 2024
Sebagai Insan Cita yang teguh dan konsekuen mewujudkan komitmen ‘syukur, ikhlas, menjunjung tinggi syi’ar Islam, turut Al Qur’an dan hadits, jalan keselamatan’ untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, kita tidak akan berdiam diri.
Sebagai kaum cendekia, kita tak boleh lelah dan bosan menguasai dan memanusiawikan sains dan teknologi, memberi dan meluaskan manfaat. Kita harus menempa diri kita dengan spirit kebangsaan, ke-Islam-an dan ke-ilmu-an, melayari transhumanisma yang sedang bergerak ke era digital.

Hanifah Husein | dok eCatri
Setiap kita berkewajiban menjadi muslimah yang selalu cinta literasi, sesuai dengan pesan filosofis di balik isyarat Allah dalam Surah Al Alaq 1 – 5: “Iqra` bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal-insaana min ‘alaq. Iqra` wa rabbukal-akram. Alladii ‘allama bil-qalam. Allamal-insaana maa lam ya’lam” [Bacalah dengan — menyebut — nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya].
Cinta literasi, karena melalui literasi kita mengasah kemampuan diri untuk berwawasan luas, sehingga kita mampu menjalankan fungsi kita sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak kita. Mengemban fungsi menumbuhkan dan mengembangkan potensi generasi baru sebagai masa depan kita. Menumbuhkan dan mengembangkan watak, karakter, moral dan kompetensi anak-anak kita, generasi baru.
Cinta literasi kita perlukan untuk meningkatkan daya baca merespon fenomena perubahan budaya, teknologi, dan ekonomi, sehingga kelak mempunyai kompetensi di berbagai lapangan kehidupan.
Setarikan nafas, kita juga mesti mengasah dan melatih diri kita untuk cerdas digital, sehingga kita mampu menempa diri kita dan seluruh anggota keluarga kita, menjadi insan yang mampu memberi nilai manfaat atas kemajuan sains dan teknologi sebagai salah satu alat meneguhkan keimanan, ketinggian akal pikiran, dan menguatkan cara hidup yang terbaik. Antara lain, memilih dan memilah beragam konten informasi yang ditebarkan melalui beragam media, saluran dan platform, dan tidak menjadi konsumen media yang pasif.
Dengan demikian, kita juga akan cerdas politik. Terutama menghadapi perubahan politik yang akan berlangsung tahun 2024 mendatang.
Kecerdasan digital kita perlukan, tidak hanya untuk menghindari diri kita dari ghibah, buhtan, dan fithan. Jauh dari itu, adalah supaya kita senantiasa menjadi Insan Cita yang mampu berdiri di barisan depan proses perubahan zaman.
Dengan cinta literasi dan cerdas digital, kita perkuat ketahanan keluarga, dengan ketahanan keluarga kita patuhi perintah Allah. Kita ikuti keteladanan Rasulullah Muhammad SAW, bil hikmah wal mauidzatil hasanah. Dengan kecerdasan, kearifan dan kemampuan komunikasi menebar kebajikan. Dengan ketahanan keluarga, kita yakin usaha sampai, menjadi bagian dari umat yang mau dan mampu merawat dan menjaga bangsa dan negara ini sebagai tanah air tempat berkah dan nikmat Allah terpelihara.
Burung merpati di pohon Jati
Lalu terbang ke pohon kapas
Jangan lelah mengembangkan FORHATI
Walaupun badai kadang menghempas
Jayalah FORHATI.