Memaknai Rumah sebagai Sentra Kreatif Pendidikan Budaya

Bagi Endang Caturwati, guru besar seni pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang meniti kiprah pendidikan dan profesi di garba seni budaya (karawitan, tari, sejarah, paedagogi) sekaligus sebagai pribadi salasa (multi-talenta), pandemi global yang melanda dunia, menjadikan rumah sebagai simpul kebudayaan (dalam makna luas), sekaligus sentra kreatif pendidikan seni budaya. Bahkan sebagai titik konvergen pentas bagi karya seni budaya.

bang sem

Pertanyaan menjebak yang sering mengemuka dalam interaksi guru – murid di tingkat pendidikan dasar, antara lain adalah : apa itu rumah?

Ian Tattersall, kurator emiritus pada American Museum of Natural History di New York City (Nautilus, 2013) mengolah pertanyaan sederhana ini bagi para mahasiswa calon arkeolog yang berinteraksi dengannya.

Beragam pertanyaan lanjutan mengemuka: sungguhkah rumah menjadi tempat berlindung manusia, tempat cinta tersemai, tumbuh, dan mekar, ruang interaksi antar personal. Haruskah rumah menjadi tempat tinggal, sekaligus tempat manusia dilahirkan?

Berbagai pertanyaan kemudian bisa bermunculan, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, sejak era perburuan, agraris, industri, informasi, konseptual – imajinatif, sampai kelak, era puncak konvergensi pasca era digital.

Perkembangan peradaban itu, sekaligus memberi berbagai varian persoalan kehidupan sehari-hari, karena ternyata rumah tidak sepenuhnya menjadi seperti apa yang dibayangkan orang. Termasuk dalam pemenuhan rasa aman dan nyaman.

Siklus kehidupan manusia dengan berbagai perubahan nilai budaya, dalam banyak hal mengubah kebiasaan hidup, mengubah habitus manusia secara personal dan secara sosial.

Di masa pandemi, khasnya pandemi global, rumah menjadi sentrum budaya dengan beragam fenomena atas berbagai ruang di dalamnya. Rumah tak hanya tempat manusia berlindung dari fenomena alam yang kerap mengalami perubahan dengan anomali musim yang mempengaruhi iklim.

Perkembangan sains dan teknologi, menghadapkan manusia pada realitas baru kesemestaan, ketika internet of think, membebaskan manusia dari batas ruang empiris dengan ruang ilusi, fantasi dan imajinasi; ruang raga dengan ruang rasa; ruang kontemplasi spiritual dengan ruang ekspresi fisikal ragawi.

Tari “Pari Sukma” karya Endang Caturwati ditarikan Hani di tangga rumah | foto. dok. hapsari

Sains dan teknologi, telah mendorong manusia memaknai rumah dengan beragam fungsinya secara multi dimensi, meski pada zahirnya,dalam konteks rumah, manusia selalu tertantang untuk memadu-harmoni dimensi in door dan out door. Termasuk sebagai tempat manusia meluahkan potensi kreatifnya yang sangat dinamis.

Bagi Endang Caturwati, guru besar seni pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang meniti kiprah pendidikan dan profesi di garba seni budaya (karawitan, tari, sejarah, paedagogi) sekaligus sebagai pribadi salasa (multi-talenta), pandemi global yang melanda dunia, menjadikan rumah sebagai simpul kebudayaan (dalam makna luas), sekaligus sentra kreatif pendidikan seni budaya. Bahkan sebagai titik konvergen pentas bagi karya seni budaya.

Semua ruang dalam konsep seni bangunan modern — kamar mandi, kamar tidur, dapur, ruang makan, ruang keluarga,  ruang tamu, musalla (pray room), ruang kerja, ruang pustaka, beranda, garasi, taman, dan lainnya mempunyai fungsi.

Meski di berbagai wilayah peradaban, rumah masih dipandang sebagai salah satu medium status sosial yang memberi berbagai simbol status pencapaian dan perubahan hidup, rumah yang pernah berubah fungsi sebagai ‘sangkar’ bagi kaum urban – megapolis dan traveler; ruang penantian bagi istri dan anak; ruang berangkat dan pulang; kini bagi sebagian terbesar manusia di dunia, rumah kembali sebagai ‘baiti jannati’ – rumahku surgaku.

Rumah kembali memainkan fungsinya sebagai medium bagi berlangsungnya proses edukasi, tidak hanya dalam konteks didaktis – paedagogis serta pendidikan nilai dan norma; rumah juga menjadi wilayah hukum yang bergerak sesuai dengan perubahan habitus tentang hak dan kewajiban asasi manusia, khasnya ketika kesadaran tentang hak-hak dasar manusia berkembang.

Dengan segala perangkat dan fungsi ruangnya, rumah sebagai sentra suatu ekosistem kebudayaan. Di dalam rumah, proses pendidikan demokrasi dan demokratisasi berlangsung, sebagaimana proses perubahan berfikir manusia dari sesuatu yang ideologis – dogmatis menjadi pragmatis dan praktis.

Pandemi nanomonster Covid-19 (atau coronastrope) telah ‘memaksa’ manusia menjadikan rumah menjadi lebih berarti secara fungsional. Pergerakan manusia dari kamar tidur ke dapur, ruang makan, dan ruang keluarga menghasilkan beragam produk daya kreasi.

Dapur tak lagi hanya sebagai setelempap ruang tempat manusia memanifestasikan hakikat masak, karena di dapur manusia dapat berinteraksi dengan ragam produk agro-industri (aneka bumbu siap pakai), industri substantif – manufaktur, dan lainnya. Dapur menjadi titik penyadaran tentang hakekat pangan.

Dita, cucu sulung, mengekspresikan kreasinya tari Betawi di lantai dua | dok. hapsari

Kamar mandi tak lagi hanya sebagai sekotak ruang manusia membersihkan dirinya, karena di situ tersedia beragam produk industri toiletris, bahkan menjadi ruang awal sebagai titik perenungan tentang hakekat air dan energi. Pun demikian halnya dengan kamar tidur dengan segala perangkatnya, yang memantik kesadaran tentang bioritme, interaksi dengan produk fashion dan kosmetik.

Ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, beranda, garasi, menyediakan peluang bagi manusia untuk berinteraksi dengan produk industri manufaktur dan bahkan industri keuangan.

Trilogi kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, papan) terintegrasi di dalam rumah, termasuk kebutuhan manusia atas kenyamanan hidup.

Dalam konteks pragmatisma seni, saya sepakat dengan pandangan Endang Caturwati yang menegaskan hakikat rumah sebagai sentra kreatif, inovasi, dan invensi seni. Endang, seperti halnya sejumlah profesional seni budaya dan pendidik seni budaya, melakukan konvergensi ruang indoor dan out door rumah – termasuk car port — sebagai studio sekaligus pentas miniatur bagi seluruh proses kreatif seni yang dilakukannya. Termasuk dalam transfer of knowledge – keilmuan dalam kapasitasnya sebagai akademisi.

Tingkat kesibukan kreatif di ruang in door dan out door rumah pun menjadi sangat padat, melebihi kerja reguler.

Mulai dari meracik dan memasak aneka menu masakan dari camilan, sarapan, makan siang dan makan malam, sampai seminar internasional tentang beragam hal yang terkait dengan bidang keilmuannya.

Mulai dari kontemplasi ringan saat menyirami tanaman, menikmati anggrek yang mekar, memetik aneka sayuran di pekarangan, sampai menempa diri mencapai kekhusyukan dalam beribadah.

Mulai dari menulis artikel populer dan artikel untuk jurnal ilmiah, dan menulis buku; mereview penelitian – skripsi, tesis, disertasi, sampai mengajar wajib, menguji mahasiswa berbagai strata, menjadi pembicara seminar, dan menjadi narasumber berbagai program audio visual.

Tangga rumah dapat diubah sebagai pentas tari “Munajat untuk Bumi” | foto dok. hapsari

Mulai dari menulis puisi, syair, dan pantun, sampai menggubah lagu, menyanyikan dan merekamnya, sampai mempublikasikannya. Mulai dari menuangkan imaji gerak, menulis skenografi, menarikannya, sampai memanfaatkan tangga dan mezanin rumah sebagai pentas tari yang direkam secara audio visual dan mempublikasikannya melalui medium multi media, multi channel dan multi platform.

Endang menikmati kesadaran yang tumbuh sejak masa kanak-kanak untuk memanfaatkan rumah sebagai sentra kebudayaan, menghubungkan masa lampau ke masa depan. Habitus perburuan di masa lalu, di era akhir zaman es, berganti dengan pesan whatsapp ke kedai serba ada untuk memperoleh aneka bahan masakan untuk keperluan dasar kalori (hewani dan nabati), tanpa tawar menawar a la kaum Faustian.

Medium gadget tidak berhenti hanya menjadi produk budaya singularitas, karena diberikan fungsi kemanusiaan dalam modernitas cara pemenuhan keperluan dasar. Keseimbangan interaksi dengan iklim yang anomalis, dilakukan melalui pengendalian perangkat industri produk sains dan teknologi, karena meski anomalis, rumus baku alam tak pernah berubah: hujan dan panas mentari tak bergantung kepada keinginan manusia.

Zaman terus bergerak dan berubah, jauh meninggalkan zaman Natufian, dengan mengendalikan gaya hidup, berpijak pada prinsip efektif efisien yang tumbuh dari akar budaya yang mempengaruhi perkembangan hidupnya: geminastiti, pageuh keupeul lega awur, sesuai prinsip ajaran agama: siapa memberi, dia menerima.

Kata kuncinya adalah kreativitas (mulai dari creativity kick off, innovation dan invension) dan produktivitas. sambil terus memelihara dan menghidupkan kesadaran untuk survival menghadapi krisis air, pangan, dan energi dan meluahkannya melalui karya seni budaya.

Memaknai rumah sebagai simpul kebudayaan, sekaligus sebagai sentra kreatif pendidikan budaya, mesti dimulai dari kesadaran, menegaskan cara pandang tentang manusia sebagai pribadi berdaulat, bukan hanya dalam konteks statusnya dalam struktur dan hirarki sosial keluarga (cucu, anak, ayah, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya), melainkan generasi hari kemarin, generasi hari ini, dan generasi hari esok.

Sekecil apapun rumah, mesti mengubah suai persepsi kita tentang ruang kreatif. Karena ruang yang tak tersedia dalam rumah secara empirik, dapat dikonvergensi ke dalam ruang imaji dan dapat dideskripsikan atau divisualisasikan melalui berbagai produk gadget. Dengan begitu, gadget juga lebih bermakna, tidak menjadi trash basket, tempat kotoran kegagalan budaya (culture deformation), seperti perwadulan (hoax, ujaran kebencian, dan kejahatan lainnya) dilontarkan dan didistribusikan. |

Posted in HUMANIKA.