KH M. Nasruddin Anshoriy Ch
BANGKIT
Dengan suara serak dan terbata-bata
Sembari bermimpi membelai bidadari di Taman Surga
Hari ini aku mengucap tanya:
“Kenapa sayap-sayap perkasa bangsa ini tak juga mengepak ke cakrawala?
Kenapa pula berjuta kaki putra-putri Ibu Pertiwi masih terperosok dalam comberan kebencian dan rawa-rawa adu domba?”
Bangsa yang sakit karena rumit tak mungkin bisa bangkit
Bangsa yang terus saling mendzalimi dan menganiaya diri sendiri hanya layak disimpan di peti mati
Sedangkan anak-anak muda yang hanya doyan berfoya-foya tapi malas berpikir dan bekerja hanya sampah bagi Indonesia!
Catatlah wahai Putra dan Putri Indonesia
Satu Nusa ini untuk siapa?
Jika para fakir-miskin satu persatu dibiarkan mati tanpa pembela
Ketika hukum dan kekuasaan semakin buta pada jerit keadilan dan rintihan cinta
Satu Bangsa ini apa maknanya?
Jika kemakmuran hanya dicengkeram segelintir serigala berwajah manusia
Sedangkan rakyat yang berdaulat hanya gigit jari tak henti-henti
Rakyat yang berdaulat dibiarkan sekarat oleh aparatnya
Satu Bahasa hanya merah lipstik di bibir saja
Sedangkan akal-budi dan jiwa bangsa ini dibiarkan putih mata tak tentu rimba
Ah, kebangkrutan nasional telah sampai di depan mata
Pembangunan berkelanjutan hanya hadir dalam diskusi
Tapi keserakahan dan korupsi berpesta setiap hari
Aku menggali Pancasila hingga ke dalam darah dagingku
Kucari Ketuhanan di kedalaman hati dan tulang sunsumku
Kuburu Keadilan Sosial hingga di relung kalbu
Tapi yang ketemu hanya mata air air mataku
Yang kutemu hanya gelap kelam wajah bangsaku
Wahai jiwa-jiwa Satu Nusa
Jabatlah dengan hangat bait-bait puisiku
Sayap-sayap cinta yang merindukan cakrawala
Sayap-sayap rindu yang mencintai jiwa manusia
Wahai putra-putri Satu Bangsa
Rapatkan doa dimanapun kalian berada
Panjatkan suara hati untuk kemerdekaan dan keadilan Ibu Pertiwi
Duhai bibir-bibir gemetar Satu Bahasa
Berikan isyarat pada dunia
Bukan dengan caci-maki dan propaganda
Tapi dengan jihad lidah merawat kata
Mengawal bahasa seindah rindu dalam gurindamku
Gus Nas Jogja, 20 Mei 2021, Memaknai Hari Kebangkitan Nasional
21 MEI 23 TAHUN LALU
Setelah 32 tahun negeri ini kehilangan suara hati
Ketika Orde Baru berpesta tanpa menghadirkan cinta
Mahasiswa bergerak mencari surga
Tanggal 21 Mei 23 tahun lalu
Angin surga itu bertiup menggoda hati
Mahasiswa berteriak di kota-kota dan menyebutnya reformasi
Dan di atas gedung kura-kura di Senayan sana
Ribuan mahasiswa meludah ke cakrawala
Reformasi meledakkan seribu janji
Korupsi pasti mati
Kolusi tak punya tempat di negeri ini
Nepotisme wajib dihabisi
Lalu pesta demokrasi dirayakan
Harapan digantung hingga ke langit
Keadilan dan kemakmuran segera panen raya di Orde Reformasi
23 tahun sudah kita menggantang asap
Demokrasi sebatas mimpi di siang hari
Bapak Reformasi hanyalah Sengkuni
21 Mei 23 tahun lalu
Kerikil-kerikil di negeri ini tak cuma bersarang di kaus kaki
Tapi menumpuk di pelupuk mata dan di relung hati
21 Mei 2021 di hari ini
Kepada siapa akan kusedekahkan kisah resah ini?
Haruskah pada bait-bait puisi kukuburkan luka bangsa ini?
Gus Nas Jogja, 21 Mei 2021
MEMOAR BULAN MEI
Mei merilis tangisku
Merekam arus sejarah
Meraut mekar dan memar rindu dari hilir hingga ke hulu
Mei menyala dalam suluh sukmaku
Mengusap sembab pada luka lama
Melahirkan cinta dan cakrawala
Selepas subuh bersetubuh hingga riuh
Mei dibuka dengan Hari Buruh
Mengayuh peluh dalam gaduh selingkuh
Memoar Mei menari pada kalender rinduku
Merayakan hari lahir dengan bait-bait doa dalam gurindam dan talibun kalbu
Mei mempesona di antara kesiur angin dan gerimis tangis
Mengeja mantra dalam sesal dosa menjelang senja
Bibirku bergetar mengucap takbir
Pada almanak kusam tergantung di dinding
Kubaca kembali angka 20 Mei yang telah lama kulingkari
Hari Kebangkitan yang kian sepi dan diingkari
Bagimu Negeri hutang budi kami
Lalu 21 Mei hadir menjadi fatwa bagi bangsa
Saat reformasi dirayakan dengan gelombang pasang demo mahasiswa
Banjir bandang suka-cita berlumur nestapa
Demokrasi dipoles gincu menjadi politik biaya tinggi
Memoar Mei menyalakan doa dan mendidihkan air mata
Manakala sejarah dibiarkan amnesia di kamus lupa
Gus Nas Jogja, 23 Mei 2021
KARPET MERAH BUAT ZIONIS
Jalan berliku menuju Yerusalem
Kini begitu licin dan bertabur paku
Air mata janda-janda Palestina
Telah menjelma banjir berwarna merah
Lalu menenggelamkan doa dan cinta ke alarm baka
Sedangkan di langit Al Quds
Awan hitam mengepung cakrawala
Mengibarkan duka-lara penghuni dunia
Kubentangkan karpet merah buat Zionis
Karpet bermandi darah bocah-bocah Gaza
Agar sejarah mencatat pembantaian manusia ini dengan sempurna
Perang macam apa ini?
Ketapel melawan rudal
Mortir dan lapis baja meremukkan segalanya
Kugelar karpet merah buat Zionis
Karpet bermandi darah bocah-bocah tanpa dosa di Jalur Gaza
Jika saja masih ada sisa-sisa doa
Maka kukibarkan Cinta ke cakrawala agar Dunia mengerti
Bahwa bocah-bocah di Palestina itu adalah manusia!
Gus Nas Jogja, 24 Mei 2021
BUKU PUTIH UNTUK ISRAEL
Kutulis buku putih untuk Israel pada putih mataku
Tentang tanah tumpah darah bangsa Palestina
Yang terus banjir darah atas nama kezaliman itu
Buku putih mencatat jutaan rintih
Sebuah bangsa telah diusir dari tanah airnya sendiri
Kusaksikan darah tak kunjung kering di Palestina
Ketika kemanusiaan terus dibantai tak kunjung henti
Manakala kemerdekaan dan hak asasi diberondong peluru dan dihujani amunisi hingga menembus di ulu hati
Buku putih untuk Israel bercipratan darah pada puisiku
Berkafan cinta pada perih lukaku
Gus Nas Jogja, 25 Mei 2021
MERAH PUTIH PALESTINA
Sebelum dibutakan oleh cinta
Dan memejamkan mata untuk selama-lamanya
Yang kulihat terakhir kali di Palestina hanyalah rindu
Merah darah bercipratan di kelopak mata
Putih mata membelalakkan penglihatan dunia
Tapi Palestina tak juga merdeka
Manusia Palestina terus memanen luka dari kebun rindunya
Ayat-ayat apalagi yang harus kubaca?
Saat Nabi Ibrahim sudah mewariskan mushaf suci
Kitab Kerinduan yang mengalir deras dalam darah Ismail dan Ishak
Bukankah Yerusalem adalah Prasasti Cinta?
Kini yang kusaksikan hanya ribuan serigala
Berkeliaran di Dataran Tinggi Golan
Sedangkan di Hebron janda-janda Libanon itu terus mengalirkan air mata
Membasah dalam doa
Kini di Jalur Gaza banjir rudal Israel menghancurkan segalanya
Zionis yang bengis kian menguras tangis
Masih adakah tanah yang tak berwarna merah?
Masih adakah tanah yang tak berlumur darah?
Kesucian cinta ini telah dilecehkan oleh kekejian tak henti-henti
Kekerasan telah menjadi sesembahan
Dan bayi-bayi yang lahir di Palestina telah kehilangan alamatnya
Lebih luka dari luka
Lebih nyeri dari nyeri
Saat algojo zionis memuntahkan ribuan rudalnya
Cinta dan kemanusiaan telah memejamkan mata
Selama-lamanya
Gus Nas Jogja, 20 Mei 2021
KISAH POHON CAHAYA
Pohon-pohon Cahaya di Masjidil Aqsha tumbang
Gergaji dari Tel Aviv telah menebangnya
Menyisakan Yerusalem gelap gulita
Seribu medan Kurusetra tumpah di Palestina
Api membakar api
Arang bertemu arang
Jelaga mengubur cakrawala
Pohon-pohon Cahaya di Palestina
Menjadi bubur darah di cawan suci
Tentara Zionis telah menenggaknya
Mungkinkah manusia menista manusia?
Tegakah akal budi membunuh sesama?
Aku bertanya pada Darwin di ruang hampa
Sesudah kera akankah manusia menjelma serigala?\
Gus Nas Jogja, 21 Mei 2021
PADAMNYA POHON CAHAYA
Pohon-pohon Cahaya di Masjidil Aqsha tumbang
Gergaji dari Tel Aviv telah menebangnya
Yerusalem hanya tersisa gelap gulita
Seribu medan Kurusetra tumpah di Palestina
Api membakar api
Arang bertemu arang
Jelaga mengubur cakrawala
Pohon-pohon Cahaya di Palestina
Digergaji setiap hari
Menjadi bubur darah yang tersaji di cawan suci
Tentara Zionis lalu menenggaknya
Tel Aviv mabuk membantai bocah-bocah suci di Palestina
Mungkinkah manusia menista kemanusiaannya?
Tegakah akal budi dan cinta kasih membunuh sesama?
Aku bertanya pada Darwin di ruang hampa
Inikah puncak evolusi dan mata rantai manusia?
Sesudah kera akankah manusia menjelma serigala?
Gus Nas Jogja, 21 Mei 2021