[ Dari Webinar Internasional Citra Srikandi Indonesia dan ISBI Bandung ]
Kartini adalah pahlawan untuk pendidikan perempuan Indonesia. Keberadaannya seperti Srikandi, sosok perempuan pahlawan dalam epik Mahabarata versi Jawa.
Pendapat ini mengemuka dalam pandangan Juju Masunah, Guru Besar dan Ketua Prodi S2 Pendidikan Seni – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dalam seminar virtual (webinar) internasional yang digelar perkumpulan Citra Srikandi Indonesia (CSI) dan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Rabu (21 April 2021).
Pada webinar yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Kartini bertajuk “Kartini as Inspiration: Repositioning Women’s Role in Contemporary Indonesia,” itu juga tampil pembicara lain, Hanisa Hassan – Dekan Fakultas Teknologi Kreatif & Warisan – Universiti Malaysia Kelantan; Rhomayda Alfa Aimah, dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung; dan Ratna Lestari Harjana, Kepala Fungsi Penerangan Sosial Budaya – KBRI Singapura. Webinar dihantar oleh pembicara kunci Sri Rochana Widyastutieningrum , guru besar ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta.
Sebelumnya, Endang Caturwati dan Een Herdiani masing-masing Guru Besar dan Rektor ISBI Bandung, membuka webinar tersebut dengan membacakan puisi bertajuk “Citra Srikandi Indonesia.”
Pada bagian lain paparan pemikirannya yang menarik, Jujur Masunah memberi ilustrasi resonansi sosok Kartini sebagai inspirator perempuan Indonesia, dengan refleksi perjalanan karir pribadinya di bidang seni pertunjukkan, keilmuan, dan pengabdian profesional di lapangan pendidikan.

Guru Besar dan Ketua Prodi S2 Universitas Pendidikan Indonesia, Juju Masunah dan Hanisa Hassan – Dekan Fakultas Teknologi Kreatif – Universiti Malaysia Kelantan
Tidak bisa dicapai sendiri
“Setiap wanita dapat menjadi pahlawan bagi diri(nya) sendiri dan orang lain,” ungkap guru besar yang memulai kiprahnya sebagai mahasiswi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) – cikal bakal ISBI Bandung.
Juju menyebut empat faktor penting perubahan hidupnya sebagai perempuan cendekia dan berjaya yang terinspirasi Kartini dalam menggapai jabatan karir puncak sebagai guru besar. Yakni: Berpengetahuan luas, Memiliki kompetensi sosial dan pribadi; Tidak pernah menyerah dan mesti terus berkarya; Mampu mengelola mimpi besar dan sabar; serta, Konsisten bedo’a.
Faktor-faktor yang disebutkan Juju tersebut, dilihat dari perspektif perjalanan hidup dan kiprah Kartini dan berbagai perempuan pejuang dan pahlawan lain, sangat relevan. Dalam konteks ini, dimensi pendidikan dan strategi kependidikan yang berdampak langsung terhadap perubahan positif kaum perempuan, menjadi penting.
Kendati demikian, sesuai dengan perkembangan zaman dan tantangan yang kian berat, ketika menjawab pertanyaan khalayak tentang strategi pembelajaran (termasuk pengajaran) dalam ruang chat virtual webinar tersebut, Juju mengatakan, memang tidak mudah. Tapi harus dilakukan.
Dalam berbagai sisi pemikirannya, Juju sebagai perempuan cendekia memandang, proses pencapaian puncak karir sebagai perempuan, memang tidak bisa dilakukan sendiri. Karena pencapaian puncak dimensi peran seorang perempuan juga merupakan hasil bekerja bersama komunitas juga. “You cannot achieve things by doing it alone rather it is a result of working with communities,” ujar doktor lulusan Ohio State University di Amerika Serikat itu.
Pemikiran Kritis Kartini
Pandangan lebih jernih tentang Kartini dalam webinar tersebut, mengemuka dari pemaparan pandangan dosen muda usia matang di bidangnya, Rhomayda A. Aimah dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulung Agung, Jawa Timur.
Generasi dekade 80-an yang menyelesaikan studinya di Universiteit Leiden, ini mengupas cerdas dimensi pemikiran Kartini dari sudut pandang epistolary, salah satu genre kajian sastra. Dengan kajian otobiografi – yang tak lazim berlaku pada masyarakat Indonesia – Rhomayda mengulik berbagai dokumen (surat menyurat pribadi) Kartini. Lantas, ia menyatakan, sebenarnya Kartini merupakan pelopor pembentukan otobiografi (melalui surat menyurat dengan istri Abendanon) pribadinya, sebagai bagian dari (kisah perjalanan) bangsa Indonesia modern (yang dinamis).
Dikemukakannya, dari arsip Jacques Henry Abendanon, banyak informasi tentang Kartini yang belum terungkap luas. Di Perpustakaan Universitas Leiden, dapat ditemukan dokumentasi arsip terkait dengan Kartini. Beberapa surat pribadi Kartini, tahun 1911 diterbitkan dalam buku “Door Duisternis tot Licht,” (DDtL) yang oleh Armijn Pane dialihbahasa (meski tak begitu tepat) menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tapi, tak semua surat yang mengekspresikan dan merefleksikan sikap dan pandangan kritis dan jernih Kartini di tengah aturan yang ketat, diterbitkan. Khasnya, tentang tradisi lama aristokrasi di Jawa, orientasi sikap dan pandangan modern dan ideal di luar negeri, dan berbagai pemikiran kritis lainnya. Terutama pemikiran dan sikap Kartini yang tersimpan dalam surat-surat pribadinya yang menentang tindakan kejam politik pemerintah kolonial Belanda masa itu.
DDtL diterbitkan dan menjadi best seller, menurut Rhomayda, juga terkait dengan politik etik Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial kerajaan kecil di Eropa itu. Dalam konteks politik etik itu juga, pemerintah kolonial melalui Jacques Henry Abendanon membantu pendanaan pada proses pendidian Sekolah Kartini.

Rhomayda Alfa Aimah, dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung lulusan Universiteit Leiden – Belanda dengan latar buku “Door Duisternis tot Licht.”
Reposisi Perempuan Indonesia
Untuk mengulik pemikiran dan sikap Kartini sesungguhnya, banyak referensi mesti dibedah dan dikaji lebih dalam. Rhomayda menyebut, antara lain “Kartini. The Complete Writings 1898-1904” karya Joost Coté; Pumpunan karya berbagai penulis bertajuk “Appropriating Kartini. Colonial, National and Transnational Memories of an Indonesian Icon,” dengan editor Paul Bijl dan Grace V.S. Chin, dan lain.
Paparan pemikiran Juju dan Rhomayda menggambarkan sosok Kartini sebagai perempuan pejuang yang dimensional di dalamnya. Eksistensinya sebagai perempuan di tengah budaya patriaki denganm sistem korelasi sosial yang clientelistic, menjadi salah satu titik pandang lain yang mengemuka dalam pemikiran Hanisa Hassan, perempuan cendekia yang lahir dan mengabdi di Kelantan, salah satu negeri di Malaysia yang mempunyai dimensi budaya nyaris tak jauh beda dengan Kartini atau perempuan Indonesia pada umumnya.
Hanisa merujuk pada pemikiran budaya dan mengemukakan bahwa perubahan perempuan (dalam konteks budaya) dipengaruhi kuat oleh pendidikan (formal atau non formal). Dia merujuk pada referensi lama ihwal kebudayaan yang dipercikkan Koentjaraningrat, meliputi tujuh unsur atau sistem budaya, yakni: bahasa, ilmu pengetahuan, sosial, teknologi, ekonomi, kepercayaan dan kesenian. Namun demikian, Hanisa menitik beratkan esensi perubahan, dimulai dari konsep asas berkaitan dengan proses pembelajaran.
Hanisa melihat tiga anasir penting, yakni: Internalisasi, Sosialisasi, dan Enkulturasi. Dalam hal internalisasi, Hanisa mengemukakan tentang proses belajar yang menempat kematangan diri seseorang sejak lahir sampai akhir hayat, termasuk pengalaman hidup yang mendidik manusia tentang emosi, perasaan dan cara menghadapi kehidupan sehari-hari.
Ihwal sosialisasi, Hanisa mengemukakan tentang proses belajar melalui kelompok sosial oleh anggota keluarga dan masyarakat dengan tata krama atau norma-norma tertentu. Akan halnya Enkluturasi, proses pembelajaran manusia, menurut Hanisa memilih unsur-unsur elemen budaya tertentu, mengambil apa yang sesuai atau meninggalkan apa yang tidak lagi sesuai dalam sesuatu budaya untuk diamalkan secara kentara dan tidak kentara.
Era dan Rupa Gaya Perempuan
Untuk mahami proses reposisi perempuan dalam kehidupan kontemporer Indonesia (sebagaimana halnya juga dialami di Malaysia), Hanisa melakukan pengelompokan berdimensi masa peradaban Klasik, Kolonial dan atau Paska Kolonial, serta modern.
Hanisa mendeskripsikan, di Era klasik, tak ada pendidikan formal pakem adat masih utuh, keluarga menentukan nasib perempuan (misalnya dalam hal pernikahan), pengetahuan terbatas pada hal-hal domestik. Pada era ini, sistem sosial masih di sekitar keluarga dan tetangga (keluarga besar dan klan), perempuan tinggal di rumah dan tidak bekerja, kalaupun bekerja, di sektor-sektor pertanian dan domestik. Performa (rupa dan gaya) perempuan masih tradisional, klasik.

Presentasi Juju Masunah
Di Era Kolonial dan atau Pasca Kolonial, perempuan mendapat akses pendidikan formal. Mulai dapat bertutur di dalam bahasa asing (Bahasa Belanda, Bahasa Inggris). Perempuan sudah mulai keluar dari pakem sosialnya dan berada di tengah sistem ekonomi, masih secara independen. Perempuan mulai bekerja di sektor-sektor pendidikan, layanan kesehatan, dan pertanian. Rupa dan gaya penampilannya mulai berubah kebarat-baratan (western).
Di Era Modern, perempuan sudah sering dan bisa bertutur dalam dua atau lebih bahasa. Perempuan sudah mulai belajar ke peringkat tertinggi. Lebih independen dalam banyak hal. Mempunyai ekonomi sendiri dan tidak lagi bergantung hidup pada keluarga. Rata-rata bebas membuat pilihan sendiri tentang masa depan serta kehidupan. Mulai berhijrah ke kota-kota besar atau luar negeri. Sudah mulai memasuki sektor profesional. Pesona personanya pun lebih percaya diri dan fleksibel mengikut jenis pekerjaan.
Proses perubahan yang dikemukakan Hanisa mengemuka dalam berbagai ilustrasi dan contoh praktikal profesi perempuan Indonesia di lapangan diplomatik dan hubungan luar negeri, seperti dikemukakan Ratna Lestari Harjana. Ratna mengemukakan, kiprah perempuan di dunia diplomasi bermula dari sosok Laili Roesad adalah diplomat perempuan pertama Indonesia yang menjadi Duta Besar RI untuk Belgia (1959-1964) dan untuk Austria (1967-1970). Kini, sejak 2014 Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, perempuan.
Perempuan Diplomat
Saat ini, jelas Ratna, terdapat 1.207 diplomat perempuan di Kementerian Luar Negeri (dibandingkan dengan 2.063 diplomat laki-laki). Dari total 75 Duta Besar RI di luar negeri, baru 10 orang perempuan, dengan 34 perempuan sebagai Ketua Misi, termasuk 6 perempuan sebagai Konsul Jenderal.
Kemenlu terus menerapkan kebijakan yang responsif gender, dengan memprioritaskan pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Ratna mengemukakan, di dunia diplomasi perempuan Indonesia mesti menjadi berbagai tantangan, mulai dari sikap profesional, daya saing dan pengembangan karir, upaya meningkatkan pengetahuan tentang berbagai macam masalah, dan lainnya. Karenanya perempuan diplomat kudu terus bersemangat mempelajari banyak keterampilan baru termasuk keterampilan sosial dan bahasa.

Cuplikan salah satu surat pribadi Kartini [KITLV] dan peserta webinar internasional CSI & ISBI Bandung
Kesemua pembicara dalam webinar yang diikuti oleh lebih 400 partisipan dari seluruh Indonesia, itu ‘melayari’ berbagai isyarat dan pandangan pemikiran Sri Rochana saat menyampaikan berb agai kata kunci seminar itu. Mulai dari eksistensi, kepribadian, kreativitas, inovasi, dan kemampuan merespon tantangan aktual, antara lain pandemi Covid-19.
Puisi Kartini dan Senarai Asa Perempuan
Dalam webinar, ini empat perempuan guru besar dari berbagai perguruan tinggi membaca puisi bertajuk Kartini karya Gus Nas yang bernas. 40 anggota CSI lainnya, membaca sejumlah puisi terpilih dari buku pumpunan puisi karya 19 perempuan CSI bertajuk Senarai Asa Perempuan (2021).
Ketua Umum CSI Endang Caturwati, mengemukakan rangkaian kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi dan respon CSI dan ISBI Bandung atas jasa-jasa Kartini bagi kemajuan perempuan di Indonesia.
Menurut Endang, saat ini peran perempuan Indonesia telah banyak mengalami perubahan dan memberikan pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Kaum perempuan telah memainkan peran utama dalam bidang politik, eksekutif profesional, pendidikan, kedokteran, bisnis, hukum, dan sebagainya.

Rektor [ dan Guru Besar] ISBI Bandung, Een Herdiani dan Ketua Umum Citra Srikandi Indonesia [Guru Besar ISBI] Endang Caturwati
Ide-idenya yang telah ditulis sejak usia sangat muda atas berbagai isu tentang modernitas, nasionalisme, feminisme, pendidikan, budaya, bahkan agama menjadi bukti bahwa Kartini, dalam masa hidupnya yang singkat adalah seorang perempuan cendekia yang cerdas, bijak, dan visioner yang luar biasa, sehingga membuatnya selalu layak dikenang.
Pesan menari dari webinar ini, mengemuka dari salah satu kuplet puisi yang dibacakan Endang dan Een:
perempuan cendekia Indonesia,
para srikandi berbusana keluhuran pekerti
berselendang keikhlasan dan kesabaran
elok rupa dan cantik budi
menyemai, merawat, dan mengasuh
orang – orang mulia menjemput hari esok gemilang
tak limbung kala tersanjung, tak terhuyung kala tersandung
tegak berdiri di haluan peradaban
laksana mentari menyinari bumi
kias rembulan, suluh di malam kelam |
penulis : delanova