Bang Sèm
Cinta yang dibangkitkan khayalan salah dan tidak pada tempatnya
bisa saja mengantarkannya pada keadaan ekstasi.
Namun, kenikmatan itu jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya.
Kekasih yang sadar akan hadirnya seseorang yang mencintainya.
Laksana kenikmatan lelaki yang memeluk tugu batu di kegelapan sambil tersedu-sedan menangis dan meratap.
Meski dia merasa nikma karena berpikir telah memeluk kekasihnya, tapi jelas tidak senikmat orang yang memeluk kekasih sebenarnya kekasih yang hidup dan sadar.
(Jalaluddin Rumy, Kearifan Cinta)
KUPLET amsal puitik karya Jalaluddin Rumy ini pertama kali saya baca saat sedang bersemangatnya bercita-cita menjadi penyair. Ini juga yang membuat saya akhirnya tak berani menjadi penyair. Orang-orang luhur di atas angin, para begawan yang berteman para dewa dan dewi. Amsal ini juga yang akhirnya mendorong saya untuk lebih memilih imagineering dan religi ketimbang filsafat.
Imagineering atau ilmu rekacita mengajarkan manusia membedakan ilusi, fantasi, dan imajinasi secara berhadap-hadapan, meski ketiganya bermula dari mimpi.
Ilusi dan fantasi menyeret manusia ke ruang obsesi yang tak terambah parameter. Sekamar dengan utopia. Ujung akhirnya, menjaring manusia untuk bermain di taman asumsi dan meyakini asumsi di benaknya sebagai kebenaran. Keindahan yang ada di dalamnya merupakan keindahan khayalinya. Kebebasan yang tumbuh subur di dalamnya adalah keliaran tanpa marka.
Akan halnya imajinasi, merupakan deskripsi abstraktif yang terukur dengan berbagai indikator dan parameter, yang diperoleh dari realitas pertama kehidupan, yang nyata. Imajinasi mesti tumbuh dan berkembang, dan memenuhi kriteria imaginery (realible, feasible, manageable, terukur, dapat di-review, dan evaluable).
Imajinasi akan membantu siapa saja yang memperoleh fokus, dan berenergi untuk menghidupkan imajinasi sebagai kerangka idealistika, yang kita kenal sebagai cita-cita. Dari sini, manusia menentukan tujuan hidupnya, menemukan sentra kepeduliannya, mengurai kekuatan pendorong dinamika hidup untuk mencapai tujuan hidupnya, merumuskan visi sebagai titik capai sesuai time line yang disepakati. Tentu, sesuai dengan kondisi obyektif: tantangan, peluang, kelemahan, dan kekuatan.
Dengan begitulah, manusia bisa merumuskan apa saja misi hidupnya, sebagai stage (maqam) untuk mencapai tujuan. Meski dalam menjalani hidup dan kehidupan, sebagian begawan dan ulama meletakkan juga faktor nasab dan nasib. Nasab terkait dengan genuine flow (yang terbentuk dari lingkungan sosial, akademik, dan budaya). Nasib terkait dengan garis tangan. Imagineering memandu manusia, mengubah nasibnya, dengan berbagai tools. Antara lain: pendidikan, sains, teknologi, jejaring, organisasi, sistem, sumber daya alam, dan daya cipta (motivasi, kreativitas, dan inovasi).
Dalam konteks inilah, imajinasi suatu masyarakat dan bangsa, mesti merupakan imajinasi kolektif, yang satu dan lainnya berbeda. Kita tidak bisa mengadopsi begitu saja imajinasi bangsa lain menjadi bangsa kita.
Salah mengadopsi imajinasi bangsa lain, bisa bikin kita terperangkap jebakan fantasi. Demokrasi gaya Paman Sam, yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat egaliter, dengan sistem relasi korelasi sosial yang horisontal, pun terjebak dalam perubahan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Tentu, demokrasi begitu macam, tak bisa serta merta sama dan sebangun dengan demokrasi kita, yang ditakdirkan sebagai bangsa dengan sistem relasi korelasi struktural. Makanya, perlu ‘nongkrong bareng’ merumuskan imajinasi kolektif bangsa.|