Nyala Bara Slamet Tinular

Sikap qana’ah tersebut menghidupkan daya simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta berbagai kalangan, sehingga tinular. Buahnya adalah perubahan kondisi dalam fenomena sosial yang berdimensi kemanusiaan. Penandanya adalah sensitivitas sekelompok kecil orang yang lantas merekam dan mengunggah video Slamet ketika mengamen dengan menggendong simple sound system- melantunkan tembang lara yang melodius.

Catatan Kecil Bang Sèm

Lelaki yang nampak tua itu bernama Slamet. Pengamen asal Dusun Sugihan, Desa Tunggulrejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Singularitas media sosial era digital yang mengusung kuat pola komunikasi berbasis internet, membuat namanya tular – tinular (viral). Sejumlah kecil orang yang berasyik maksyuk memanfaatkan singularitas, saya yakini, menjadi ‘alat Tuhan’ untuk mengubah nasibnya keluar dari kubang kaum miskin.

Pengamen yang mulanya menggendong perangkat tata suara melantangkan suaranya yang khas, sengau dan apa adanya, itu diboyong ke Jakarta.

Lantas masuk ke bilik perekaman suara dan menjadi obyek bidik kamera, menghasilkan medium audio visual yang diangkat naik (up load) dan berselancar di saluran multi media, multi channel dan formula: Youtube, tiktok, dan instagram.

Slamet yang berambut gondrong, berpakaian surjan lurik lusuh, yang sekali sekala tersaruk di jalan desa dan bahkan pematang sawah kala melintasi gelap, itu pun berubah.

Ia mulai mengenal blazer, ranjang hotel, panggung dangdut koplo bersama para biduan dan orkes dan mendapatkan panggung baru yang tak lagi gelap.

Tembang populis ‘Salahmu Sendiri’ karya Faisal Asahan  dan ‘Suratan’ karya Acil Pasra yang biasa didendangkannya dengan iringan musik lewat bimbit (handphone), pun diubah suai. Gofar mandolin, mengubah aransemennya hingga tular.

Slamet pengamen tinular bahkan mnghadirkan sikap qana’ahnya lewat suaranya ketika mendendangkan tembang laranya | TA Pro channel

Qana’ah

Sejak akhir Desember 2024, tak kurang dari dua juta khalayak menjadi pemanut (subcriber) dan lebih dari empat juta pemirsa konten media sosial yang ‘menghadirkan’ sosok ‘baru’ dirinya.

Realitas kehidupan pertama yang buram, lusuh dan berdebu dan menjadi sejarah perjalanan hidupnya, tak lagi tertampak pada performanya. Melainkan tersimpan dalam syair – lirik  dan sengau suaranya yang khas.

Slamet dan sejumlah orang yang menata dan mematut dirinya, terus mengolah kreativitas. Terus menuntunnya lewat rekaman-rekaman kemudian.

Diiringi orkes Lembayung Music dan Simpatik Musik, Slamet hadir dengan sejumlah lagu populis lain, termasuk berduet dengan biduan. Sebutlah itu tembang-tembang: Kawin Kontrak, Umpomo, Kalah Weton, Tambal Ban, Lestari, Aku Kau Sakiti, Cinta Tak Terbatas Waktu, Cinta Membawa Derita, Tak Harus Memiliki, Langgeng Dayaning Rasa, dan lainnya.

Slamet pengamen yang tinular, itu kini hadir sebagai sosok selebrita yang tertopang kuat oleh supreme energy, kekuatan semangat untuk senantiasa menyalakan bara optimisme.

Dari sejumlah wawancara programa infotainment televisi dan liputan amatir konten kreator Youtube, saya meyakini inti supreme energy Slamet dihidupkan oleh kuatnya sikap qana’ah (menerima realitas hidup, segetir dan sepahit apapun dengan sabar dan ikhlas)

Kebersahajaan Slamet dengan surjan lurik yang biasanya dia pakai untuk ngamen memantik simpati | TA Pro channel

Nyala Api Colèn

Sikap qana’ah tersebut menghidupkan daya simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta berbagai kalangan, sehingga tinular. Buahnya adalah perubahan kondisi dalam fenomena sosial yang berdimensi kemanusiaan.

Penandanya adalah sensitivitas sekelompok kecil orang yang lantas merekam dan mengunggah video Slamet ketika mengamen dengan menggendong simple sound system– melantunkan tembang lara yang melodius.

Pula tertampak pada sekelompok kecil orang yang mengundangnya masuk ke bilik suara, merekam suaranya, dan mengunggah videonya ke saluran media sosial. Terlepas dari apa pun motivasinya.

Di tengah situasi kehidupan budaya (sosial, ekonomi, politik) makro yang kehilangan etika dan meredupkan cahaya harapan karena tertimpun laku lajak, keserakahan kaum lapar tahta dan harta, saya melihat Slamet laiknya nyala api colèn di gelap jalan setapak menembus rimba.

Slamet dan sejumlah sinden – biduan populis di panggung – panggung dangdut koplo yang tinular melalui produk budaya campuran – oplosan (blended culture) membuka mata kita ihwal realitas sosio budaya yang berkembang di tengah transisi arus globalisasi dan glokalisasi.

Slamet dan para biduan dangdut koplo menyadarkan kita pada nilai anyar produk oplosan tradisionalisma – modernisma, di bentang era agraris – industri – informasi dan konseptual.  Mereka tak hanya ekspresi perkembangan tarling Ceribon atau campur sari.

Slamet dan kalangannya agaknya sedang menyediakan saluran eksplorasi dan ekspresi gundah, risau, dan galau yang melodius mendayu. Cerminan kaum yang terus menjaga sensitivitas nyala bara di ruang gelap, paradoks kaum lapar kuasa yang tak lagi sensitif, akibat hilang akal budi, dan terus bercermin dalam gelap. |

 

Posted in HUMANIKA.