Tragedi yang menimpa Affan terjadi di tengah unjuk rasa menyikapi laku politisi (khasnya anggota parlemen) yang tak punya kepekaan sosial dan sangat berjarak dengan rakyat, mengisyaratkan jarak lebar antara penguasa dan kawula. Khasnya jarak dalam realitas dan gaya hidup dan jarak kuasa, kala mereka yang seharusnya menjadi wakil rakyat, menjadi laku lajak laiknya wali rakyat.. Akankah tragedi sansai akibat laku pragmatisma politik ini menjadi cermin dalam terang? Atau, seperti berbagai tragedi sejenis lainnya, hanya menjadi cermin dalam gelap?
Bang Sèm
Sisa hujan masih membasahi kawasan Gelora, lokasi kompleks gedung parlemen dalam wilayah kecamatan Tanah Abang, Kamis (28/8/25) di awal malam. Suasana remang.
Aksi unjuk rasa di depan pintu gerbang utama kompleks parlemen berakhir ricuh. Polisi dengan segala perlengkapan dan peralatan untuk menghalau massa, tanpa kecuali gas air mata dihamburkan.
Para pengunjung rasa berlarian ke arah Jalan Pejompongan Raya, Jalan KS Tubun, dan Palmerah. Ada juga yang menghambur ke kawasan jalan Anggrek Cenderawasih, Slipi.
Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (Ojol) terjebak situasi, ia terjatuh ketika menyeberang jalan di Pejompongan, tak jauh dari kompleks Menara BNI (Bank Negara Indonesia).
Belum sempat bangkit, Affan diseruduk kendaraan taktis (Rantis) petugas kepolisian. Ia tersungkur. Tapi, Rantis tak berhenti. Bahkan terus melaju. Melindas Affan yang tak berdaya.
Massa yang mengenakan jaket dan helm ojol berwarna hijau segera bereaksi. Berusaha menghentikan rantis tersebut. Sia-sia. Beberapa massa spontan melakukan reaksi membaling rantis yang terus melaju ke arah jalan KH Mas Mansur, kemudian melaju di fly over Prof. Dr. Hamka, persis di atas jalan Kasablanka.
Beberapa sepeda motor ojol berusaha memburu rantis yang terus melaju di atas fly over itu. Lagi, perburuan yang tak berhasil menghentikan laju rantis, itu.
Affan sendiri (dan beberapa korban unjuk rasa) dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jalan Diponegoro. Nyawa Affan tak terselamatkan. Tulang punggung keluarga, itu wafat.
Beberapa kolega sesama pengemudi ojol meluahkan marah dan bergerak ke Markas Brimob (Brigade Mobil) di Jalan Kramat Kwitang, yang dulu sempat populer sebagai Jalan Prapatan, yang memanjang dari Tugu Tani hingga Simpang Lima Senen.
Tak ada lagi rasa takut. Mereka bergerak dan hendak masuk ke markas Brimob, menuntut pertanggungjawaban polisi yang mengemudiakan rantis yang menyebabkan Affan, tewas..
Massa kian banyak berdatangan ke lokasi yang tak jauh dari Gedung Museum Kebangkitan Nasional dan kawasan permukiman Kwitang yang dilalui anak sungai Ciliwung, itu.

Prosesi pemakaman Allahyarham Affan Kurniawan | CNA
Cermin dalam Gelap
Malam mencekam. Sejumlah kendaraan yang parkir dekat lokasi Maskas Brimob, itu menjadi sasaran amarah massa yang menyulutnya dengan api yang segera berkobar. Akan halnya jenazah Affan, yang sempat dikunjungi Kapolri Listiyo Sigit, dibawa pulang ke rumahnya di Jalan Lasem, bilangan jalan Blora, Menteng.
Gubernur DKi Jakarta, Pramono Anung datang bertakziah ke kediaman allahyarham Affan, disambut luah kesedihan ibu dan kakek Affan. Kesigapan Gubernur Pramono Anung mengalirkan simpati dan empati, sehingga berbalas respek dari keluarga dan tetangga.
Gubernur Pramono Anung nampak tak kuasa menahan sedih, kala ibu kandung Allahyarham Affan mengungkap kehilangannya yang dalam. Pun, ketika ia menyalami nenek dari Affan. “InsyaAllah Affan husnul khatimah,” kata Pramono.
Kepada kakek dan kerabat Affan, Gubernur Pramono Anung bicara tentang proses pemakaman Affan di Karet Bivak. Apa yang dilakukan Gubernur Pramono Anung nampak menenangkan keluarga. Kehadiran Pramono di rumah duka amat bermakna.
Tak berapa lama setelah itu, Pramono meninggalkan rumah duka. Lantas, Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DKI Jakarta 2017-2022). Sebagaimana ketika masih menjabat Gubernur, Anies yang selalu hadir di tengah warganya yang sedang berduka, Anies lebih banyak menyimak luah lara ibu kandung Affan.
Affan, lelaki muda yang semasa hidupnya menjalani profesi sebagai pengemudi ojol, sangat penting dalam kehidupan keluarga. Ia menjadi andalan bagi keluarganya menghadapi hidup sehari-hari di tengah situasi yang gamang, tak pasti, ribet dan mendua.
Tragedi Pejompongan menjadi jalan akhir Affan pulang ke haribaan Allah, al Khaliq Pencipta-Nya dengan kemuliaan. Hal tersebut tampak pada Jum’at pagi, ketika ribuan pengemudi ojol menghantarkannya ke taman pemakaman umum (TPU) Karet Bivak. Tak jauh dari lokasi tragedi yang menimpanya.
Di TPU tersebut dimakamkan sejumlah tokoh yang berjasa dan prominen, seperti Pahlawan Nasional asal Betawi, Mohammad Husni Thamrin, mendiang Mohammad Natsir (Perdana Menteri I Republik Indonesia), Chaerul Saleh – Ketua MPR masa Bung Karno, Ibu Negara Fatmawati Soekarno, penyair Chairil Anwar; musisi legendaris Betawi, Ismail Marzuki; seniman serba bisa Haji Benyamin Sueb, politisi negarawan Ferry Mursyidan Baldan, dan banyak tokoh lainnya.
Peristiwa wafatnya Affan tetiba mengingatkan kita pada rangkaian tragedi-tragedi sebelumnya yang menjadi noktah hitam perjalanan bangsa ini di bentang masa reformasi.
Tragedi yang menimpa Affan terjadi di tengah unjuk rasa menyikapi laku politisi (khasnya anggota parlemen) yang tak punya kepekaan sosial dan sangat berjarak dengan rakyat, mengisyaratkan jarak lebar antara penguasa dan kawula. Khasnya jarak dalam realitas dan gaya hidup dan jarak kuasa, kala mereka yang seharusnya menjadi wakil rakyat, menjadi laku lajak laiknya wali rakyat..
Akankah tragedi sansai akibat laku pragmatisma politik ini menjadi cermin dalam terang? Atau, seperti berbagai tragedi sejenis lainnya, hanya menjadi cermin dalam gelap?
Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun. |
