Refleksi Kritis Aidil Usman dalam Food Escape

Karya instalasi Aidil ini, meminjam perspektif Hassan Amwiinw dan Jovita Nnenna (2024) menghadirkan relasi kuat seni sebagai aktivisme. Khasnya pengaruh seni visual pada gerakan sosial. Khasnya dalam menjawab pertanyaan, “Bagaimana seniman dapat memperkaya estetika dan pada saat yang sama, mempertanyakan isu-isu sosial?” Termasuk pertanyaan ihwal perubahan masyarakat dan dunia seni yang dimensional. Terutama mengingat realitas: kekuasaan politik silih berganti, dan seniman – budayawan tetap berada pada jarak yang sama. Jarak budaya yang independen.

Bang Sém

Food escape yang biasa dipahami sebagai laku cara mengalihkan perhatian agar secara emosional tak terjebak pada rasa tak nyaman melalui makanan, bermakna lain ketika dihampiri dengan perspektif seniman.

Aidil Usman, perupa yang juga bergumul dengan seni pertunjukan (khasnya tari dan teater) menarik masuk istilah food escape dalam skala lebih luas. Ia menyatakan sikap kritisnya atas food estate yang justru menimbulkan ketidak-nyamanan bagi khalayak.

Lewat karya instalasinya bertajuk ‘Food Escape’ yang dipamerkan di pameran seni kontemporer Jakarta Provoke 2025 — jilid dua — yang digelar di PosBloc – Pasar Baru, jakarta (19/6/25 sampai 3/7/25), Aidil mengirim sinyal kritis atas program Food Estate yang sedang berlangsung di Papua. Khasnya di Merauke.

Seniman multitasking yang melahirkan sejumlah karya seni di cabang Seni Rupa dan Seni Pertunjukan ( Meditasi, Quo Vadis Bumi Pertiwi, Media, Kembang Mendusta, Sosial Paranoiya, Reformasi Idiot, Monumen Kesaktian Negeri Terlunta, Upacara Bersama Tentang Kematian, Gerak Rupa Minamata, Exodus, Gerak Kuda Putih, Laut Lesung, Semesta Tubuh, dan lain-lain),  itu melihat program Food Estate dalam tiga relasi kuat: ekologi, ekosistem, ekonomi dan dampak sosio budayanya.

Pada pameran Jakarta Provoke 2025 karya instalisasi Aidil bertajuk Food Escape (dengan material kayu, multipleks, kain dan tanah) yang ‘mengambil’ ruang seukuran 580 x 480 x 480, Aidil memperlihatkan replika Honai, rumah adat warga Merauke, Papua Selatan.

Honai dalam konteks karya instalasi Aidil, menurut Damhuri Mahmud, kuratornya, merupakan simbol ketahanan kultural sekaligus kedaulatan pangan (food sovereignity).

Kondisi Honai dalam kondisi rusak parah yang menandai dampak buruk dari deforestasi di wilayah adat masyarakat tempatan sebagai risiko pelaksanaan penyediaan lahan untuk proyek penyediaan lumbung pangan nasional berjenama Food Estate.

Tak kira dari 1,1 juta hektar lahan sedang dialih-fungsikan menjadi lahan pesawahan, perkebunan terpadu, termasuk pembangunan fasilitas pendukung seperti pabrik gula dan bioetanol.

Aidil Usman (kiri) menghadirkan karya instalasinya Food Escape (kanan). Suara kritis yang menyadarkan | bang sem

Papua Bukan Tanah Kosong

Dalam pengantar kurasi atas Food Escape, Damhuri Muhammad menulis, “Politik pangan nasional divisualisasikan dengan padi yang tumbuh subur di area fondasi Honasi. Atas nama komoditas pangan guna mengisi perut orang-orang se Indonesia, Honai mesti roboh atau ditumbang-paksakan secara massif.”

Aidil, tulis kuratornya, sedang memaklumatkan bahwa tidak hanya Honai, tapi hampir semua artefak yang berkaitan dengan lambang ketahanan budaya lokal dan budaya pangan orang-orang Merauke, telah menjadi serpihak-serpihan lapuk. Lalu puing-puingnya beterbangan ke angkasa, dihempas badai kapitalisme pangan.”

Aidil yang terkesan menyimpan teriakan kritisnya di dalam benak, lantas meletupkan dengan diksi lugas dan aksentuatif: “Papua Bukan Tanah Kosong.” Menjadi ironis dan ekspressif, karena Aidil memilih eksekusi kreatif atas karyanya dengan sesuatu yang menyolok mata lahir dan mata batin.

Dari dalam Honai, batang pohon berbalut ‘kafan’ menyeruak, seolah hendak menjangkau rangka besi penyangga ruang pamer PosBloc, itu. Aidil mengirim pesan, bagaimana proyek food estate untuk menjangkau swasembada pangan yang digalakkan pemerintah, masih menggunakan cara-cara lapuk: alih fungsi lahan, yang mengancam kecerdasan budaya dan kearifan lokal.

Secara keseluruhan, karya instalasi Aidil ini, sesungguhnya merupakan pesan penyadaran bagi siapa saja yang mestinya mengemban amanah sebagai rahmat atas semesta, mengolah kesadaran menghidupkan antusiasme mewujudkan obsesi dengan tetap merawat simpati, empati, apresiasi, respek dan cinta.

Karya instalasi Aidil ini menyadarkan kita pula untuk melihat relasi kuat segitiga kehidupan ‘triangle of life.’ Relasi manusia dengan manusia, Manusia dengan alam, dan Manusia dengan Tuhan.

Karya instalasi Aidil ini, meminjam perspektif Hassan Amwiinw dan Jovita Nnenna (2024) menghadirkan relasi kuat seni sebagai aktivisme. Khasnya pengaruh seni visual pada gerakan sosial.

Khasnya dalam menjawab pertanyaan, “Bagaimana seniman dapat memperkaya estetika dan pada saat yang sama, mempertanyakan isu-isu sosial?” Termasuk pertanyaan ihwal perubahan masyarakat dan dunia seni yang dimensional. Terutama mengingat realitas: kekuasaan politik silih berganti, dan seniman – budayawan tetap berada pada jarak yang sama. Jarak budaya yang independen.

Menghadirkan Honai dan padi yang terancam punah dan ‘teriakan’ : “Papua Bukan Tanah Kosong.” | bang sem

Paradigma Tata Kelola Kehidupan

Karya instalasi Aidil Food Escape,’ sebagaimana beberapa karya yang hadir dalam Jakarta Provoke 2025, secara khas  menjawab tantangan seniman (dengan karya – karya interdisipliner) Abad 21. Yaitu: dialektika ihwal kesadaran merawat bumi, gaya hidup berkelanjutan (sustainability life style), perubahan minda membalik kemiskinan (bukan mengentaskan), pengembangan potensi manusia merawat semesta.

Di sisi lain, karya instalasi Aidil bila hendak dihampiri dengan potensi dan eksistensi manusia, mengisyaratkan ihwal tanggung jawab mengendalian globalisme secara efektif, menyelaraskan keterampilan dengan kearifan untuk menumbuhkan harmonitas: artistika, estetika, dan etika, merawat daya hidup kreatif berbasis sains dan tenologi, dan tanggung jawab merancang peradaban lanjut.

Seni instalasi dan visual sebagaimana karya Aidil, ini juga dapat menjadi medium untuk mempertemukan jargon politik, realitas eksisting, dan imajinasi hari esok. Karena gagasan kreatif dan inovatif, eksekusinya mesti memacu dan memicu realitas kehidupan yang berkeadilan.

Dalam konteks inilah karya-karya semacam karya instalasi Aidil dan perupa lainnya dalam Jakarta Provoke 2025, ini mesti dimaknai sebagai simpul kesadaran menghidupkan seni sebagai generator partisipasi khalayak. Imajinasi seniman pantas menjadi referensi dalam mengendalikan obsesi politik yang akan berdampak pada kehidupan kemudian secara berkelanjutan.

Seni (dalam keragaman medium, saluran, formula, dan platform) terbabit dengan partisipasi kritis – kolektif – kolaboratif khalayak secara luas. Tak hanya dalam konteks telasi seni, gerakan sosial, dan representasi visual. Melainkan, jauh daripada itu. Berkaitan dengan paradigma penyelenggaraan atau tata kelola kehidupan (termasuk pemerintahan, pembangunan, dan pengembangan potensi khalayak), dari program centric ke peoples centric.

Dalam konteks karya instalasi Food Escape Aidil yang bertembung muka dengan proyek Food Estate bila hendak dihampiri dengan paradigma tersebut akan dapat memungkinkan terbangunnya kesadaran baru. Terutama dalam hal mengenali secara fokus dan jernih siapa tuan (rakyat) yang harus dilayani dan bagaimana aspirasinya.

Dengan begitu bakal diketahui program dan aksi apa yang mesti disiapkan untuk melayani khalayak yang berdampak secara sosio budaya dan politik : sejahtera berkeadilan. Agar penguasa tak ‘terkurung di luar, tak terhimpit di atas.’ Itulah sebabnya karya seni (tanpa kecuali karya yang interdisipliner) bermakna strategis dalam mencegah proses penghancuran nalar khalayak, melalui kesadaran ekologis, ekonomi, edukasi, politik, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam maklumat Akademi Jakarta (2022). Khasnya dalam penyelenggaraan hidup secara aidil (adil dan jujur).|

Posted in LITERA.