Gugahan Kompuisi Ganjar Kurnia untuk Yesmil Anwar

Ganjar membacakan puisi itu. Saya terhenyak dan beberapa kali menarik nafas. Khasnya, ketika membayangkan setiap pilihan terminologi, bahasa coding dengan bahasa litera yang biasa kita pakai dalam komunikasi, ungkapan nalar, naluri, nurani, dan rasa sehari-hari. // Persepsi dan asumsi, bahkan pemikiran tentang singularitas segera hadir di benak. Lantas menampakkan pertanyaan sederhana, “bagaimana penyair melayari transhumanitas” kala era digital menghadapkan manusia dengan artificial intelligent dengan artificial humanities. Sebagaimana halnya budayawan, pemikir, akademisi, penyair, dan seniman pada umumnya mesti bersiasat untuk tetap merawat dimensi kemanusiaan yang sejati.

Catatan Bang Sem

Selepas berobat di  Ban, Rabu (9/4/25) lepas tengahari, saya berkunjung ke salah satu unit gedung Universitas Padjadjaran (UNPAD) kampus Dipati Ukur, Bandung.

Beberapa saat, kala sedang duduk dan berbincang ringan dengan Arief Anshory Yusuf (Ketua Forum Guru Besar Indonesia 2021-2023, Ketua Dewan Guru Besar UNPAD, dan anggota Dewan Ekonomi Nasional), salah seorang staf kantor SDG’s  UNPAD memberitahu, Gandjar Kurnia (Rektor ke 10 UNPAD – 2007-2015 – akademisi dan budayawan yang amat peduli dan sangat serius memimpin Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda UNPAD) ada di ruangan lain.

Saya sambangi. Ketika itu, penerima Chevalier de l’Ordre des Palmes Académiques (2021), itu sedang berbincang dengan dua kawansembang (mitrawicara) -nya.

Perbincangan ihwal budaya (khasnya kecuali sastra – produk budaya) Sunda yang menghadirkan kecerdasan budaya masyarakat Sunda masa silam yang relevan dan pas konteksnya dengan kondisi kehidupan Indonesia kini.

Isyarat-isyarat zaman tentang kondisi kawung mabur carulukna (ancaman lost generation), gula leungiteun ganduan (penilaian persona tanpa parameter yang jelas), samak tingaleun pandanna ( artificial life dan fake life), kerusakan ekologi berdampak rusaknya ekosistem dan ekonomi, dan penyebab utamanya: merosotnya kualitas pemimpin spiritual dan moralm, serta hilangnya kepercayaan rakyat terhadap petinggi negeri dan kaum intelektual.

Di zaman ketika banyak orang menyoal perihal artificial intelligent, society 5.0 dan era digital, dengan mengabaikan ancaman artificial humanities, tetiba Ganjar bertanya perihal Yesmil Anwar.

Ganjar Kurnia | semhaesy

Aku Sesak

Sekejap kami menyebut buku puisi Yesmil, Tuhan Beri Aku  Tahun. Puisi tersebut sangat apik dibacakan oleh aktor – deklamator Sis Triadji. Puisi kontemplasi tentang masa dan seluruh kisah dan dimensi kehidupan hakiki di dalamnya.

Lantas kami membayangkan, di tengah gebalau kehidupan kini, boleh jadi Yesmil dengan perenungannya yang khas — melankoli, melodius, dan memanjakan rasa —  bisa tertatih di lorong katastrop.

Ganjar membuka bimbit (smartphone) di tangannya. Dia menjelaskan, menulis puisi spontan tentang kemungkinan tersebut. Ia sengaja memilih idiom dan terminologi dunia digital. Ia niatkan menjadi salah satu puisi dalam pumpunan puisi yang mesti diterbitkan dalam buku puisi.

Puisi dengan fungsionalisasi semiotika sebagai cara komunikasi khas era digital yang berbalur simbol dan dan konseptual, mementas makna dalam konteks. Antara realitas dengan beragam persepsi dan asumsi. Saya menyebtnya “kompuisi,” puisi sarat bahasa komputasi.

Puisi yang menggambarkan kepengapan di ruang hidup dalam lorong katastrop diberinya tajuk Aku Sesak (Teruntuk Yesmil Anwar). Begini puisi itu berbunyi:

Tubuhku adalah folder, / dikompresi harapan, / disisipkan emoji sedih, / disimpan dalam direktori: “manusia_resah.”/

Aku berjalan bagai aplikasi yang sering crash / Membuka dan menutup program / yang tak kompatibel dengan sistem operasi batinku.//

Tangisku adalah hasil rendering, / senyumku, proses verifikasi dua langkah. / Kulitku hanya interface. / Tak ada rasa yang benar-benar rasa,.//

Layar batinku, / wajah visual datar tanpa tekstur  / tanpa kedalaman / Aku unggah diriku setiap hari / file aslinya tidak dihapus, / kadang dilupakan,  / dikubur di recycle bin memori//

Tubuhku menjadi avatar tanda tanpa asal, / sekadar pixel dan metadata, / nama tanpa makna, / ikon basa-basi.//

Ketika aku tertidur, / aku tidak sedang bermimpi, / hanya loading screen tanpa ujung.//

Aku bukan siapa-siapa. / Aku bukan yang dulu. / Aku hanya versi narasi — yang tak pernah selesai diunggah. //

Tubuhku,  / simulasi yang berjalan otomatis, / script yang lupa cara berhenti / atau bug yang dibiarkan hidup.//

Nafasku, / kapasitas penyimpanan hampir penuh. / Log-log emosi tak pernah diarsipkan, / cache rasa sakit tidak bisa dibersihkan. //

Aku sesak. (2025)

Yesmil Anwar. Keluar dari pengap sesak dengan pemikiran kritis | ill. semhaesy

Kelangan

Ganjar membacakan puisi itu. Saya terhenyak dan beberapa kali menarik nafas. Khasnya, ketika membayangkan setiap pilihan terminologi, bahasa coding dengan bahasa litera yang biasa kita pakai dalam komunikasi, ungkapan nalar, naluri, nurani, dan rasa sehari-hari.

Persepsi dan asumsi, bahkan pemikiran tentang singularitas segera hadir di benak. Lantas menampakkan pertanyaan sederhana, “bagaimana penyair melayari transhumanitas” kala era digital menghadapkan manusia dengan artificial intelligent dengan artificial humanities. Sebagaimana halnya budayawan, pemikir, akademisi, penyair, dan seniman pada umumnya mesti bersiasat untuk tetap merawat dimensi kemanusiaan yang sejati.

Tak hanya itu. Bagaimana pula para ilmuwan mesti memainkan peran sebagai subyek atas kecakapan sains dan teknologi dengan kreativitas, inovasi, dan invensi yang bergerak sangat cepat.

Kala beberapa waktu kemudian berjumpa sekejap dengan Endang Caturwati – guru besar ilmu pertunjukan dan Zuzy Anna – guru besar ilmu ekonomi sumber daya perikanan, saya merasa dalam bentuknya yang lain, kegelisahan dalam puisi Ganjar nyaris similiar dengan kegelisahan dalam karya tari Endang (Kelangan).

Ketika menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar (8/11/19) Zuzy dalam pandangan keilmuan yang berbeda mengisyaratkan tibanya masa kegelisahan itu.

Ganjar Kurnia. “Aku Sesak” gugahan penuh makna mencumbui zaman digital | dok. semhaesy

Dimensi Kedalaman Manusia

Zuzy mengungkapkan, zaman terus berubah dan memberikan tantangan-tantangan baru, karena begitu banyak persoalan baru yang juga muncul ke permukaan sebagai realitas kehidupan yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Untuk menjawab tantangan tersebut, tak cukup hanya gagasan-gagasan baru dengan beragam inisiatif besar. Pandangan-pandangan baru yang kritis dan berkaitan langsung dengan solusi terkait dengan rancang kebijakan negara, juga sangat diperlukan.

Puisi khas Ganjar kepada Yesmil, “Aku Sesak” boleh jadi juga pesan, agar sebagai kriminolog dan intelektual, Yesmil mesti terus merawat dan mengembangkan kekuatan berpikir kritis dan luah nuraninya dalam merespon singularitas.

Pada malam, sebelum meninggalkan Bandung, saat berbincang dengan Rizky Maulana Yanuar, dosen muda antropologi sosial UNPAD yang juga film maker dokumenter yang kritis perihal ekologi dan ekosistem sosial, saya menemukan apa yang kudu dilakoni di zaman yang bertransformasi cepat ini.

Agar tak terjebak dalam pengap dan mewawar “Aku Sesak” di tengah singularitas dan tantangan melayarani transhumanitas, budayawan, ilmuwan, dan siapa saja perlu mengenali lebih fokus dan jernih, siapa sungguh manusia zaman digital kini. Apa pula focal concern dan driving forces sosio budayanya.

Intinya jangan lelah merawat dan mengembangkan dimensi kedalaman manusia di tengah cepatnya perkembangan sains dan teknologi dan di tengah kegamangan dunia.. termasuk perang dagang yang sedang mengguncang. Aku (tak mau) sesak!, termasuk menghadapi realitas yang ngilu !! |

Posted in LITERA.