Bagi saya — sebagai pembaca — artikel tersebut laksana santapan ruhani penguat kuliah subuh di hari pertama bulan Ramadan 1446 H. Isinya bukan hanya luah pemikiran dan pendapat kritis, cerdas sekaligus jenaka. Melainkan ekspresi sikap lugas warga bangsa yang lantang menyatakan, “Panen paradoks saatnya disetop. Hari ini saatnya menanam sebuah harapan.”
Nota Alit Bang Sém
Artikel opini Butet Kartaredjasa bertajuk Panen Paradoks (Kompas, Sabtu, 1 Maret 2025), layak dan patut dibaca oleh siapa saja yang konsisten dan konsekuen berkomitmen pada kewarasan berbangsa dan bernegara.
Butet menempatkan kewarasan kita pada posisi yang tepat, sehingga berjarak dan secara obyektif dapat melihat realitas pertama dan realitas kedua kehidupan kita secara proporsional.
Lebih jauh dari itu, Butet juga menempatkan realitas pertama yang hadir dan dipertontonkan oleh para petinggi di panggung-panggung politik yang getir, masam, dan pahit, setanding dan sesanding dengan realitas kedua di panggung hiburan dan seni (lawak, teater, monolog).
Butet memantik kesadaran kita sebagai penonton atas berbagai peristiwa dan lakon di panggung realitas pertama kehidupan dan realitas kedua ‘kehidupan,’ untuk menjadi subyek yang jeli, kritis, dan cerdas.
Juga, boleh — secara independen — bereaksi spontan untuk melihat, bagaimana panggung realitas pertama – kenyataan hidup sehari-hari lebih banyak menyeret kita ke apung ilusi remang dan terperosok kubangan fantasi gelap. Akibatnya, menghambat khalayak, rakyat, memformulasikan imajinasi (yang dapat menjadi pijakan visi) masa depan bangsa.
Tak bisa dipungkiri kenyataan, khasnya, bagaimana para petinggi mengambil keputusan berdasar intuitive reason, ketika khalayak (rakyat secara luas) sedang berharap mereka menunjukkan cara keluar dari remang dan gelap.
Kawicaran (retorika) para petinggi di panggung-panggung politik yang lantas didiseminasikan media (arus utama dan sosial), laksana ‘sabda tanpa makna, tanpa daya,’ menguap dan lenyap Sekadar hamburan kata pemantik keanehan. Jauh kata dari perbuatan.
Santapan Ruhani
Di tengah berbagai isu mutakhir penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang terkesan trial and error, serta isu berbagai kejahatan korupsi yang merugikan negara ratusan triliun, artikel Panen Paradoks Butet tersebut, sangat bermakna.
Bagi saya — sebagai pembaca — artikel tersebut laksana santapan ruhani penguat kuliah subuh di hari pertama bulan Ramadan 1446 H. Isinya bukan hanya luah pemikiran dan pendapat kritis, cerdas sekaligus jenaka. Melainkan ekspresi sikap lugas warga bangsa yang lantang menyatakan, “Panen paradoks saatnya disetop. Hari ini saatnya menanam sebuah harapan.”
Melalui artikel tersebut, Butet sedang melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai seniman sebagai pelantang sikap kritis khalayak (rakyat).
Ia juga sedang mewujudkan tanggung jawab budaya seniman, menghidupkan kesadaran kritis seluruh elemen (anasir) warga negara dan warga bangsa (sebagai pemilik kedaulatan) untuk tak mudah ditekuk pragmatisma politik.
Sebagai khalayak (konsumen media) saya memaknai artikel Butet — sebagaimana halnya artikel Sukidi dan Bivitri — merupakan penanda, masih ada santapan segar yang disediakan oleh media massa, khasnya media arus utama.
Artikel-artikel figur prominen semacam artikel Butet, Sukidi, Bivitri — juga yang lain — tersebut, sangat diperlukan. Setidaknya sebagai ‘penerang’ saat melintasi jalan setapak, menembus belukar yang gelap. |
