Pengelola bandara (khasnya berkelas internasional) di Indonesia dalam praktek tata kelola sehari-hari penting menguatkan kesadaran tentang kemuliaan melayani. Layanan yang tak sekadar mengikuti standar prosedur operasional korporat belaka. Tanpa kecuali, terutama, hal ini berlaku bagi petugas maskapan penerbangan. Khasnya yang kerap dijuluki sebagai maskapai selalu telat (delayed air services), yang kerap membuat pengguna jasa penerbangan kesal dan marah.
Catatan Bang Sém
Bandar udara (bandara) tak lagi hanya terminal transportasi udara. Ketika menulis bersama buku tentang bandar udara internasional I Gusti Ngurah Rai – Denpasar, Bali dan Bandar Udara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, Balikpapan Kalimantan Timur, saya sepakjat untuk memilih persepsi bandara sebagai sentrum budaya.
Pembangunan terrminal baru bandara internasional tersebut berangkat dari perubahan asasi geo ekonomi, geo politik, dan transformasi budaya meliputi seluru aspek. Termasuk keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan kemanusiaan.
Tommy Soetomo, Direktur Utama Angkasa Pura I ketika itu, memandang secara multi dimensi, dari aspek teknik dan teknologi dengan pendekatan saintifik, artistika, estetika, dan etika dengan titik berat pada layanan utama kepada manusia pengguna bandar udara.
Sebagai benchmark, masing-masing penulis berkontribusi untuk memilih bandara internasional di beberapa negara, sesuai dengan pengalaman, sehingga titik pandang, sudut pandang, dan cara pandang penulisan terintegrasi, kaya, dan dapat melihat proses pembangunan dan hasilnya secara komprehensif.
Saya memilih bandara Incheon – Korea Selatan, Changi – Singapura, Kuala Lumpur International Airport – Malaysia, Charles de Gaulle Airport – Perancis, Dubai International Airport – Uni Emirat Arab, Kansei dan Haneda Internatiopnal Airport – Jepang, dan King Abdul Azis International Airport – Saudi Arabia.
Dari pertemuan pengalaman para penulis (almarhum Hadi M. Djureid, Asro Kamal Rokan, dan saya) kami memilih topik Gelombang Transformasi untuk bandar udara internasional I Gusti Ngurah Rai dan Lompatan Kalimantan untuk bandara internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan – Balikpapan. Kami berdiskusi langsung dengan sejumlah nara sumber, mulai dari pengguna dan komunitas bandara, Bupati, Walikota, Gubernur, Perancang – Arsitek – Kontraktor, Kesultanan Kutai Kartanegara, Manajemen Bandara, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, sampai masyarakat sekitar bandara.

Patung Gajah di Yogyakarta International Airport | bangsem
Sentrum Budaya
Bandara sebagai sentrum budaya yang mesti mencerminkan tingkat perkembangan peradaban masyarakat – bangsa, akhirnya bertumpu pada satu titik yang mempertemukan akhir dan awal tata kelola bandara, yakni kemuliaan melayani seluruh anasir bandara. Tak hanya terkait dengan ketepatan dan kecematan, juga efektivitas dan efisiensinya.
Kami berbincang dengan beberapa posikolog untuk mengenali dinamika suasana psikologis konsumen transportasi udara, pengguna bandara, sejak dari rumah sampai ke terminal tujuan. Termasuk menghitung lama waktu fase stress sejak meninggalkan rumah, tiba di lobi bandara, konter check in, konter imigrasi keberangkatan (untuk penerbangan internasional), boarding lounge, garbarata, kabin pesawat, garbarata, konter imigrasi ketibaan, baggage reclaim, dan lobi luar terminal (termasuk areal parkir). Tanpa kecuali, juga mempertimbangkan titik kumpul dan keluar pengguna bandara dalam situasi darurat.
Dalam konteks demikian, desaain pembangunan terminal bandara, mesti mempertimbangkan ruang-ruang katarsis pengguna bandara, yang dapat menurunkan stress dan tekanan bioritme – terutama pada penerbangan tengah malam. Mulai dari ruang setelah konter imigrasi keberangkatan (untuk terminal internasional) sampai boarding lounge.
Biasanya zona inilah atau zona selepas konter check ini menjadi zona komersial. Zona ini dikondisikan sedemikian rupa menjadi bagian dari zona bandara dengan fokus pada aksesibilitas — ermasuk eskalator, transkalator, lift, juga buggy car (khas untuk kalangan pengguna bandara berusia lanjut), hospitalitas – pengalaman nyaman pengguna bandara, modernisasi ruang udara, dengan berbagai perangkat produk kemajuan teknologi.
Di beberapa bandara internasional, seperti Incheon, ruang katarsis – selain berisi duty free juga menghadirkan performa seni – sesuai dengan aesthetic value yang diutamakannya. Akan halnya Changi, ruang katarsis sungguh menjadi penyegar batin dan rasa dengan pendekatan ekologis.
Ruang-ruang katarsis demikian menjadi penting, tak hanya untuk mengatasi tekanan psikis ketika terjadi penerbangan tunda – perubahan jadual akibat teknis penerbangan (antara lain cuaca).

Dua pesawat di salah satu sudut zona aero di Bandara Ngurah Rai | dok. bangsem
Pusat Jaringan Global
Manajemen bandara internasional di berbagai negara teguh berpegang pada prinsip, bandara merupakan pusat jaringan global ini, yang berperan penting dalam memfasilitasi pergerakan orang dan barang. Sekaligus berkontribusi secara signifikan terhadap vitalitas ekonomi negara dan kawasan.
Tata kelola bandara dengan titik berat pada kelancaran operasi, kenyamanan, dan keamanan yang efisien untuk memastikan kelancaran arus pengguna dan melindungi mereka dari berbagai ancaman yang terus berkembang di tengah kegamangan dan kompleksitas dunia.
Hal tersebut memberikan gambaran, bahwa dalam hal pembangunan bandara (apalagi berkelas internasional) tidak berhenti hanya pada luas dan indahnya bangunan infrastruktur tersebut. Pembangunan bandara, selain mesti mempertimbangkan perubahan iklim, yang menuntut perlunya asasi keberlanjutan. Juga bagaimana mendahulukan manusia pengguna dan mengutamakan layanan.
Dalam konteks inilah, pengelola bandara harus terus melakukan inovasi layanan dalam memberikan pengalaman kepada penumpang dan menerapkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi operasional, meningkatkan kapasitas, dan memberikan pengalaman yang lancar. Maknanya adalah menempatkan pengguna bandara yang mampu menghasilkan sukacita, karena akan berkaitan dengan kiat menganggit peningakatan belanja mereka selama di bandara.
Sebulan lalu, di bandara Sultan Hasanuddin – Makassar, pada penerbangan transit dari Jakarta menuju Ambon, pada penerbangan pagi hari, saya mengalami layanan baik dari petugas yang sigap. Petugas tersebut paham, bagaimana mesti melayani penumpang selepas subuh setelah berjalan lumayan jauh dari konter check in ke boarding lounge.
Hal ini berbeda dengan pengalaman lain yang tak berjauhan waktunya di Yogyakarta International Aiport pada waktu yang selepas maghrib. Tak ada petugas di tempat layanan buggy car. Akibatnya pengguna bandara, terutama lansia mesti mengikuti alur yang sengaja dibuat berliku untuk kepentingan melintasi zona komersial. Celakanya, pesawat delayed pula, sehingga mesti menunggu di kedai sampai kedai itu tutup.

Suasana di zona komersial salah satu sudut terminal Dubai International Airport | dok. bangsem
Kemuliaan Melayani
Setiap kali memberikan pelatihan termasuk bimbingan teknis tentang layanan bandara, sejak beberapa tahun lalu, dalam hal kemuliaan melayani, petugas bandara mesti mengacu kepada nilai korporasi. Khasnya tentang meningkatkan nilai pemangku kepentingan (stake holders).
Kata kuncinya adalah sinergi – kolaborasi yang harus dilakukan terus menerus untuk menyamakan kesadaran dan frekuensi kerja. Lalu adaptif dengan perkembangan masa dan perubahan kepeluan pengguna bandara, terampil dan tangkas dalam merespon keperluan pengguna – sekurang-kurangnya sampai tercapai kepuasan minimal. Ketiga hal tersebut merupakan faktor dan anasir pening keunggulan layanan.
Melayani pengguna bandara adalah kemuliaan, bukan beban. Karena melayani yang dipahamkan sebagai aksi memenuhi keperluan pengguna bandara yang dilakukan dengan kesadaran melayani manusia, dari aspek spiritual akan memperkaya pengalaman sekaligus batin.
Melayani manusia laksana melayani diri sendiri atau orang-orang terkasih. Kesadaran ini akan menganggit sukacita dan kegembiraan. Terkait dengan hal ini, maka sentuhan kemanusiaan: keakraban, keramah-tamahan — tanpa kehilangan harga diri — menjadi utama. Produk layanannya adalah rasa nyaman dan aman dalam hubungan antara pengguna dengan petugas. Karenanya pengetahuan lintas budaya menjadi sesuatu yang penting dipahami oleh setiap petugas bandara.
Di berbagai negara, petugas bandara menempatkan layanan sebagai aksi kemuliaan yang dibangun oleh budaya kerja berbasis kesadaran, antusiasime, membangun simpati – empati – apresiasi yang memadukan nalar, nurani, dan rasa, membangun penghormatan, dan cinta profesi sehingga menempatkan pengguna bandara (pelanggan) sebagai subyek.
Pengelola bandara (khasnya berkelas internasional) di Indonesia dalam praktek tata kelola sehari-hari penting menguatkan kesadaran tentang kemuliaan melayani. Layanan yang tak sekadar mengikuti standar prosedur operasional korporat belaka. Tanpa kecuali, terutama, hal ini berlaku bagi petugas maskapan penerbangan. Khasnya yang kerap dijuluki sebagai maskapai selalu telat (delayed air services), yang kerap membuat pengguna jasa penerbangan kesal dan marah. |
