Butet Mengubah Marah Menjadi Energi Artistik dan Estetik

Karena Butet Kertaredjasa juga berprofesi sebagai penulis, setiap tajuk karyanya punya daya yang memandu penikmat karyanya menangkap pesan yang hendak disampaikannya. Tajuk tersebut baru dituliskannya jelang pameran, empat tahun setelah ia bergumul dengan karyanya. Yang membedakan dengan banyak perupa lain, karya-karya yang dipamerkan BK juga merupakan medium komunikasi visual yang kaya dengan simbol. Inilah agaknya yang mengusik sejumlah kalangan, datang ke pameran (bahkan berulang kali) dengan niat khas ingin mendapatkan energi estetik itu. Tanpa kecuali anak-anak remaja dari generasi Z yang datang, mengapresiasi dan pulang dengan impresi sesuai tafsirnya masing-masing.

Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

Layar hitam dalam ukuran besar di antara dua pilar Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Di tengahnya tampak gambar dan kalimat, “Melik Nggendong Lali” dengan warna kuning keemasan.

Di sebaliknya, dalam gedung, Butet Kartaredjasa (BK) memamerkan karya senirupa-nya dalam beragam format dan formula, mulai dari instalasi sampai sketsa laiknya wafak dan rajah. Pameran karya BK dibuka sejak Kamis (25/4/2024) hingga Sabtu (25/5/2024).

Masuk ke ruang pamer, pengunjung disambut instalasi sesosok orang berkecak pinggang dalam ukuran besar berwarna hitam, wajahnya dengan hidung panjang dengan kuning keemasan, mendongak. Di latar belakang, tiga rajah dengan latar merah putih, berbentuk vertikal bertuliskan tajuk pameran, “Melik Nggendong Lali” dipasang berjajar.

Impresi pertama yang diperoleh dari sosok patung berbahan fiber itu, adalah ekspresi kemunafikan – ambivalensi penguasa yang menutup sifat dan sikap pongah, jumawa, congkak — karena kekuasaan — dengan kesahajaan.

Mendamba kekuasaan secara berlebih, membuat manusia menggendong lupa hakikat dirinya sebagai manusia yang mesti ikhlas legowo, qana’ah dalam hidup. Kekuasaan itu terbatas dan berbatas | semHaesy

Dengan pencahayaan yang pas, sosok patung itu seketika memberikan kesan pertama ekspresi satire khas BK merespon situasi dan kondisi politik kontemporer yang diselimuti isu-isu topikal mutakhir.  BK membebaskan setiap pengunjung mendapat kesan masing-masing atas sosok patung tersebut. Karena setiap orang mempunyai kemerdekaan sendiri-sendiri untuk menafsirkan karyanya.

Di dinding sebelah kanan, puluhan sketsa a la wafak dan rajah disusun dengan komposisi menarik, menghadirkan beragam bentuk, menyerupai vignet, bertuliskan nama aslinya: Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa. Sketsa wafak – rajah itu dikerjakannya setiap malam, selama 90 hari tanpa henti, yang menuntut kesabaran dan konsistensi hingga khatam. BK menyebutnya sebagai ekspresi wirid. Tentang karya spiritualnya ini, ia juga membebaskan penikmat karyanya termasuk para spiritualis yang datang ke pamerannya.

Wirid visual berupa perenungan spiritual, laiknya do’a mewujud manutiras untuk kebaikan sekaligus ungkapan rasa syukur terlepas dari derita sakit yang semula bersifat sangat personal | semHaesy

Laku Spiritual

Kurator pameran, Asmudjo J. Irianto dalam pengantar pameran menulis, karya-karya BK yang dipamerkan memang diawali oleh laku spiritual penulisan nama berulang-ulang pada secarik kertas. Sesuatu yang dilakoni untuk memicu energi semesta untuk mendapatkan kebaikan dan keberuntungan dalam hidup. Laiknya do’a yang memberi sugesti personal.

Wirid visual itu, menurut catatan Irianto, didapatkan dari ajaran mendiang Arkand Bodhana Zeshaprajna (1971-2020), pakar metafisika yang memilih Nusantara untuk nama ibu kota baru di Kalimantan. Wujudnya adalah manutiras. Menuliskan nama berulang-ulang setiap hari.

BK, tak seperti kebanyakan orang yang melakukan wirid – do’a secara lisan. Dia melakukannya secara visual dengan menulis namanya yang mengikuti irama hatinya berbentuk apa saja, termasuk orang dan hewan (anjing, harimau, garuda, kuda) dan lainnya. Dengan cara itu, BK mempertemukan dimensi spiritual dengan material, batiniah dengan lahiriah, metafisik dengan fisik. Hasilnya, karya seni rupa yang artistik dan estetik.

Sosok patung yang ‘menyambut’ pengunjung pameran melambangkan sosok penguasa dengan sikap jumawa, congkak, dengan ekspresi kemunafikan. Karya instalasi ini mengingatkan siapa saja untuk mawas diri dan tahu diri |semHaesy

Dalam bilik di luar ruang pameran, kala ngobrol dengan saya BK bercerita banyak hal tentang bagaimana mengelola kemarahan menjadi energi kretaif, artistik, estetik, dan dilakukan dengan ikhlas, tanpa pretensi. Tak pernah diduganya, proses spiritual sebagai ungkapan rasa syukur karena tersembuhkan dari sakit yang menyiksa, itu justru bernilai ekonomi. Sesuatu yang menjadi bagian dari warisan materi dan immateri bagi keluarga, terutama anak-anaknya. Termasuk aplikasi wafak – rajah dan media rupa lainmnya, itu ketika diubah menjadi merchandise, artwork, dan lain-lain. Sesuatu yang menjadi bagian dari jejak perjalanan hidup.

Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri yang datang berkunjung (Senin, 13/5/2024) tidak keliru ketika menyebut karya-karya seni rupa BK yang dipamerkan itu menggambarkan sang seniman ‘mengalirkan kemarahannya dengan sangat artistik, dengan luwes, dengan sebuah kreativitas dan imajinasi.”

Saya beroleh kesan, semua karya yang dipamerkan sebagai manifestasi ekspressif kemerdekaan dan kedaulatan pribadi BK, mengubah marah menjadi energi estetik yang positif. BK memilih medium wafak – rajah, screen grafis, lukisan, keramik, sculpture keramik dan logam untuk berekspresi dan memilih pamflet terkait dengan situasi sosial politik yang dicermatinya.

Hal menarik yang saya cermati dalam konteks penggunaan medium pada karya kreatifnya, BK menggunakan fitur-fitur produk budaya digital dan menempatkannya hanya sebagai alat ekspresi. Ketika banyak orang berubah habitusnya oleh aplikasi budaya digital sebagai ‘asu’ atau ‘uasuwoook’ atau khayawan an nathik (hewan yang berakal) bagi penguasa – kekuasaan lantas hanyut di dalamnya. BK tetap menempatkan (dan mengendalikan) produk budaya digital sebagai alat menjalankan hidup berkebudayaan.

Pemikiran Kritis

Pilihan tajuk “Melik Nggendhong Lali” — salah satu filosofi Jawa — yang mengandung isyarat, bahwa manusia yang mendamba sesuatu secara berlebihan, dia akan menggendong alpa terhadap hakikat dirinya. Sekaligus menginmgatkan, hal sedemikian (ambisius, antara lain) akan membuat siapa saja mengabaikan prinsip iklas lila legawa, qana’ah dalam menelusuri realitas kehidupan ke ujung kehidupan yang baik dan indah.

BK, secara tak terkatakan, terasa mengingatkan siapa saja untuk melakoni prinsip-prinsip ‘urip iku urup’ – kehidupan yang bernilai manfaat luas bagi banyak manusia lain. Lantaran hidup adalah perjalanan ‘sangkan paraning dhumadi’ – siklus hidup memelihara secara konsisten dan konsekuen kebaikan dan kebajikan. Beranjak dari kejujuran sebagai salah satu nilai inti hidup manusia.

BK juga menginsafi, rangkaian wafak – rajah yang diekspresikannya ke dalam berbagai medium itu, bagian dari konsistensinya menjaga kesadaran atas ‘jejak perjalanan hidup’ yang sudah dilakukannya sejak lama. Setidaknya, sejak dia ‘mengabadikan’ sobekan wesel honor tulisan di setiap penampang anak tangga rumahnya.

Salah satu karya BK pada bagian kemudian dari fase spiritual wirid visual yang meluas ke pemikiran kritis atas realitas kehidupan, termasuk sosial politik mutakhir | semHaesy

Saya menangkap kesan sebagaimana dituliskan Irianto sebagai kurator, bahwa pada bagian lanjut – mutakhir karya yang dipamerkan, perluasan laku spiritual pribadinya tidak berhenti hanya pada daya kreatif dalam menghasilkan karya seni. Juga pada pengembangan pemikiran kritis BK dalam menyikapi realitas pertama kehidupan.

Tanpa kecuali, sosial politik. Tajam dan lugas BK mengekspresikap pemikirannya secara visual yang menggambarkan kemaruk duniawi, menghalalkan segala cara, kealpaan pada kearifan batiniah yang membiarkan nafsu berkuasa merajalela menguasai diri.

BK berhasil mengubah marah menjadi energi estetik, tanpa kehilangan konsistensinya menghadirkan satire sosial dan filosofi sebagai sesuatu yang ringan, cair, dengan  ekspresi ‘sampakan’ dalam bentuk lain.

Ekspresi pemikiran kritis atas situasi realitas pertama dalam kehidupan — khasnya sosial politik — yang tak terekspresikan dalam karya seni rupa dan teater — disalurkan BK ke dalam artikel opini. “Aku sudah menulis lagi,” cetusnya serius, tetap dengan gaya khas yang riang.

Karena BK juga berprofesi sebagai penulis, setiap tajuk karyanya punya daya yang memandu penikmat karyanya menangkap pesan yang hendak disampaikannya. Tajuk tersebut baru dituliskannya jelang pameran, empat tahun setelah ia bergumul dengan karyanya. Yang membedakan dengan banyak perupa lain, karya-karya yang dipamerkan BK juga merupakan medium komunikasi visual yang kaya dengan simbol. Inilah agaknya yang mengusik sejumlah kalangan, datang ke pameran (bahkan berulang kali) dengan niat khas ingin mendapatkan energi estetik itu. Tanpa kecuali anak-anak remaja dari generasi Z yang datang, mengapresiasi dan pulang dengan impresi sesuai tafsirnya masing-masing.

 

N. Syamsuddin Ch. Haesy, Penulis Waran

Posted in ARTESTA.