Sarnadi, doktor seni rupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta yang juga pensyarah seni rupa di Universitas Negeri Jakarta, itu memang kelahiran Simprug, 27 Agustus 1956. Dia sudah memamerkan karyanya di aneka galeri senirupa di berbagai kota Indonesia dan dunia, mulai dari Karya-karya Sarnadi tidak terjebak dalam pertanyaan laten seni Islami tentang dimensi artistik dan estetik, dengan mempertahankan kualitas dan kadensi teknik yang yang digerakkan dimensi etik. Terutama, ketika proses kreatif berkarya menjadi bagian dari ibadah. Khasnya ibadah bauran (ghairu mahdhah) berdimensi muamalah – relasi sosial – yang tak terpisahkan dengan esensi ibadah (mahdhah) – asasi. Karya-karya Sarnadi, membuka ruang dan wawasan bagi siapa saja penikmatnya untu menempatkan seni sebagai bagian dari ikhtiar mencapai kebahagiaan. Seni yang membuka ruang katarsis.
Nota Bang Sèm
Bermula dari perbincangan kecil, usai perhelatan Hajatan Betawi ke 3 (27-28 Agustus 2022) di Kampus Universitas Islam As Syafi’iyah, Jati Waringin. Kemudian berkembang sebagai gagasan yang kemudian menjelma sebagai aksi.
Sederhana saja gagasannya, yakni, menyediakan ruang unjuk karya bagi Maestro Pelukis Betawi, Sarnadi Adam di tanah kelahirannya sendiri, Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Sarnadi, doktor seni rupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta yang juga pensyarah seni rupa di Universitas Negeri Jakarta, itu memang kelahiran Simprug, 27 Agustus 1956. Dia sudah memamerkan karyanya di aneka galeri senirupa di berbagai kota Indonesia dan dunia, mulai dari Taman Ismail Marzuki – Jakarta, Singapura, Bandar Seri Begawan, Manila, Seoul, New York, New Jersey, Boston, Paris dan sejumlah kota kawasan Benelux (Belgia, Neteherland, dan Luxemburg) dan China. Amsterdam adalah kota pertama yang memberinya ruang untuk memamerkan karyanya (1999).
Pameran solo, berdua, dan bersama dengan sejumlah pelukis dan maestro pelukis lain pun sudah dilakoninya di berbagai tempat, baik galeri seni rupa, kampus, hotel, maupun Islamic Center. Namun, diaa nyaris belum pernah pameran di masjid kampungnya sendiri.
Adalah KH Jaelani – tokoh Betawi asal Simprug — pimpinan Dewan Kemakmuran Masjid As Sa’adah, masjid tertua di kawasan elite simprug Golf, yang dibangun pada era perjuangan kemerdekaan. Ulama lulusan Universitas Al Azhar – Mesir, ini mengajak sejumlah kolega, seperti Sarnadi Adam, H. Chevy Rasyid, H. Rozali, H. Basir Bustomi, saya dan beberapa teman lain, memakmurkan masjid sebagai sentra komunitas di tengah pusaran besar perubahan era.
Posisi masjid ini memang strategis, berada di tengah kawasan elite Kebayoran Baru, Senayan, Permata Hijau, serta hanya ‘sepelemparan batu’ dari Senayan City dan lapangan Golf Senayan.

PALANG PINTU. Salah satu lukisan Sarnadi Adam yang mengekspresikan budaya Betawi yang memadu padan seni silat, pantun, dan sikke yang islami | dok. eCatri
KH Jaelani memberikan gambaran tentang masjid sebagai pusat ibadah sekaligus pusat peradaban tempat berlangsung proses kesadaran kultural yang menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, dan pengembangan kesadaran nurani khalayak menciptakan kehidupan damai dan membahagiakan. Masjid As Sa’adah memberikan ruang bagi pengembangan seni budaya (termasuk seni silat tradisi), pelatihan kewirausahaan, kepemimpinan, dan penelitian budaya Betawi sebagai core.
Masjid As Sa’adah – Simprug, dalam gagasan bersama, diharapkan juga menjadi sentra untuk menghimpun potensi yang terserak, sehingga terpumpun dalam persatuan potensi yang lebih bermanfaat bagi khalayak. Kesadaran yang digerakkan secara antusias dalam menghidupkan simpati, empati, respek, ukhuwah dan mahabbah.
Laksana ‘sirih ketemu gagang,’ gagasan yang dilontarkan KH Jaelani bersambut. Sarnadi Adam dan KH Jaelani menginisiasi pameran lukisan karya-karyanya. Apalagi karya-karya lukisan dalam berbagai format dan ukuran, merupakan ekspresi budaya Betawi dalam pengertian makro, sekaligus ekspresi sosiologis dan atropologis kaum Betawi. Pameran dibuka tanggal 15 Oktober 2022 petang – pukul 15.00 – ba’da Ashar, dan digelar sampai 23 Oktober 2022.
Sebagai bagian integral dari kaum Betawi, Sarnadi telah menempuh dua pencapaian dan kontribusi gaya yang berlabuh (ke kanvasnya), kemudian mengungkapkan kecenderungan, yang berdasarkan norma gerakan artistik,estetik, dan etik dengan padu padan teknik mimesis Tintoretto dan teknik komposisi Malevich.
Meminjam istilah Masmoulin, karya-karya lukis Sarnadi dengan ‘ruh Betawi’-nya, menghadirkan kecenderungan yang meneranginya sebagai seniman dengan kearifan kreatif.
Sarnadi merdeka berekspresi dan berdaulat atas gagasan yang dituangkan dalam karyanya, namun secara implisit ‘memagari’ diri untuk mengekspresikan representasi dunia, subjek, kondisi, dan dinamika manusia. Dengan teknik dengan teknik dan cara melukisnya, Sarnadi menghadirkan kaum Betawi dengan membuka ruang bagi penikmatnya, menghidupkan apresiasi terhadap terhadap budaya kaum Betawi yang religius Islami, guyub, kosmopolit, dan egaliter. Maknanya, Sarnadi menghadirkan esensi seni Islami yang modern dalam teknik dan saintifik.

WARUNG NASI UDUK. Salah satu lukisan Sarnadi Adam tentang wajah perkampungan Betawi tempo doeloe | dok.eCatri
Karya-karya Sarnadi tidak terjebak dalam pertanyaan laten seni Islami tentang dimensi artistik dan estetik, dengan mempertahankan kualitas dan kadensi teknik yang yang digerakkan dimensi etik. Terutama, ketika proses kreatif berkarya menjadi bagian dari ibadah. Khasnya ibadah bauran (ghairu mahdhah) berdimensi muamalah – relasi sosial – yang tak terpisahkan dengan esensi ibadah (mahdhah) – asasi. Karya-karya Sarnadi, membuka ruang dan wawasan bagi siapa saja penikmatnya untu menempatkan seni sebagai bagian dari ikhtiar mencapai kebahagiaan. Seni yang membuka ruang katarsis.
Karya-karyanya tentang alam dan lingkungan sosial kehidupan sehari-hari, berjarak dengan seni islami — semacam kaligrafi (khat) dan ornamen reka bentuk gaya Arabia atau Persia. Namun tetap membuka introduksi tentang Betawi sebagai ekspresi peradaban yang kosmopolit dan multi-kultural.
Karya-karya Sarnadi mengikuti garis halus antara seni makro dan seni mikro dalam konteks artistika dan estetika spiritual, bahkan menjembatani ruang ekspresi pada Seni Rupa sebagai bagian dari praktik kehidupan yang selaras dan sesuai dengan ajaran agama. Khasnya, ketika agama dipandang sebagai ad dhien – cara hidup – yang vital mengatur kehidupan manusia. Termasuk padan sinkretik antara agama dan budaya (terutama Betawi sebagai ekspresi budaya tempatan).
Pada beberapa karyanya dengan teknik tertentu, Sarnadi bahkan memberi ruang kemungkinan bagi koneksi antara karya seni rupa dan seni kriya sebagai seni minor (seperti Batik Betawi) yang bertalian dengan ekonomi budaya.
Dalam karya-karyanya, Sarnadi mengambil jarak dengan iluminasi yang cenderung pada seni grafis. Ia konsisten dengan frame work dan proses kreatif seni lukis — dengan beragam teknik — dengan kesadaran memenuhi dahaga spiritual di tengah dinamika kehidupan yang kompleks.
Saya membayangkan, dengan pameran lukisan Sarnadi Adam, suasana Masjid As Sa’adah – Simprug Golf, seperti yang pernah berlangsung di Masjidul Islam di Fort Kochi – Kerala, India. Masjid ini mempunyai ruang ruang hibrida – galeri seni modern. Galeri tersebut dikunjungi jama’ah selepas salat Jum’at. Tak hanya pameran lukisan yang digelar di ruang galeri itu, melainkan juga karya-karya fotografi dan seni bangunan – arsitektur.

MASJID AS SA’ADAH. Salah satu Masjid Tua di bilangan Simprug Golf, Jakarta Selatan, tempat pameran lukisan Sarnadi Adam.| dok. khas
Mengacu kepada gagasan KH Jaelani, ruang serbaguna di Masjid As Sa’adah akan dikelola sebagaimana ruang yang seperti kebanyakan ruang serbaguna masjid yang dipergunakan untuk walimah pernikahan semata.
Di ruang-ruang tersebut, diharapkanterselenggara berbagai aktivitas untuk pelatihan hafidz-hafidzah, qari-qari’ah, apresiasi sastra islami, model komunikasi dakwah dan pelatihan jurnalistik islami, termasuk pengembangan wawasan budaya Islami lainnya. Boleh jadi, bisa juga menjadi ruang yang sangat kreatif seperti yang berlaku di Cambridge Centre Mosque.
Dalam kajian Budaya Betawi, telah dikomunikasikan dengan Prof. Dr. Dailamy Firdaus untuk menjalin kolaborasi dengan Pusat Kajian Betawi Universitas Islam As Syafi’iyah. Dalam hal pameran yang dimulai dengan Sarnadi Adam, juga terbuka ruang kolaborasi dengan berbagai kalangan. Kolaborasi itu diharapkan dapat juga menghadirkan pameran yang mengacu pada realitas kehidupan Islam di Indonesia. Khasnya pameran yang di satu sisi bermanfaat untuk intgrospeksi diri (muhasabah) dan mengembangkan pemikiran visioner tentang budaya Betawi dan Islam.
Esensinya adalah menghidupkan dan memakmurkan masjid sebagai ssentra komunitas dan budaya, sebagai lembaga sosiologis keumatan, serta Ruang Ketiga bagi warga di tengah kota yang sedang bertumbuh menjadi sungguh daerah khusus kelak. Selain sekolah dan sentra-sentra perdagangan, masjid harus menjadi tempat yang paling sering dikunjungi setiap anggota keluarga muslim untuk memetik benih-benih kebahagiaan di dunia, sebagai bekal kebahagiaan di akhirat.
Di masjid juga spiritualitas, keimanan, dan keilmuan terus disegarkan, dengan senantiasa menyegarkan silaturahim sebagai cara mewujudkan kolaborasi dan sinergi mewujudkan persatuan umat. Tak terkecuali untuk terus merawat dan menyegarkan kesalehan personal, serta kesalehan sosial berbasis akidah dan akhlak, sehingga terbangun ukhuwah berdimensi muamalah. Kehidupan sosial hasanah yang diidamkan.
Tentu, muaranya adalah mewujudkan keberadaan masjid di mana mata hati dan kehalusan akal budi disemaikan. Masjid-masjid harus ditinggikan fungsinya, tidak boleh ada pertengkaran dan hardikan di dalamnya. Kedamaian dan kebahagiaan memakmurkan masjid sebagai tempat berlangsungnya proses regenerasi kekuatan spiritual kita. Masjid taqwa, yang paling sering dikunjungi para malaikat, di mana kedamaian dan ketenangan turun atas mereka yang duduk di sana membaca dan mempelajari Al-Qur’an, dan mengamalkannya dalam beragam dimensi kehidupan yang membawa manfaat luas. Sekaligus sebagai melting pot orang-orang baik yang merancang dan menggerakkan kebaikan. |