H. M. Nasruddin Anshoriy CH [ GUS NAS ]
KALEIDOSKOP MIMPI
Pada sisa sepi di bulan Juli
kusantap senyap dan nyeri seorang diri
Ujung bulan ini laksana bara api
Kutemukan kematian di segala lini
Duka merajalela
melukai indahnya puisi
Mencederai ruang rindu
di relung jiwa
Remuk sudah mimpi indahku
Maafkan aku, duhai kata-kata
Sebab daulat cinta dalam tubuhmu
sudah kuperkosa atas nama gincu di bibir saja
Kunodai dengan kedangkalan iman berbedak fatwa
Kini riwayat sekaratku telah menjadi liur
mengucur dalam nyenyak tidurku
Menjadi mimpi karatan yang dingin
membeku dalam ranjang usangku
Maafkan aku, duhai mimpi
Di penghujung bulan Juli ini
hanya ada duri pada merah mawarmu
Rasa kantuk membusuk
menjadi masa lalu
Rasa kantuk meremuk
dalam bait puisiku
Gus Nas Jogja, 25 Juli 2021
PERMATA AL-KHAERAT
Ode untuk Prof. Huzaemah Tahido
Jalan berliku menuju surga itu bernama rindu
Membentang dari Palu hingga ke Cairo
Menenun ilmu dan amal
Dalam iman di relung kalbu
Al Khaerat telah mencatat
Engkaulah perempuan berhati permata itu
Pejuang ilmu dan pencerah pengetahuan
Pewarta cinta dan kebeningan
Engkaulah perempuan pertama negeri ini
Yang memetik mahkota ilmu di Taman Al Azhar Mesir
Lalu menaburkannya di Tanah Air
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
dan Institut Ilmu Qur’an
Adalah sawah-ladang amal ibadahmu
Di bulan Juli tahun Pandemi
Tuhan memanggilmu sebagai syahidah agung
Dengan mahkota permata di kepala
Tuhan menyelamatkan jiwamu
tepat di hari Jum’at
Dari dunia yang penuh nestapa dan kian berkarat
Gus Nas Jogja, 23 Juli 2021
AURAT SEKARAT
Yang ditutup-tutupi di hidup ini
Tak cuma bau bangkai dalam diri
Tapi cakar kebencian dan taring drakula
Yang meruncing di dada
Dipoles gincu menjadi senyum manis
Di bibir manja
Dalam kemarau kemanusiaan ini
Terik kemunafikan memancarkan pesona
Kosmetika agama mementaskan sembah berhala
Dalam kekuasaan yang kering kejujuran
Gaharu dan benalu bersanding mesra
Fitnah dan ghibah menggelar orkestra
Sebelum adzan subuh menggema
Kucari tempat berteduh
Menyelamatkan iman yang rapuh
Dari keluh sekingkuh
Menyembuhkan luka di jiwa dengan doa
Dari virus yang angkuh
Tuhanku
Tutuplah aurat sekarat bangsa ini
Kematian raga yang antri karena Corona
Ajal jiwa yang porak-poranda dimana-mana
Gus Nas Jogja, 25 Juli 2021
DARI POJOK DEPOK
Dari pojok Depok kuintip Indonesia
Suara sunyi menjamah hati
Aku melihat jutaan jaket kuning bergerak
Menyanyikan lagu Bagimu Negeri
Apa yang telah kaubawa dari Salemba
Selain nyala?
Api kemanusiaan dan kedaulatan
Bagi Ibu Pertiwi!
Ijinkan aku merindukan wajahmu yang dulu
Kampus perjuangan untuk kesehatan dan vaksin
Opleiding van eleves voor de genees-en helkunde en vaccine
Kampus kebangsaan bagi kedaulatan
Indonesia kini dan nanti
Veritas! Probitas! Lustitia!
Begitulah kredo yang lantang bergema di degub jantungku
Kebenaran! Kejujuran! Keadilan!
Itulah jalan terjal berliku
dimana kita menuju
Dari pojok Depok kusaksikan Jakarta
Lalu-lalang para pialang
Kasak-kusuk para pemabuk
Tarian poco-poco para calo
Di kota yang dulu bernama Batavia itu
Konon katanya berkibar-kibar para makelar
Comberan kotor para koruptor
Tempat transaksi siasat korupsi
Sekelam itukah langit metropolitan Indonesia?
Kusebut UI sebagai palang pintu
Bagi kemerdekaan yang digadaikan pada kekuasaan
Bagi kecerdasan yang dipenjara oleh birokrasi
Bagi kejujuran yang dirantai oleh jabatan
Kulihat langit pekat di atas ubun-ubun Jakarta
La Nina dan El Nino merayakan pesta
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Menyalakan api di cakrawala
Di pojok Depok kugantungkan bait-bait sajakku
Kucari lubang kunci untuk masa depan Ibu Pertiwi
Akankah kutemukan sawah-ladang kemakmuran
Tempat menanam padi dan kapas kesejahteraan itu?
Derai gerimis di Kebun Raya Bogor
Menyirami kemarau di rumah rindu
Pohon-pohon tua dan bunga teratai
Menyanyikan orkestra dalam bait puisiku
Dari pojok Depok kulihat Indonesia Raya
Jaket kuning yang tak boleh luntur
Walau usia kian menua
Meski senja telah merona
Gus Nas Jogja, 24 Juli 2021

Pageblug Covid 19 dan pemakaman korbannya. Ilustrasi
DOA PAGEBLUG
Tuhanku
Hari ini kami tengadah menadah seluruh jiwa
Memohon padaMu meredakan amarah bumi yang telah lama kami zalimi
Amarah Alam Semesta yang telah bertahun-tahun kami siksa
Dengan hati merunduk merindu welas asihMu
Hamba yang berlumur lalai dan lupa bersyukur ini
Sepantasnya diuji dengan cinta
Agar nalar mekar mewangi
Agar iman tertanam indah di taman hati
Semua nestapa ini buah dari kerakusan kami
Kemaruk pada bumi
Serakah segala-galanya mengeruk alam raya
Kami habiskan pohon-pohon untuk digergaji
Kami habisi sawah-ladang dengan racun pestisida
Betapa lengkap kepongahan kami
Tuhanku
Pageblug ini menyantap jutaan nyawa
Bahkan nyawa orang-orang terdekat yang kami cintai
Belahan jiwa kami dijemput pergi oleh Pandemi
Doa-doa yang kami panjatkan
Munajat langit yang kami jeritkan
Menyatu dengan raung sirine di jalanan
Ambulans yang lalu-lalang mewartakan kematian
Tuhanku
Oksigen melimpah yang telah lama Engkau sediakan
Lewat pohon-pohon yang ditanam sebelum kami dilahirkan
Hanya tinggal satu dua yang tersisa
Selebihnya dibabat habis si angkara murka
Kini kami kalang-kabut mencarinya
Oksigen dalam tabung besi yang kian mahal harganya
Sementara nafas kian tersengal menghirup jelaga
Tuhanku
Engkaulah Sang Maha Vaksin itu
Kuatkan iman kami agar imun di raga terjaga
Iman yang akan menjadikan aman dalam hidup dan mati kami
Iman yang mengamini doa-doa sederhana ini
Pageblug ini menyayat hati
Kuatkan kesabaran kami dari kecengengan ini
Sesudah sekian lama takabur dan kufur pada nikmat rahmatMu
Jangan biarkan jiwa dan raga kami hancur
Oleh comberan dan residu yang selalu terhidang di piring kami
Dan kami santap dengan lahap setiap hari
Dengan mengamini doa-doa Maulana Rumi
Munajat pujangga yang begitu arif menemukan jiwa sejati
Kami tawakkalkan hidup dan mati kami
Dengan ikhtiar Al Jabbar dan Ibnu Sina
Mencari sumber penyakit lalu menyembuhkannya
Dengan menziarahi Abunawas
Kami terus mencari cara untuk mengusir Corona
Sebab sebagai sesama makhlukMu
Corona bukan Yang Maha Kuasa
Hanya kepadaMu kami berdoa
Meminta untuk membinasakan Corona
Hanya dengan Makrifat Alif saja
Tuhanku
Rahmati kami pencerahaan jiwa ini
Sebagaimana Sunan Kalijaga mengucap tembang
Kidung Rumekso Ing Wengi
Atau Mantra Ajisaka
dalam syair Hanacaraka
Tuhanku
Kami telah takabur tak henti-henti
Jumawa tiada terkira
Menjadikan harta dan tahta sebagai berhala
Menjadikan orang-orang miskin sebagai alas kaki
Tuhanku
Segala puji dan puja kami hanya padaMu
Hilangkanlah dosa karatan di hidup kami
Bersihkan sampah kata dan akal busuk di diri kami
Sisakan nikmat taubat di ujung maut kami
MenghadapMu dengan cinta abadi
Dengan senyum berseri
Gus Nas Jogja, 15 Juli 2021
MATA SUNYI
Mata sunyi itu menatap tajam
padaku
Membeku dalam doa
Memanahkan duri rindu
ke dalam jantungku
Kini aku terpapar cinta
Terkapar di biru samudera
Berkasur gelombang kemesraan
Selimut pesona bernama cakrawala
Mata sunyi adalah orkestra doaku
Ombak mencari pantai
Hamparan pasir tikar dzikirku
Mata sunyi membuka tabir Cahaya
Saat berpaling dari Corona
Saat mengerling pada Pandemi
Kuseruput manis madu
dari cangkir cintaku
Hidup sederhana adalah takdirku
Rumah puisi adalah surgaku
Kesiur angin mengipaskan kasih
Menghempaskan resah
Menjadi tasbih pada sejuk sujudku
Mata sunyi menghunjamkan puisi
Menusuk remuk ke relung rindumu
Gus Nas Jogja, 13 Juli 2021

Mohammad Hatta | ist
DARI BUKIT TINGGI UNTUK NEGERI
In Memoriam Bung Hatta
Dari Bukittinggi untuk Ibu Pertiwi
Cinta digantung tidak bertali
Rindu menderu tak kunjung henti
Hari ini tanggal 12 Juli
Orang-orang dahulu menyebutnya
Hari Koperasi
Entah bagaimana
dengan kaum milenial kini
Hatta muda menatap langit
di senjakala
Bersandar di bahu kiri
Bundo Kandungnya
Pai ka kabun rumpuik disabik
Pulangnyo katiko alah magarik
Mayik manangih manjarik-jarik
Batambah lamo batambah sakik
Saat bayang matahari masih sepenggalah
Hatta muda membelah samudera
Mendayung di antara dua karang
Mengais mimpi di Batavia
Mengaji diri hingga di negeri Belanda
Tak tumbuh di tanah rapuh
Dari Bukittinggi ia injakkan kaki
Mencari wajah sejati Ibu Pertiwi
Menyalakan api Bagimu Negeri
Bertemu Bung Karno di Medan Merdeka
Hatta muda berdesir keras denyut jantungnya
Bermekaran cita-cita di lubuk hatinya
Daulat bangsa yang sejahtera
Entah dimana Agus Salim
dan Tan Malaka kala itu
Kawan seiring manunggal sakato
Sebab di Jayakarta masih bercokol Kumpeni Belanda
Berkacak pinggang dengan angkuhnya
Anak-anak kato manggaduah
sabab manuruik sakandak hati
kabuki tarang hujanlah taduah
nan hilang patuik dicari
Hatta muda merasakan getar gemuruh
rongga dadanya
Saat Bung Karno memuncratkan api
pada kobar-kobar pidatonya
Tapi negeri ini tak cuma butuh pidato
dan tak akan kenyang
dengan propaganda
Negeri ini wajib berdaulat
dan sejahtera
Maka koperasi harus bersemi
Gotong-royong dan berdikari
adalah jawabannya
Gus Nas Jogja, 12 Juli 2021

dr. Rosita S. Noer
FRAGMEN 98
Ode buat Ibu Rosita S. Noer
Sisa-sisa arang dan abu
di Ibukota
Puing-puing amarah
dan cipratan ludah
di langit Jakarta
Kutulis dengan mesin ketik tua
Lalu kaubaca kata demi kata
Negeri ini sudah begitu lama berjelaga
ucapku sembari bersendawa
Tapi Orde Baru yang terlalu lama
menggigit rakyatnya
Sudah terlalu berdaging
bagi penguasa
Sementara etika hanya tulang-belulang
dan tinggal kerangka
Keadilan menggantang asap
entah dimana
Di Medan Merdeka Timur
Kita mencari asal-muasal luka
Silsilah perih yang mengalirkan
merah darah
dan sorak-sorai ribuan mahasiswa
Bulan Mei 1998
Bulan Juli 2021
Itulah kalender keramat
di kota Jakarta
Di kaki Monas aku merenung
Betapa renta dan rapuh
usia manusia
Entah kapan umurku
ikut mengepakkan sayapnya
Gus Nas Jogja, 11 Juli 2021
HENING
Bait terakhir puisi bulan Juli
Kuhidangkan dalam tempayan suci
Ribuan Requiem
mengantarkan matinya Corona
Menguburkan jenazah Pandemi
Kusimak suara sunyi
Indonesiaku
Dengan bening kalbu
Dalam hening rindu
Pada genting desau nafasku
Esok atau lusa
Aku melihat ambulan berjejer di Kalibata
Peti mati silih berganti antri
Menunggu disemayamkan di perut bumi
Demikian pula di pemakaman Rorotan
Dan TPU Tegal Alur
Suara sirine mobil ambulan menggedor jantung
Mayat-mayat berkafan kain putih
tak kunjung henti
Menyanyikan sunyi dalam puisi
Hening Indonesia Raya
Sudah berapa kali kuucap
kata ini
Innalillahi wainna ilaihi roji’un
Hari ini
Dan hari-hari sebelum hari ini
Kematian silih berganti
Tak pernah ingkar janji
Ibu Pertiwi hari ini
Adalah jerit tangis yatim piatu
Suara adzan melengking
bercampur raung sirine
Orkestra duka-lara
Bergema di sepanjang trotoar Ibukota
Merayakan rintih tasbih di altar jiwa
Atas nama sepi dan kesepian hati
Hari ini kugembalakan gelora doa
Gemuruh gugur-bunga
Gelora gelombang cinta
Pada pandemi yang telah berakhir
Menunaikan masa tugasnya
Gus Nas Jogja, 10 Juli 2021