“Mandela mengajari kita, bahwa kekuatan bukanlah ketiadaan perjuangan. Kekuatan adalah apa yang kita pilih untuk dibangun dalam perjuangan itu,”
RUANG sidang Majelis Umum PBB, Jum’at (16/7/25) seolah sedang mencatatkan sejarah tersendiri, usai Sekretaris Jendral Antonio Guterres menyampaikan pidatonya ihwal Hari Internasional Nelson Mandela 2025.
Phillemon Yang, Presiden MU PBB yang memimpin sidang memanggil dua nama penerima penghargaan, Nelson Mandela: Brenda Reynolds dari Kanada dan Kennedy Odede dari Kenya.
Sekretaris Jenderal António Guterres pun menyerahkan penghargaan tersebut kepada keduanya. Penghargaan tersebut diberikan PBB kepada dua pribadi (lelaki dan perempuan) yang terseleksi, setiap lima tahun.
Reynold dan Odede terpilih karena karya-keduanya mencerminkan warisan kepemimpinan, kerendahan hati, pengabdian, dan persatuan lintas batas mendiang Presiden Afrika Selatan tersebut.
“Para pemenang penghargaan Mandela tahun ini mewujudkan semangat persatuan dan mengingatkan bagaimana kita memiliki daya untuk membentuk komunitas yang lebih kuat dan dunia yang lebih baik,” kata Guterres.
Brenda Reynolds, sebagai anggota Status Treaty dari Fishing Lake Saulteaux First Nation di Saskatchewan, Kanada, telah menghabiskan puluhan tahun memajukan hak-hak Pribumi, kesehatan mental, dan perawatan trauma.
Pada tahun 1988, ia mendampingi 17 remaja putri dalam kasus pelecehan seksual pertama suatu sekolah asrama di Saskatchewan. Lantas, ia menjadi penasihat khusus untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC), membantu membentuk dukungan bagi penyintas dan respons trauma.
Reynolds dikenal luas atas peran kuncinya dalam ‘Perjanjian Penyelesaian Sekolah Asrama Indian’ yang diperintahkan pengadilan Kanada dan pengembangan selanjutnya atas Program Dukungan Kesehatan Resolusi Sekolah Asrama Indian. Suatu inisiatif nasional yang menawarkan perawatan kesehatan mental berbasis budaya bagi para penyintas dan keluarga.
Tahun 2023, Reynolds diundang oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Uni Eropa berbagi keahliannya tentang trauma dan genosida budaya.

Brenda Reynolds (Kanada) dan Kennedy Odede (Kenya) penerima Penghargaan Nelson Mandela PBB tahun 2025 | UN
Pria Ikonik Leluhur Kita
Di hadapan khalayak yang menyaksikan acara, itu — antara lain para putri dan putra adat, anggota keluarganya, dan khalayak yang menonton melalui siaran streaming, ia mengucapkan terima kasih. “Dengan hormat, saya ingin mengakui bahwa kita berkumpul di tanah air tradisional masyarakat La Napp… Maaf jika saya salah mengucapkannya,” ujarnya.
Ia mengaku, ketika tahu dirinya sebagai salah satu penerima penghargaan Nelson Mandela Awards tahun ini, “Saya tak bisa berkata-kata dan saya tak percaya telah terpilih,” katanya. Meski berbicara dalam dua bahasa, ia masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan rasa syukur dan kerendahan hatinya menerima Penghargaan Nelson Mandela dari PBB.
“Karena, dia sekarang adalah salah satu leluhur kita. Melihat dan menerima penghargaan yang menyandang nama seorang pria ikonik yang mewujudkan perlawanan dan rekonsiliasi damai adalah kehormatan yang luar biasa dan tanggung jawab yang khidmat,” ujarnya.
“Saya tersentuh oleh pengakuan PBB yang terus menjunjung tinggi cita-cita keadilan, perdamaian, dan martabat manusia,” lanjutnya.
Reynolds mengatakan, dirinya Sseorang ‘wanita mandiri’ dari Fishing Lake First Nation, sebuah cagar alam di Kanada, yang memiliki kesamaan dengan pengalaman Nelson Mandela. “Pun dengan upaya pemerintahnya, untuk membudayakan dan mengubah siapa kita sebagai masyarakat adat ke tanah air kita. Dan ada banyak kesamaan dengan apa yang telah kita alami di kedua negara kita, dimana pemerintah membuat kebijakan yang berdampak untuk mengubah siapa kita guna menghadapi penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia di negara kita,” ungkapnya.
Dari perspektif itulah dia telah mengikuti dan tertarik pada Nelson Mandela sejak mengetahui tentangnya. Salah satu contoh yang menonjol, adalah ketika pemerintah Afrika Selatan datang ke Kanada pada tahun 1930-an untuk mencari tahu dan bertanya kepada pemerintah Kanada, bagaimana mengelola penduduk asli.
“Tanggapan mereka adalah, kami memisahkan mereka di cagar alam dimana mereka harus memiliki izin saat meninggalkan cagar alam. Kami juga memberi mereka kartu status untuk mengidentifikasi siapa mereka,” kisahnya.
“Praktik tersebut menjadi model yang dikenal sebagai apartheid di Afrika Selatan. Sebuah praktik pemerintah di Kanada, dimulai dengan pemindahan paksa anak-anak pribumi pada tahun 1800-an. Anak-anak tersebut dipisahkan dari keluarga, komunitas, dan budaya mereka. Lalu ditempatkan di sekolah-sekolah berasrama dengan tujuan membudayakan mereka dan juga untuk membasmi budaya mereka,” urai Reynolds.

Di Perkampungan kumuh Kibera ini, Kennedy Odede tumbuh dan berjuang menyelamatkan harapan dan masa depan dengan memenuhi keperluan asasi warganya.. |SHIFCO
Jangan Menunggu
AKAN halnya, Kennedy Odede yang juga salah satu penulis buku terlaris New York Times dan memegang peran di USAID, Forum Ekonomi Dunia, Yayasan Obama, dan Inisiatif Global Clinton.
23 tahun Odede tinggal di Permukiman Kumuh Kibera -Kenya, Kennedy Odede beralih dari hidup di jalanan pada usia 10 tahun menjadi penerima pengakuan global ketika dinobatkan sebagai salah satu dari ‘100 Orang Paling Berpengaruh’ versi majalah TIME tahun 2024.
Perjalanannya, sebagaimana data dari PBB, dimulai dengan tindakan kecil: menabung penghasilan pabriknya yang sedikit untuk membeli bola sepak dan menyatukan komunitasnya.
Percikan itu berkembang menjadi ‘Shining Hope for Communities’ (SHOFCO), sutu gerakan akar rumput yang kini dipimpinnya. SHOFCO beroperasi pada 68 lokasi di seluruh Kenya, memberdayakan kelompok-kelompok lokal dan memberikan layanan vital kepada lebih dari 2,4 juta orang setiap tahun.
Odede bercerita, dia Tumbuh besar di sana terasa hidup yasng sulit. Sejak usia dini, saya melarikan diri agar bisa bertahan hidup karena kami tidak punya cukup makanan di rumah. Saya menjadi anak jalanan atau tunawisma. Jika saya tidak menderita dalam kemiskinan ini, saya bisa melihat apa yang bisa saya lakukan.”
Odede mengemukakan, meskipun ada perjuangan karena orang-orang ini tidak benar-benar memiliki banyak harapan. “Jika Anda mengikuti kata hati mereka, mereka sangat kaya. Komunitas ini benar-benar menjadi bagian dari pertumbuhan saya. Dengan cara ini, saya memiliki anak laki-laki saya, anak perempuan kami, teman-teman kami, keluarga kami. Ketika saya berjalan-jalan di sini, Anda melihat komunitas itu. Kami memiliki misi yang sama,” ungkapnya.
Odede melanjutkan ucapannya. Kita tidak bisa melihat dan mendengar seorang gadis berusia 4 (empat) tahun diperkosa. “Jangan menunggu dan mendengar seorang anak berbakat yang bisa menjadi presiden ditolak pendidikannya karena kita masih menunggu. Semakin lama kita menunggu, kita kehilangan banyak hal. Sekarang, apa yang bisa kita lakukan sekarang?” luahnya.

Kennedy Odede menyiapkan pendidikan anak-anak perempuan sebagai kader pemimpin Kenya masa depan | khas
Pemimpin Perempuan dan Masa Depan Kenya
Odede menyebut istilah Ghetto, yakni bagian kota tempat berkumpulnya anggota kelompok minoritas, terutama akibat tekanan politik, sosial, hukum, agama, lingkungan, atau ekonomi. Ghetto sering dikenal lebih miskin dibandingkan area lain di kota.
“Ghetto adalah tempat ide. Tempat kekuatan. Impian saya adalah menyatukan ghetto. Tidak harus datang dari luar. Solusinya ada di sana. Hanya kita yang bersatu. Solusinya ada di komunitas.,” seru Odede aksentuatif.
Kami mulai dengan melakukan hal-hal kecil. Orang-orang mengenal kami. Jadi, perlahan-lahan kami tumbuh, tumbuh, dan tumbuh. Kami sedang belajar. Bagaimana kami bisa membuat hal-hal kami unik?
Bagaimana Anda bisa memiliki sekolah seperti ini ketika orang-orang memimpin dan memilikinya, sekolah itu benar-benar bisa kuat dan saya menyukainya. Tahukah Anda mengapa saya menyukainya? Karena kami benar-benar mengambil alih. Kami mengambil alih.
Jadi, orang-orang yang tampaknya miskin sekarang menjalankan sekolah untuk anak perempuan, pusat kesehatan, dan air sangat berpengaruh. Lihat gadis-gadis berseragam ini, anak-anak ini bisa berbahasa Inggris. Mereka sangat pintar. Mereka sangat ingin tahu.
“Saya akan memilih pemimpin Kenya masa depan, pemimpin perempuan, yang akan menjadi bintang di masyarakat. Jadi saya melihat orang-orangnya bersemangat. Anda pergi ke sana dan saksikan. Anda melihat kegiatan yang terjadi di sana. Itulah yang memberi harapan,” ungkap Odede.

Sculpture Nelson Mandela | UN
Puisi dan Mandela sebagai Inspirasi
Ia menjelaskan, bahwa gerakan yang dilakukannya merupakan gerakan urban untuk perubahan sosial. Sebuah kekuatan bersatu untuk mengubah masyarakat. Odede percaya bahwa hal itu mungkin.
Odede mengutip bagian dari pernyataan dalam larik puisi karya William Ernes Henley bertajuk Invicus, yang sering dibaca Nelson Mandela : Dari kegelapan yang menyelimutiku, / Hitam bak lubang dari kutub ke kutub, / Aku bersyukur kepada dewa-dewa mana pun / Atas jiwaku yang tak terkalahkan. / Dalam cengkeraman keadaan yang mengerikan / Aku tak meringis atau menangis keras. / Di bawah hantaman kesempatan / Kepalaku berdarah, namun tak tertundukkan.//
Kisah pengalaman hidup dan perjuangan Nelson Mandela banyak menginspirasi Odede dalam melakukan aksi dan perjuangannya. Dia katakan, 27 tahun Mandela berada di balik jeruji penjara. Lantas berkeyakinan, bahwa dalam menjalankan realitas sepahit apapun, integritas diri yang akan menjadi penguasa atas takdir.
Ia termotivasi oleh kata-kata Mandela, “Akulah kapten jiwaku”. Kata-kata ini mengingatkannya tentang risiko terburuk aktivis, bahwa jiwa tetap harus merdeka meski raga dalam dalam kurungan.
Bagi Odede, Mandela yang sangat karib dengan puisi dan pesan puitik mengalir ke dalam jiwa, menjelma sebagai tindakan berbalik menjadi kekuatan yang luar biasa. Ia mengamati bahwa puisi menjadi saksi ketidakadilan.
Odede mendalami, bagaimana ‘kerja batin’ Mandela menumbuhkan apa yang disebutnya ‘bunga di kuburan. ‘ Para narapidana diamsal laksana bunga, suatu penegasan tentang martabat manusia yang tak tergoyahkan. “Itu juga menjadi bungaku,” tukasnya.
Odede merasam puisi favorit Mandela, menjadi mantra hariannya. “Aku tumbuh besar di Kiraa, Kenya, salah satu permukiman kumuh terbesar di Afrika. Sebuah tempat yang terlalu sering direduksi menjadi statistik kemiskinan alih-alih diakui karena potensi manusianya yang luar biasa.”
“Pada usia 10 tahun, ketika melarikan diri dari kekerasan dalam rumah tangga, saya bergabung dengan barisan anak-anak di negara bagian Nairobi. Suatu hari, saya mencuri mangga karena kelaparan. Sekelompok orang mengeroyok, memukuli saya hingga pingsan, sampai seorang asing membayar mangga itu. Tindakan belas kasih itu menunjukkan kepada saya bahwa kebaikan dapat memutus siklus kekerasan.
“Mandela mengajari saya bahwa kekuatan bukanlah ketiadaan perjuangan. Kekuatan adalah apa yang kita pilih untuk dibangun dalam perjuangan itu,” ujar Odede. | jeanny
