Pesona Peci Hitam Delegasi Misi Diplomatik Indonesia

Saya mengapresiasi dan menaruh respek kepada Menteri Luar Negeri Sugiono beserta seluruh anggota delegasi Indonesia yang konsisten mengenakan peci – kopiah – songkok hitam dalam berbagai agenda resmi Pertemuan Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) ke 58 di Kuala Lumpur. Termasuk agenda dialog dengan para Menteri Luar Negara di luar ASEAN yang menjadi mitra dialog strategis (China, Rusia, Jepang, Australia, Kanada, India, Norwegia, Brazil, Republik Korea, Selandia Baru, Switzerland, dan Amerika Serikat).

Haèdar Muhammad

SEJAK Presiden Prabowo memulai aksi diplomasi ke berbagai kunjungan kenegaraan, baik dalam lawatan bilateral maupun multilateral ke berbagai fora internasional (regional dan global), secara khas saya mencermati ihwal pesona busana yang dikenakan oleh seluruh anggota delegasi.

Presiden serta seluruh delegasi mengenakan jas lengkap plus songkok atau peci hitam.  Busana lengkap itu selain menambah gagah siapa yang mengenakannya. Juga menunjukkan identitas kebangsaan.

Busana tersebut merupakan bagian dari ekspresi diplomasi budaya praktis dengan jenama busana nasional. Presiden Soekarno selalu mengenakannya sebagai citra ke-Indonesia-an.  Mencerminkan sosio religius, sosio nasionalisma, dan populis modes.

Moh Roem, Menteri Luar Negeri Repulik Indonesia (kelima: 6/9/1950 – 27/4/191) dalam bukunya bertajuk “Bunga Rampai dari Sejarah Jilid II” menulis, peci, jas tutup, sarung dan sandal adalah busana lengkap HOS Tjokroaminoto – pemimpin Sarekat Islam. Guru bangsa yang mendidik Soekarno dan kawan-kawan di masa awal revolusi kebangsaan.

Suatu ketika, HOS Tjokroaminoto dipotret (yang kemudian menjadi sumber ide lukisan) sedang duduk dengan mata menatap tajam dan kumis melintang berbusana lengkapnya tersebut. Busana ini lantas menjadi busana kaum Sarekat Islam (kini Syarikat Islam). Haji Agus Salim, yang biasa mengenakan tarbus merah yang biasa dipakai orang Turki menggantinya dengan peci dengan dua kancing di ujung atas.

Belakangan hari ia mengganti pecinya itu dengan peci hitam. Ia juga menghadiahkan peci hitam kepada Sukarno. Pesona persona Bung Karno lantas menjadikan peci hitam dengan busana lengkap jas warna gelap atau terang, yang dikenakannya bersama Bung Hatta ketika membacakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Haji Agus Salim — yang kemudian dikenal sebagai diplomat ulung dan Menteri Luar Negeri — menyebut busana yang dikenakan oleh HOS Tjokroaminoto, lalu Bung Karno, Jendral Sudirman, dan para pemimpin bangsa lainnya, sebagai isyarat revolusioner yang bertegak di atas religiusitas, nasionalisme, dan pembela kerakyatan (defensor populis).

Presiden Prabowo (kanan), Menlu Sugiono (kiri). Di sebalik peci – kopiah – songkok hitam itu ada tersimpan sejarah kesadaran kebangsaan | MYASEAN

Ekuitas dan Ekualitas

Busana demikian, menurut Moh Roem, menghidupkan dan membangkitkan nilai dan spirit ekuitas – ekualitas (kesetaraan dan keadilan), egaliterianisma, kosmopolit, demokratis, dan inklusivitas.

Berkat HOS Tjokroaminoto, Bung Karno dan pejuang revolusioner Indonesia lainnya, peci (kopiah) hitam atau songkok yang sudah ada jauh sebelumnya di abad ke 16 dan ke 17 (seperti dalam catatan Antonio Pigafetta pelanjut ekspedisi Magellen – menyebutnya cophia; Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Banjar) terangkat naik lagi.

Sejumlah kreator peci (kopiah), seperti Haji Abdul Wahid (Kebon Sirih – Jakarta), Haji Iming (Bandung), Haji Sjarbaini (Bukit Tinggi), Haji Awing (Surabaya) dan lain-lain menggeliat lagi. Produksi Peci sebagaimana halnya sarung juga berkembang hingga kini.

Presiden Prabowo sebagai chief of diplomatic mission tampak sangat konsisten mengenakan peci sebagai salah satu atribut sekaligus penanda  ke-Indonesia-an dalam aksi diplomasinya di berbagai fora diplomasi. Bagi saya, hal ini bernilai positif dalam keberlanjutan identitas kebangsaan, sejak Presiden Sukarno sampai kepada dirinya.

Saya mengapresiasi dan menaruh respek kepada Menteri Luar Negeri Sugiono beserta seluruh anggota delegasi Indonesia yang konsisten mengenakan kopiah dalam berbagai agenda resmi Pertemuan Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) ke 58 di Kuala Lumpur. Termasuk agenda dialog dengan para Menteri Luar Negara di luar ASEAN yang menjadi mitra dialog strategis (China, Rusia, Jepang, Australia, Kanada, India, Norwegia, Brazil, Republik Korea, Selandia Baru, Switzerland, dan Amerika Serikat).

Apalagi bila mengacu kepada Haji Agus Salim yang di balik peci hitamnya, menyimpan paduan pengalaman, pengetahuan, dan siyasah yang unggul dan jitu. Khasnya dalam memperjuangkan gagasan-gagasan strategis yang berdampak langsung dengan kemajuan bangsa, serta kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks pemahaman praktis tentang diplomasi budaya secara mayor — yang kerap dikaitkan dengan strategi daya lunak (soft power strategy) — konsistensi mengenakan busana khas yang menjadi identitas ke-Indonesia-an dan kebangsaan adalah penting.

Tak hanya karena dimensi ruang dan waktu peristiwanya mempertemukan orientasi global dan pijakan lokal dalam satu deminsi integrasi dan integritas kebangsaan sekaligus. Jauh dari itu juga menunjukkan cara kita merawat kebanggaan nasional.

Menlu Sugiono dan anggota delegasi di persidangan Pertemuan Menlu-menlu ASEAN 9 Juli 2025 di Kuala Lumpur – Malaysia | MYASEAN

Rinonce Aliran Budaya

Presiden Prabowo dengan pengetahuan, pengalaman, dan daya adaptasinya yang cepat dalam pergaulan global dengan segala tata krama yang menyertainya. Menghidupkan kesadaran dan obsesi yang kuat untuk menunjukkan kebesaran dan pentingnya Indonesia di tengah konstelasi regional dan global. Terbabit dengan hal ini, pernik-pernik yang mungkin dianggap sepele, justru menjadi penting.

Peci – kopiah – songkok dalam busana delegasi misi diplomatik Indonesia merupakan faktor penting dalam keseluruhan konteks diplomasi budaya. Merujuk pandangan Ien Ang – Yudhisthir Raj Isran dan Philip Mar (2015) diplomasi budaya merupakan sesuatu yang penting dalam praktik kebijakan luar negeri negara-bangsa maupun dalam wacana budaya.

Kendati demikian, seringkali terdapat ketidakjelasan yang nyata dalam cara penggunaan istilah tersebut, tentang apa sebenarnya yang tercakup dalam praktiknya, mengapa hal itu penting, atau bagaimana cara kerjanya. Ketiga peneliti dari Institute for Culture and Society – University of Western Sidney, tersebut memandang sebagian besar ketidakpastian ini berasal dari pencampuran diplomasi budaya stricto sensu (dalam arti sempit). Terutama karena diplomasi budaya dalam hal praktik pemerintahan dengan hubungan budaya, yang cenderung didorong oleh cita-cita alih-alih kepentingan dan sebagian besar dipraktikkan oleh aktor non-negara.

Saya justru melihat peci – kopiah – songkok hitam yang dipakai di seluruh agenda resmi peristiwa diplomatik dalam skala global (yang dipimpin Presiden Prabowo) dan dalam skala regional (yang dipimpin Menlu Sugiono) menjadi penganggit identitas kebangsaan (sekaligus pembentuk citra kebangsaan) yang pasti dan konkret dalam praktik diplomasi budaya secara stricto sensu.

Dari pengalaman selama ini, sebagai anggota delegasi misi diplomatik ke berbagai peristiwa diplomatik multilateral dalam skala regional ( ASEAN Summit, APEC – Asia Pacific Economic Cooperation) dan global (UN General Assembly, Bali Democracy Forum) diplomasi budaya tak melulu harus dilihat secara stricto sensu yang membatasi implementasinya.

Saya sepandangan dengan ketiga akademisi — yang saya kutip pendapatnya tersebut — dalam konteks membaca  kompleksitas hubungan budaya transnasional dan praktik budaya di internal suatu negara saat ini, sebagai fenomena yang seharusnya menjadi perhatian penting dalam disiplin ilmu budaya. Apalagi ketika berkembang pemikiran, bahwa diplomasi budaya sebagai bagian dari rinonce aliran budaya dalam hubungan budaya yang saling bersilangan yang mestin dikelola serius baik oleh negara maupun aktor non negara.

Peci – kopiah – songkok hitam, bahkan menjadi simpul pengikat hubungan personal pelaku diplomasi budaya dan menjadi jalinan persaudaraan yang berkontribusi dalam menguatkan peran diplomasi budaya sebagai diplomasi publik. Termasuk berkontribusi dalam menurunkan gejala tensi pemicu friksi dan konflik yang (sengaja – tidak sengaja) ditebar melalui media sosial. |

Posted in LITERA.