Ketika gagasan, pemikiran, dan aspirasi yang diekspresikan melalui kata sudah ‘menjadi’ hamparan pasir, jawaban yang diterima hanya tumpukan botol-botol minuman para ‘pemabuk kuasa.’ Irawan Karseno nampak hanya melakoni jalan konsistensi dan persistensi seniman ‘membisikan’ sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, sambil ndingkik (mengintip) bagaimana para pemabuk kuasa diam-diam ‘menyalakan’ kesadaran akal budinya melihat realitas kehidupan.
Bang Sèm
Sebidang lantai di ruang pamer PosBloc tempat pameran seni rupa kontemporer Jakarta Provoke 2025, itu menarik perhatian.
Di atasnya, terhampar karya instalasi dengan tumpukan pasir tak putih, serakan mesin tik, kawat berduri, botol bir putih dan audio, dengan dimensi bervariasi.
Itulah karya instalasi Irawan Karseno, bertajuk Pram, Menulis itu Ternyata Sulit. Maman Gantra, kurator karya ini menghantar, lewat karyanya ini Irawan Karseno sedang menghadirkan gugatan yang tidak dibingkai oleh slogan atau orasi, tetapi oleh benda-benda yang justru berteriak lebih nyaring tentang kenyaan sosial politik hari ini.
Sebelum sampai ke situ, Maman mengungkapkan, Irawan Karseno memilih bahasa paling purba dan nyaris terlupakan dalam dunia seni kontemporer: sunyi.
Di tengah zaman yang gamang, tak pasti, ribet, dan mendua, manusia dihadapkan oleh situasi dan kondisi kehidupannya sehari-hari — merujuk Al Gazali — bergegas menjangkau “sunyi di tengah keramaian, dan ramai di tengah kesunyian.”
Dalam situasi demikian, menulis menjadi sesuatu yang seolah nampak biasa (sebagai bagian) percakapan literer, namun sesungguhnya luar ‘binasa.’ Khasnya, ketika produk budaya era konseptual – digital (Society 5.0 : artificial intelligent (AI) + internet of thing) yang menjelma sebagai ‘new media’ dengan segala dampaknya dalam kehidupan manusia sebagai homo socius.
Dari perspektif ini dan berbagai tantangan yang mengalir bersamaan dengan dinamika singularitas, saya sepakat dengan Maman Gantra untuk menegaskan, bahwa “karya ini menciptakan ruang refleksi yang dalam tentang kegagalan, keputusasaan, serta perjuangan membangun peradaban di negeri yang abai pada luka sejarah dan realitas hari ini.”
Dalam percakapan sekejap dengan saya jelang pameran Jakarta Provoke 2025 (Kamis, 19/6/25), Irawan Karseno mengatakan, ia menyediakan ruang bagi khalayak – pemirsa pameran ini, untuk berinteraksi sekaligus berkomunikasi batin dengan karya.
Saya memaknainya sebagai peluang untuk jeda sejenak, keluar dari komunikasi dubious dalam kepungan bermiliar kata limbah informasi yang mengalir melalui gelombang multi media, multi channel, multi platform, multi formula dan multi format.
Limbah informasi yang meluah bersamaan dalam retorika pidato, undang-undang, peraturan – keputusan pemerintah / negara para petinggi yang tak menampakkan karakter negarawan; pun, khutbah, kuliah, tausiyah, nasehat, pernyataan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan akademisi yang mereduksi dan tak mencerminkan intelektualisma dengan beragam isu.

Irawan Karseno : “…beragam elemen visual yang digunakan dalam karyanya, melampaui narasi…” | foto diri dok. DKJ
Ndikik Pemabuk Kuasa
Pram, Menulis itu Ternyata Sulit karya Irawan Karseno bagi saya — dengan empirisma, perspektif dan emosi — memantik dialog dan dialektika diri. Khasnya peluang bagi nalar, naluri, nurani, dan rasa saling berinteraksi untuk menangkap pesan yang terkirim dalam komunikasi bisu.
Beragam elemen visual yang digunakan dalam karya ini, melampaui narasi dan tak perlu banyak kata untuk membangun pemahaman yang fokus dan jernih dalam mengeja setiap makna yang diekspesikan senimannya.
Di sisi lain mengusik hasrat untuk melayari kemungkinan berlangsungnya transhumanitas yang bakal terjadi. Apalagi ketika ‘sabda’ kehilangan makna, ‘kata’ tak lagi berdaya sebagai wahana mengucapkan aspirasi dan inisiasi untuk didengar dan disimak, lantas diapresiasi.
Memirsa karya instalasi Irawan Karseno, mengingatkan saya pada pandangan seniman Rumania yang kini tinggal di Jerman, Leila Tatucu (2024). Ia seniman yang melalui karya-karyanya menjembatani kesenjangan antara struktur dan kebebasan.
Tatucu menggunakan pena fineliner, resin, dan alat digital, karya saya menggambarkan tema universal sebagai metafora visual, mengajak pemirsa untuk menantang persepsi dan menemukan keindahan dalam kontras.
Karya Irawan Karseno ini menegaskan seni sebagai wahana yang memediasi manusia menyentuh hal-hal mendalam dan tak terucapkan. Media yang melintasi batasan verbal, batas linguistik, dan menyelami kedalaman alam bawah sadar kolektif kita.
Keberadaan karya Irawan dalam Jakarta Provoke 2025, berbisik lewat suara mesin tik justru ketika aneka mesin tik itu terbebat kawat berduri, terserak di pasir dan tak berdaya di atas tumpukan bata. Tak memerlukan pelantang suara untuk meneriakkan aspirasi kepada para penikmat kekuasaan yang tak pandai mendengar suara khalayak.
Ketika gagasan, pemikiran, dan aspirasi yang diekspresikan melalui kata sudah ‘menjadi’ hamparan pasir, jawaban yang diterima hanya tumpukan botol-botol minuman para ‘pemabuk kuasa.’
Irawan Karseno nampak hanya melakoni jalan konsistensi dan persistensi seniman ‘membisikan’ sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, sambil ndingkik (mengintip) bagaimana para pemabuk kuasa diam-diam ‘menyalakan’ kesadaran akal budinya melihat realitas kehidupan.
Secara sengaja saya menghubungkan karya ini dengan isu mutakhir ‘penulisan ulang’ sejarah Indonesia. Termasuk kemungkinan perubahan terminologi dan bingkai peristiwanya — dengan sudut dan cara pandang penguasa. Dan, benar.. menulis itu ternyata sulit.
Dalam konteks pembelajaran dan penyadaran, terutama untuk menegaskan seni sebagai medium komunikasi non verbal, tak keliru karya ini diabadikan di salah satu ruang yang relevan di salah satu gedung tinggi Jakarta. Paling tidak, gedung negara yang berurusan dengan seni dan literasi. |
