Meski di hari wisuda kawasa berteriak lantang mewakafkan diri untuk kepentingan rakyat, meluahkan retorika pembanterasan rasuah, dan berbagai tekad kebangsaan — yang boleh jadi benar secara personal — namun tetap menebar keraguan. Rakyat yang cerdas dan aktivis politik cendekia menyambut sukacita turun tahtanya Adorakang, seraya mencatat dan mencermati kritis luah retoris pernyataan penggantinya. Mereka lah yang kelak akan menjadi barisan penegak prinsip semak dan imbang kuasa (check and balances), kala parlemen akan kerap menganggukan kepala dan selalu siaga untuk meneriakkan kata “setuju!’ di ruang paripurna parlemen. Penanda utama negeri Gaddaarstan..
Tok Sèngon
Di tatap pandang mata nanar melihat masa depan. Ada sebuah negeri, bernama Gaddaarstan di belahan tenggara bumi. Negeri yang semula bernama Asmanistan — lantaran Tuhan menitipkan beberapa keping surga ke bumi. Seorang raja dari salah satu negeri Arabia menyebut negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini sebagai ‘firdausi fid dunia.’ Surga di dunia.
Di negeri ini melintas matahari, karena di atas buminya, membentang khatulistiwa. Garis perguliran matahari, yang memungkinkan manusia yang hidup di dalamnya mengenal Timur dan Barat. Hakikat masyrik wal maghrib, amat mudah dikenali di negeri ini.
Negeri ini semula berperadaban tinggi, berakal budi, dan dibangun dengan intelektualitas tinggi, didirikan oleh para pemberani. Mereka adalah pejuang yang tak pernah takut dan tak pernah mundur melawan penjajah Eropa dan sangat mencintai rakyatnya, serta sangat paham ihwal hakikat kemerdekaan sejati bagi umat manusia.
Di masa lampau, pada berbilang abad, negeri itu juga dijuluki sebagai ‘jazirah al mulq.’ Jazirah para raja alias jazirah para sultan. Jazirah yang meronce hakikat dan realitas bentang bumi negeri negeri kepulauan.
Selain bangsa-bangsa Mesopotamia, Persia, Arabia, dan China yang menjadikan negeri ini sebagai pusat peradaban baru. Oleh para penjajah, seperti Portugis, Perancis, Inggris, Belanda, berusaha keras menjadikan berbagai kawasan di negeri — yang oleh salah seorang pujangga sekaligus futuris-nya juga disebut — bumantara (bumi antara), kawasan negeri ini diburu sebagai wilayah koloni mereka.
Namun, tak semua wilayah mampu ditaklukan penjajah. Wilayah di ujung tempat matahari tenggelam kala senja, tak mampu mereka taklukan. Bahkan di situ, jenderal penjajah mereka kirim ke liang lahat.

Di negeri Gaddaarstan banyak peting ‘terkurung di luar’ dan ‘terhimpit di atas’ | ilustrasi Vier
The Five Moral Principles
Di masa lalu, heroisme dan patriotisme terintegrasi dengan kesadaran dan tanggung jawab kolektif seluruh elemen umat, termasuk para ulama yang menghidupkan kesadaran: “kekayaan sumber daya alam hanyalah titipan Allah, dan musti dikelola untuk seluas-luasnya kemakmuran rakyat.”
Para pejuang menanamkan dalam diri mereka, prinsip asasi ‘sebersih bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah.’ Menaklukan diri mereka sendiri untuk secara antusiasi menghidupkan kolaborasi dan sinergi kebangsaan, memperjuangkan persatuan umat dan kaum.
Spirit perjuangan mereka bangun dengan menghidupkan integritas, kesamaan visi, dan mutual respect antar sesama, yang ditegakkan di atas nilai inti persamaan derajat manusia dan kemerdekaan (kedaulatan) sejati, amal ilmiah – ilmu amaliah, untuk mewujudkan kebahagiaan umat.
Penjajah terus putar otak menaklukan bangsa-bangsa yang kemudian bersatu dalam negara bangsa Asmanistan. Beragam muslihat mereka pergunakan, mulai dari politik balas budi, sambil memboyong beragam jenis flora endemik, yang benih-benihnya mereka boyong ke negeri jajahan mereka di bagian lain bumi. Selepas itu di tempat asalnya, mereka musnahkan seluruh plasma nutfah dan benih flora endemik andalan itu.
Asmanistan lantas merdeka dan mengalami masa pasang surut. Namun tetap punya marwah. Mereka hidup dengan prinsip-prinsip moral, yang banyak dipujikan bangsa-bangsa lain, the five moral principles.
Di persimpangan zaman, ketika mengalami fase awal kemerdekaan, kala terjadi penghianatan partai komunis yang kedua kali selepas kemerdekaan. Penguasa dan pemerintahan berubah. Jargon ‘politik sebagai panglima,’ pun berganti menjadi ‘pembangunan sebagai panglima’ dengan titik berat pada pembangunan ekonomi.
Kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi yang dicita-citakan berubah kala penguasa mengundang balik para bekas penjajah dengan mengenakan busana dan performa yang lain, sebagai investor asing. Di dalam negeri, segelintir pedagang dan pengusaha yang kemudian disebut Aseng, beroleh tempat strategis dalam pembangunan ekonomi.

Secara ekonomi, di Negeri Gaddaarstan ketimpangan terjadi. Segelintir orang menguasai kekayaan lebih dua pertiga kekayaan rakyat | dok_eCatri
Reformasi Deformatif
Segelintir kalangan itu menjadi kaya raya dan membangun imperium bisnis mereka dalam suatu konglomerasi. Untuk memelihara kondisi, mereka mulai menebar racon kolusi dan korupsi. Nepotisme pun menjalar di lapangan ekonomi, sosial, dan politik.
Kemiskinan rakyat dipelihara. Kecerdasan rakyat dikendalikan, dengan memodifikasi politik etis penjajah. Rakyat tak menyadari, karena akses mereka terhadap modal, pasar, dan informasi terpelihara dengan berbagai program pembangunan. Pada situasi demikian, nepotisme bergerak begitu rupa.
Belakangan, ketika krisis melanda dunia, pilantropi politik menjalar dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kapitalisme global yang bergerak intensif dan agresif. Demokrasi sebagai pilihan sistem penyelenggaraan negara ‘terbaik dari yang terburuk’ tak lagi dapat dikendalikan penguasa.
Kaum terdidik, khasnya para intelektual dan mahasiswa di kampus dan para aktivis demokrasi di tengah masyarakat rakyat mulai menyadari: kolusi, korupsi, dan nepotisma sebagai penyakit kebangsaan (state cancers) sudah menjalar dan menimbulkan bencana keadilan dan kemanusiaan.
Kaum intelektual, mahasiswa, tanpa kecuali kaum perempuan bergerak. Penguasa dan pemerintahan tumbang. Konglomerasi yang menjadi salah satu sumber ketidak-adilan, roboh. Mereka memilih jalan perubahan reformasi, jalan perubahan menyeluruh di berbagai bidang dan aspek. Jalan perubahan yang panjang, sehingga perubahan berlangsung lambat dan ketika tak pandai mengelolanya bergerak menuju perubahan deformatif.
Kaum intelektual, mahasiswa, dan para pemimpin tak memilih jalan perubahan revolusi yang bergerak cepat (dengan risiko tinggi) menggelora di awal kemerdekaan dan terbukti tak mampu membahagiakan rakyat.
Mereka juga tak memilih jalan perubahan tranformasi yang lebih fokus. Jalan perubahan transformasi merupakan jalan perubahan dramatik yang terukur dan dapat dikelola berdasarkan sceenario plan yang melibatkan rakyat.

Di negeri Gaddaarstan yang memilih jalan demokrasi banyak petinggi bertopeng dan berhias | dok.eCatri
Genderang Politik sebagai Panglima
Fase konsolidasi demokrasi berlangsung dengan segala dinamikanya. Sialnya, tak menambah baik kehidupan rakyat. Generasi pelanjut konglomerasi melihat banyak peluang untuk lebih menguasai negeri.
Mereka bergerak di tengah penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang masih gamang, dipermainkan ketidak-pastian, keribetan, dan kemenduaan. Mereka lantas berkembang menjadi oligarki, yang tak cukup hanya berkutat pada perekonomian. Namun, merayap dan ‘menguasai’ dunia politik dan pemerintahan yang masih korup.
Konsolidasi demokrasi perlahan bergerak tertata. Antara lain dengan sistem suksesi kepemimpinan nasional dan daerah yang terkelola dengan sistem. Pertumbuhan ekonomi pun membaik. Utang kepada lembaga keuangan internasional (International Monetary Fund) terlunasi. Bank Dunia memberi apresiasi dan nilai positif.
Pergantian kepemimpinan berjalan sesuai dengan sistem yang disepakati. Sejumlah kalangan dan partai politik menyiapkan calon petinggi baru yang mereka lihat punya daya resonansi politik baik dengan rakyat. Seorang petinggi, aktor politik yang terkesan lugu dan sederhana. Ehm. Belakangan bahkan menjadi media darling.
Isu-isu utama yang membuat negeri itu terseret ke dalam kubangan keberhasilan pembangunan dan tak mampu bertahan di bibir krisis, khasnya dalam tata kelola pemerintahan negara bangsa, menjanjikan di awal reformasi yang dipimpin seorang teknokrat kaliber dunia, Tapi, para wakil rakyat yang sangat dikuasai nafsi-nafsi partai politik, tak memberi waktu baginya menguatkan sendi-sendi dasar perubahan.
Genderang politik sebagai panglima kembali berbunyi, spirit demokrasi, inklusivitas sosio budaya menunjukkan pesonanya. Namun tata kelola pemerintahan dan pembangunan terabaikan. Instabilitas politik, kabinet pemerintahan yang berubah-ubah, menyebabkan situasi hightemp politic menjadi bara pertarungan kepentingan. Pemimpin utama negeri itu pun dilengserkan melalui persekongkolan para petinggi politik.

Di negeri Gaddaarstan, kolusi korupsi dan nepotisma tak pernah mampu dibasmi | dok_eCatri
Menghidupkan Nepotisma
Pemimpin utama berikutnya berhasil mengubah situasi, antara lain dengan membentuk berbagai lembaga ekstra. Termasuk mendirikan lembaga khas pemberantasan rasuah (kolusi dan korupsi) dan mahkamah yang untuk menegakkan konstitusi. Namun tak kuasa menahan hasrat politik untuk melakukan amandemen konstitusi.
Amandemen konstitusi menjadi pemicu gonjang-ganjing baru praktik politik. Tiada lagi lembaga tertinggi negara yang mempunyai ekstra daya yang mempunyai fungsi sebagai pengambil keputusan akhir kedaulatan rakyat untuk melakukan tindakan sesuai prinsip permusyawaratan.
Partai-partai politik melalui para wakilnya di lembaga perwakilan rakyat pun menyusun dan merumuskan undang-undang yang mengatur perihal praktik demokrasi semasa. Khasnya, berkaitan langsung dengan suksesi kepemimpinan nasional.
Melalui sistem pemilihan umum yang dianggap lebih demokratis — yang belum menguatkan sistem budaya politik — suksesi kepemimpinan nasional sampai ke daerah berlangsung. Namun otonomi daerah yang dimaksudkan untuk mendekatkan layanan negara dan pemerintah lebih dekat dengan rakyat belum maksimal.
Bahkan berubah, menjadi ajang lahirnya raja-raja kecil di daerah. Sesuatu yang belakangan hari kembali menghidupkan nepotisma yang memungkinkan kolusi dan korupsi marak di seluruh wilayah. Selama satu dasawarsa kemudian, manajemen pemerintahan dan tata kelola negara melalui koalisi berbasis kepentingan — bukan berbasis pengabdian koletif — dan diniatkan sebagai konsolidasi demokrasi membuka lagi celah kolusi, korupsi dan nepotisma. Keberhasilan penyelenggara pemerintah dan negara melakukan aksi pembangunan yang mulai mendekati harapan rakyat kembali rontok.

Parlemen di negeri Gaddaarstan konstitusi diubah suai dan melahirkan petinggi tak kompeten | illustrasi tok sengon
Muslihat Adorakang
Pada masa itulah, petinggi dari berbagai kalangan yang diusung partai politik tanpa pertimbangan dan penelitian yang matang perihal integritas, kecerdasan, komitmen kebenaran dan keadilan, tak terumuskan baik. Dilanda obsesi politik yang buram. Lantas memberi peluang bagi para petinggi, mengingkari janji politik mereka kepada rakyat. Utamanya, petinggi Adorakang yang berbakat menjadi penderhaka.
Partai politik — untuk dan atas nama rakyat — yang tergoda oleh mitos ratu adil, populis, mengusung para petinggi di daerah, terjebak oleh pesona persona petinggi yang seolah-olah ideal, namun banal. Karena ketika diberi kekuasaan, hilang rasionalitasnya, terlahap oleh irrasionalitas. Kekuasaan lebih diselenggarakan dengan naluri dan obsesi kekuasaan. Sesuatu yang mengubah kepribadiannya dan melangkah ke jalan megalomania.
Sikap megalomaniak menghantar negara bangsa ke bibir petaka. Dusta yang terpupuk dan terbiarkan oleh sokongan partai politik di parlemen, obsesi sebagai raja menguasai diri, karena para petinggi ‘pak turut’ dan ‘mak turut’ menekuk kekuasaan sebagai daya rusak yang dahsyat. Obsesi megalomania menyebabkan negeri tertimbun utang luar negeri, populisme otokratik, dan mengubah democracy menjadi democrazy. Rakyat terbelah melalui politik belah bambu dan polarisasi akut, dengan memelihara ‘pendukung pandir,’ pendengung dan influencer berbayar yang jauh dari patriotisma. Barisan penghianat dan penderhaka dengan iming-iming képéng dan bénggol.
Negeri itu terpuruk dan berubah nama menjadi Gaddaarstan setelah berusia lebih dari oyakala alias tujuh dasawarsa. Negeri yang semula berkepribadian dengan adab dan keadaban yang tinggi, nyaris tak lagi bermarwah. Demokrasi dan tata kelola pemerintahan – negara mengalami masa surut dan babas di ujung masa pemerintahan Adorakang.
Adorakang memainkan taktik tipu daya dan muslihat sebagaimana di masa kolonial dilakukan penjajah. Partai-partai politik menyediakan kepala dan eksistensi mereka menjadi sandera politik. Mereka menjadi politisi yang sentiasa berhadapan dengan hidangan buah simalakama.
Hasrat Adarekang menghidupkan dinasti politik nyaris berjalan mulus, sebagaimana mulusnya proses mengubah-ubah undang-undang dan konstitusi. Kolusi, korupsi, dan nepotisma mendapat ruangnya kembali secara lebih berterus terang. Konstitusi dipermainkan dengan tafsir sesuka hati oleh para penegak hukum yang dijerat dengan syahwat persona, lantas menghadirkan nepotisma berat.

Pusat kekuasaan menjadi misteri di negeri Gaddaarstan dan tak semua orang bisa ditaklukan | dok.eCatri
Tak Semua isa Ditaklukan
Tak berhasil memperpanjang masa kuasa, Adorakang menghidupkan syahwat kuasa dengan menekuk bekas lawan politik yang telah menjadi bagian rezim kekuasaannya — yang tangguh dan konsisten memelihara ambisi kuasanya.
Adorakang menawarkan dan menyediakan muslihat politik yang selama satu oyaka dilakoninya. Dengan cara yang tak dipahami kebanyakan rakyat, dia menyiapkan ‘putera mahkota’ sebagai mitra calon penggantinya. erbagai partai politik pun mendukung taktik itu.
Lawan-lawan politik yang dijinakkan disediakan power candies dan yang konsisten pada orientasi populis modes yang murni, serta tak mampu dijinakkan, dihadapkan dengan threats and crimes power yang pahit dan menggetarkan.
Tak semua lawan politik bisa ditaklukkan oleh Adorakang. Khasnya kaum cendekia negarawan yang lebih memilih bersama rakyat berkesadaran politik. Khasnya rakyat terdidik dan tak terbeli oleh iming-iming imbalan. Adorakang berhasil memainkan muslihat politiknya.
Petinggi penerusnya, yang dipasangkan dengan ‘putera mahkota’ itu pun memenangkan kontestasi. Lantas menghimpun seluruh partai politik pendukung Adorakang, mendukung pemerintahannya.
Meski di hari wisuda kawasa berteriak lantang mewakafkan diri untuk kepentingan rakyat, meluahkan retorika pembanterasan rasuah, dan berbagai tekad kebangsaan — yang boleh jadi benar secara personal — namun tetap menebar keraguan.
Rakyat yang cerdas dan aktivis politik cendekia menyambut sukacita turun tahtanya Adorakang, seraya mencatat dan mencermati kritis luah retoris pernyataan penggantinya. Mereka lah yang kelak akan menjadi barisan penegak prinsip semak dan imbang kuasa (check and balances), kala parlemen akan kerap menganggukan kepala dan selalu siaga untuk meneriakkan kata “setuju!’ di ruang paripurna parlemen. Penanda utama negeri Gaddaarstan.. |
