Jalan Kebudayaan
untuk Pembangunan Berkelanjutan

SENIN, 26 Agustus 2024, Akademi Jakarta kembali menggelar program tahunannya, “Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).” Kali ini menghadirkan Hilmar Farid, aktivis dan cendekiawan kebudayaan yang juga Direktur Jendral Kebudayaan – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi (Kemendikbudristek) – Republik Indonesia. Hilmar Farid memusatkan bahasan kuliahnya tentang pengetahuan vernakular. Kuliah yang berlangsung di lobi Teater Besar Taman Ismail Marzuki – Jakarta, itu dihadiri keluarga STA, seniman, mahasiswa, pemikir kebudayaan, dan anggota Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta. Program ini juga diikuti melalui zoom dan YouTube. Silakan simak.

Hilmar Farid

Kita mengenal Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pemikir dan pejuang kebudayaan yang berperan penting dalam perjalanan sejarah intelektual di negeri ini. Perhatiannya sangat luas, mulai dari sastra dan bahasa, sains dan teknologi, filsafat dan sejarah. Takdir terlibat dalam banyak perdebatan kunci yang ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, terutama Polemik Kebudayaan pada 1930an mengenai arah kebudayaan nasional setelah Indonesia merdeka. Takdir seperti kita ketahui menganjurkan kita mengadopsi peradaban Barat sebagai kunci menuju kemajuan, sementara tokoh lainnya terutama Ki Hadjar Dewantara
dan Sanusi Pane menekankan pentingnya mempertahankan dan mengembangkan tradisi. Walau sepintas nampak seperti posisi berhadapan yang tidak dapat dipertemukan, ada garis singgung di antara keduanya yang kurang lebih mengatakan bahwa modernitas harus disaring dan disesuaikan dengan konteks Indonesia.

Takdir dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa kritiknya terhadap kebudayaan di masa feodal dan kolonial adalah pada sifatnya yang statis yang membuat orang sulit berkembang. Ikatan keluarga, desa, dan adat, dalam banyak hal menghalangi kemajuan. Karena itu diperlukan intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme. Dan ini
bukan masalah pilihan ini atau itu, tetapi masalah kadar. Dalam konteks masyarakat Indonesia masa itu individualisme sama sekali absen sehingga perlu kadar individualisme perlu ditambah tanpa
harus takut menjadi manusia individualis seperti halnya di Barat.1 Takdir menyadari betul masalah yang timbul akibat kadar intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme di dunia Barat. Sebaliknya ia juga menghargai tradisi yang baik dan positif, yaitu local genius, berupa tenaga kreatif estetik dan kemampuan mencerna kebudayaan lain dan mengartikulasikannya dalam bentuk yang baru.2

Perdebatan mengenai pentingnya sains, teknologi, dan peradaban Barat di satu
sisi dengan pentingnya warisan tradisi
di sisi lain masih terus mewarnai diskusi publik sampai hari ini, yang sekali lagi mengkonfirmasi bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan dilema biner antara modernitas dan tradisi. Persoalan terpenting adalah pertemuan yang
saling mengisi antara sains, teknologi,
dan peradaban Barat dengan tradisi dan pengetahuan vernakular. Bukan dalam bentuk penjarahan pengetahuan seperti yang ditunjukkan Vandana Shiva dalam studinya tentang Revolusi Hijau, tapi dalam hubungan yang lebih adil dan setara.3

Pengetahuan vernakular memiliki kelebihan dalam menghasilkan solusi yang lebih sesuai dengan konteks tempat pengetahuan itu tumbuh. Apa yang berlaku di satu tempat belum tentu berlaku di tempat lain. Sains dan teknologi modern bisa membantu menghubungkan berbagai solusi lokal yang unik menjadi satu solusi yang holistik. Dan inilah kiranya makna dari frasa memajukan kebudayaan.

Dalam kesempatan ini saya bertolak
dari pemikiran Takdir dan mencoba menjelajahi kemungkinan mengintegrasikan pengetahuan vernakular dengan sains dan teknologi modern sebagai basis pemajuan kebudayaan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian
seperti sekarang kita memerlukan perangkat pemikiran, strategi, dan solusi yang andal.4 Tentu ini bukan tugas yang mudah mengingat produksi pengetahuan modern yang cenderung mengabaikan dan meremehkan pengetahuan vernakular. Diperlukan langkah khusus untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan pengetahuan vernakular sebagai sesuatu yang setara dengan sains dan pengetahuan modern. Dekolonisasi pengetahuan dalam konteks ini adalah keharusan agar kita bisa keluar dari kejumudan intelektual sekarang ini.

Salah satu pranata kunci dalam upaya ini adalah lumbung pengetahuan vernakular, sebuah repositori pengetahuan yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama. Praktek lumbung ini mulai mengemuka dalam beberapa tahun terakhir dan melibatkan komunitas lokal, seniman dan pelaku budaya, pemerintah, serta dunia usaha. Walau prakarsa ini masih dalam taraf yang sangat awal benihnya sudah mulai tumbuh dan berkembang, dan dapat berperan signifikan di masa mendatang.

Indonesia Pusat Keanekaragaman Biokultural

Indonesia adalah negeri dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang luar biasa. Dalam bentang alamnya yang luas, terbentang ribuan spesies flora dan fauna yang tidak hanya menjadi bagian dari ekosistem alam, tetapi juga menyatu dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya. Di kenyataan inilah muncul konsep biocultural diversity atau keanekaragaman biokultural yang didefinisikan sebagai “keanekaragaman hidup dalam segala manifestasinya—biologis, kultural, dan linguistik—yang saling terhubung (dan agaknya berevolusi bersama) dalam sebuah sistem sosio-ekologis yang kompleks dan adaptif.5 Jika selama ini keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya dilihat secara terpisah sebagai objek kajian dari dua disiplin ilmu yang berbeda, yakni biologi dan antropologi, dewasa ini keduanya cenderung dilihat sebagai suatu kesatuan.

Keanekaragaman biokultural adalah suatu bentuk adaptasi, sebuah respons terhadap tantangan hidup yang terus berubah. Seperti halnya spesies dalam alam yang beradaptasi terhadap lingkungannya, kebudayaan manusia juga berkembang untuk menjawab tantangan sosial dan lingkungan. Keanekaragaman karena itu bukanlah salah satu fakta kehidupan di antara berbagai fakta lain, melainkan satu- satunya fakta yang membuat kita hidup. Tanpa keanekaragaman ketahanan akan rendah berhadapan dengan tantangan hidup yang terus berubah. Keanekaragaman karena itu adalah basis dari keselamatan, sama halnya penyeragaman seperti halnya pertanian monokultur adalah basis bagi bencana.

Indonesia memiliki posisi unik di dunia dalam hal ini. Berdasarkan Indeks Global Keanekaragaman Biokultural yang dikembangkan oleh etnobiolog Jonathan Loh dan konservasionis David Harmon, Indonesia berada di peringkat tertinggi dalam hal keanekaragaman biokultural.6 Masalahnya dalam narasi tentang Indonesia, dalam rencana pembangunan, fakta yang sangat fundamental ini hampir tidak pernah dibicarakan. Padahal jika keanekaragaman biokultural ini dikembangkan secara optimal Indonesia dapat merajai berbagai bidang seperti pertanian dan pangan, farmasi dan kesehatan, sandang dan kerajinan, dan sebagainya. Kontribusinya bukan hanya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri tapi bagi masyarakat dunia.

Ironisnya pembangunan kita sekarang ini bertopang pada industri monokultur yang justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengancam keanekaragaman biokultural ini. Di tingkat global industri monokultur bertanggungjawab atas hilangnya habitat bagi berbagai spesies, sementara penggunaan pestisida dan pupuk kimia—yang merupakan ciri
industri monokultur—memperburuk degradasi tanah dan polusi air. Di Indonesia perkebunan kelapa sawit menyebabkan deforestasi dalam skala sangat besar yang mengancam spesies endemik seperti orang utan dan harimau, serta melepaskan emisi karbon yang signifikan dan menjadikan Indonesia salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di tingkat dunia.

Jika arah kebijakan ini terus dipertahankan kita akan kehilangan modal penting
yang disediakan oleh alam dan sejarah kepada kita. Kritik terhadap industri monokultur sudah banyak disampaikan, informasi mengenai kerugian yang akan kita derita juga sudah sering dibicarakan. Aksi untuk mengubah arah kebijakan ini tidak cukup dengan menunjukkan kekurangan, tapi mesti dilengkapi dengan solusi alternatifnya. Pemahaman bahwa kombinasi kekayaan alam dan budaya ini sudah cukup kuat, termasuk di kalangan kepemimpinan nasional. Presiden Jokowi dalam pertemuan Forum Rektor Indonesia pada 2017 sudah menyampaikan bahwa:

“Kalau kita bersaing di IT (information technology), di teknologi, di industri, sulit kita mengejar negara-negara lain. Saya kadang-kadang berpikir apakah tidak sebaiknya
kita mengembangkan core business kita dengan seni budaya. Ini kekuatan menurut saya, DNA kita di situ (seni budaya). Mungkin ini jadi kekuatan kita ke depan.”

Untuk memastikan hal ini terwujud tentu perlu upaya bersama yang terkoordinasi dengan baik dan dengan investasi yang sepadan. Tapi sebelum sampai ke sana kita perlu tahu mengapa selama ini perhatian terhadap kekuatan nyata kita, yaitu kombinasi kekayaan alam dan kekayaan budaya, begitu minim? Mengapa kita tidak bergerak memanfaatkan kekayaan yang luar biasa ini? Apa yang menghalangi kita bahkan untuk berpikir ke arah sana?

Salah seorang puteri Sutan Takdir Alisjahbana – Tamalia, menyerahkan cendera hati Akademi Jakarta karya pematung Dolorosa Sinaga | delanova

Kolonialisme dan Penciptaan Ketidaktahuan

Ketika berbicara tentang kolonialisme, kita biasanya membayangkan kekerasan fisik, penindasan ekonomi, perampasan, dan penjarahan. Praktek kolonial tidak berhenti di sana. Salah satu dampak kolonialisme yang paling merusak dan bertahan lama, bahkan setelah kekuasaan kolonial berakhir, adalah penaklukan kultural. Kekuasaan kolonial menanamkan sikap inferior dengan menganggap pengetahuan masyarakat lokal, termasuk beragam ekspresi budaya yang sebenarnya sangat kaya, sebagai kebudayaan yang tidak bermakna, dan bahkan terbelakang. Masyarakat lokal terpelajar kemudian menginternalisasi gagasan superioritas budaya, nilai, dan cara hidup penguasa kolonial dan membentuk semacam mentalitas kolonial (colonial mentality). Hal yang tidak diangkat
oleh penguasa kolonial adalah fakta
bahwa dalam proses tersebut mereka sesungguhnya mengambil alih banyak sekali pengetahuan vernakular yang disebutnya inferior dan terbelakang ini untuk kepentingan mereka sendiri.

Pada masa pra-kolonial Nusantara adalah ruang dengan pengetahuan vernakular yang sangat beragam dan kaya. Masyarakat Nusantara hidup tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, menghadapi beragam ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Mereka memahami berbagai pola ekologi yang kompleks, merekam pengetahuan itu dalam tradisi lisan dan berbagai ekspresi budaya lainnya, dan mewariskannya secara turun-temurun. Pengetahuan ini tidak terbatas pada cara bercocok tanam atau berburu tetapi juga mencakup pengobatan, navigasi, bahkan astronomi. Sifatnya tidak hanya praktis untuk bertahan hidup tapi juga memiliki dimensi spiritual dan kultural yang kuat. Jangkauannya tidak terbatas pada desa atau komunitas yang berdekatan tapi melintasi lautan ke berbagai belahan dunia. Teknik tenun ikat yang berasal dari Asia Tenggara juga ditemukan di India, Jepang, bahkan Amerika Tengah.

Kedatangan kolonialisme Eropa membawa perubahan drastis dalam produksi dan sirkulasi pengetahuan ini. Kapal-kapal Eropa yang menjelajahi Nusantara sejak abad 16 tidak hanya berawak pelaut dan tentara.

Di dalamnya ada juga para ilmuwan atau setidaknya orang dengan minat ilmiah, yang mencatat segala hal yang mereka temui. Mereka biasanya dibantu oleh orang lokal yang tidak sekadar menunjukkan tempat tapi juga mengantar dan mempertemukan mereka dengan masyarakat lokal. Kadang mereka berperan membuka akses dan memfasilitasi komunikasi dengan bertindak sebagai penerjemah. Hasil kerja bersama ini kemudian direkam menggunakan sistem pencatatan, klasifikasi, dengan istilah yang sama sekali berbeda dari pengetahuan vernakular. Nama mereka yang mengantar, menerjemahkan, menjelaskan, dan membuka jalan bagi para ilmuwan kolonial ini untuk memahami apa yang mereka hadapi, jarang muncul dalam catatan sejarah. Pengetahuan yang berguna diserap, diklaim sebagai ‘temuan ilmiah’ (scientific discovery) milik Eropa, sementara sisanya dicampakkan ke dalam pelupaan.8 Apa yang hari ini disebut sains modern sebenarnya bersandar antara lain pada pengetahuan vernakular.

Dalam proses selanjutnya kolonialisme
juga menciptakan apa yang disebut sebagai “ketidaktahuan terstruktur.” Antropolog James C. Scott menggambarkan bagaimana ideologi modernisme-tinggi (high-modernist ideology) yang diusung oleh negara kolonial, mereduksi kompleksitas kehidupan sosial dan ekologi menjadi skema administratif yang universal.9 Dari perspektif negara kolonial, Nusantara yang kompleks dan beragam dapat diringkas ke dalam satu kata: perkebunan. Segala keanekaragaman hayati dan budaya hanya masuk hitungan sejauh bisa mendatangkan keuntungan. Selebihnya diabaikan, direndahkan, dan dihancurkan. Pola hidup berpindah misalnya dibatasi dan para perambah
hutan dipaksa untuk menetap. Secara perlahan mereka tidak lagi mengenal hutan, kehilangan pengetahuan yang menopang hidup mereka, dan menjadi sepenuhnya bergantung pada sistem kolonial. Alam yang semula dihargai dan dimuliakan kemudian dipandang sebagai sumberdaya yang harus dieksploitasi.

Hasil akhirnya adalah terciptanya kesenjangan pengetahuan yang besar antara masyarakat lokal dan elit kolonial. Masyarakat lokal yang sebelumnya
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang lingkungan mereka, kini dipaksa untuk bergantung pada pengetahuan
yang diimpor dari luar. Pengetahuan vernakular, yang seharusnya menjadi sumber daya penting untuk keberlanjutan dan kemandirian, direduksi menjadi sesuatu yang tidak relevan dan usang. Kekerasan epistemik ini terus berlangsung setelah kemerdekaan dan bahkan sampai hari ini. Kolonialisme secara formal telah berakhir tapi praktik kolonial di bidang produksi pengetahuan dan kebudayaan masih terus berlangsung. Pengetahuan vernakular masih sering dipandang sebelah mata sebagai sesuatu yang inferior sementara sains dan pengetahuan modern menjadi standar emas dalam berbagai bidang.

Suasana Kuliah Kenangan STA – Akademi Jakarta | foto AJ/ Sandhyawan

Kemerdekaan sebagai Politik Pengetahuan

Kemerdekaan Indonesia bukan hanya sebuah pencapaian politik semata, tetapi juga sebuah upaya untuk membebaskan diri dari belenggu mentalitas kolonial yang telah berakar dalam. Presiden Sukarno memahami bahwa kemerdekaan mencakup politik pengetahuan—suatu transformasi dari kondisi kebodohan dan mentalitas kolonial yang dipaksakan oleh kolonialisme menuju kesadaran akan kekayaan budaya dan sejarah bangsa sendiri yang tetap terbuka pada perkembangan sains modern. Inovasi di tingkat akar rumput di bidang pertanian dan perikanan bergandengan tangan dengan sains modern. Pemerintah membuka berbagai perguruan tinggi baru, membentuk lembaga penelitian dan asosiasi keilmuan, meningkatkan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan. Untuk mengejar ketertinggalan dengan cepat, Sukarno mengirim ribuan mahasiswa ikatan dinas ke berbagai negara di dunia untuk mendalami berbagai bidang keilmuan yang diperlukan oleh Indonesia merdeka. Dekolonisasi pengetahuan berlangsung di berbagai bidang dengan tingkat kecepatan dan kedalaman yang bervariasi.

Langkah penting ini kandas ketika
terjadi perubahan kekuasaan. Di masa Orde Baru produksi pengetahuan dikendalikan dan diawasi dengan ketat, dan dikerahkan sepenuhnya untuk mendukung pembangunan.10 Pandangan yang berbeda, apalagi yang bertentangan, dilarang. Pembangunan menjadi ‘isme’ tersendiri dengan fokus tunggal pertumbuhan ekonomi dan paling terlihat dalam pelaksanaan Revolusi Hijau yang mengubah pertanian Indonesia secara sangat signifikan pada 1970an. Revolusi Hijau ini memperkenalkan paket teknologi pertanian baru, yakni benih varietas unggul yang berdaya hasil tinggi atau high-yielding varieties. Benih ini memang dirancang untuk menghasilkan lebih banyak gabah per hektar dan juga lebih tahan hama dan penyakit. Masa panen juga lebih singkat sehingga panen bisa lebih dari satu kali setahun. Tapi sebaliknya benih ini ketergantungannya pada input eksternal seperti pupuk dan pestisida sangat
tinggi. Ketika digunakan secara massal maka terjadi degradasi tanah dan juga pencemaran air. Secara umum praktek ini juga mengurangi keanekaragaman hayati.

Secara sosial pengaruh Revolusi Hijau ini sangat mendalam. Penggunaan teknologi pertanian modern yang mempercepat proses produksi dan meningkatkan hasil panen secara signifikan ternyata justru memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Panen yang lebih sering menuntut pengerahan tenaga kerja yang lebih banyak, dan para pemilik tanah
besar merekrut tenaga kerja musiman
lebih sering. Praktek gotong-royong
yang menjadi norma kehidupan di desa digantikan oleh hubungan kontrak
antara tuan tanah dan petani penggarap. Peningkatan hasil panen membuat produksi beralih dari subsisten untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat menjadi berorientasi pasar. Perempuan yang semula berperan penting dalam proses produksi, terutama saat panen, kehilangan peran ketika terjadi pergantian alat pertanian modern yang memerlukan tenaga besar untuk mengoperasikannya. Kebersamaan komunitas yang menjadi ciri dari pertanian tradisional pun berakhir saat Revolusi Hijau mulai menjalar ke seluruh negeri.

Sistem pertanian rakyat yang berbasis pengetahuan vernakular mengenai keanekaragaman hayati pun diganti
dengan pertanian monokultur. Di satu sisi memang benar bahwa hasil dari pertanian monokultur lebih banyak dan meningkatkan pendapatan secara signifikan. Masalahnya adalah harga yang harus dibayar oleh masyarakat karena praktek semacam ini. Peningkatan pendapatan dirasakan terutama oleh para petani kaya dan bukan oleh masyarakat secara keseluruhan. Fokus pada tanaman yang menguntungkan secara komersial membuat keanekaragaman pangan lokal direduksi dan bahkan dihilangkan.11 Dalam satu generasi terjadi perubahan pola konsumsi pangan secara sangat signifikan. Konsumsi beras per kapita meningkat drastis dan sumber pangan lain ditinggalkan. Di banyak tempat bahkan sumber pangan selain beras dianggap rendah dan tidak pantas dimakan. Politik pengetahuan yang menganggap konsumsi beras secara sosial dan kultural lebih unggul dari lainnya sebenarnya meneruskan pola kolonial di masa lalu.

Dengan latar seperti ini kita melihat pentingnya meneruskan dekolonisasi pengetahuan, bukan hanya untuk mengangkat pengetahuan vernakular yang dipinggirkan tapi juga merombak
cara pandang kita terhadap pengetahuan itu sendiri. Kita perlu menantang narasi global yang menempatkan pengetahuan dan peradaban modern Barat sebagai sumber kebenaran dan menempatkan pengetahuan vernakular dalam posisi setara agar dapat berkembang dan berkontribusi dalam skala global. Jembatan antara pengetahuan vernakular dengan sains
dan teknologi modern perlu diperkuat sehingga keduanya dapat memperkaya
dan berkontribusi untuk pembangunan yang berdaulat dan berkelanjutan. Anjuran Sutan Takdir untuk menerjemahkan sebanyak mungkin buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Indonesia dalam konteks ini menjadi langkah strategis yang sangat penting. Dekolonisasi pengetahuan antara lain dilakukan melalui penguatan bahasa nasional sehingga mampu berdiri setara dengan bahasa dunia lainnya, sebagai landasan pertukaran pengetahuan yang berkelanjutan.

Jika melihat sejarah kolonialisme pengetahuan di atas tentu timbul pertanyaan apakah saat ini masih ada pengetahuan vernakular yang hidup dalam masyarakat kita? Apakah modernisasi selama beberapa dekade ini tidak mengikis habis apapun yang tersisa dari pengetahuan itu? Hal menarik dari perjalanan keliling ke banyak tempat di negeri ini, pengetahuan vernakular yang menjadi bekal untuk mengolah keanekaragaman biokultural kita justru ditemukan di daerah yang tergolong 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Ironis bahwa daerah yang justru memiliki bekal yang luar biasa untuk kehidupan mendatang sekarang justru dianggap serba kekurangan sehingga harus selalu ditunjang dari luar agar bisa bertahan. Masyarakat yang sebenarnya masih mengenal dan mewariskan pengetahuan mereka kepada generasi selanjutnya, sama halnya seperti di masa kolonial, dianggap serba kurang dan tertinggal. Tantangannya karena itu adalah merevitalisasi pengetahuan vernakular ini secara menyeluruh dan berkelanjutan, dengan membentuk mekanisme produksi dan pengelolaan pengetahuan yang tepat.

Setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya revitalisasi pengetahuan vernakular sebagai basis pembangunan berkelanjutan ini. Pertama, tidak memperlakukan pengetahuan vernakular sebagai sesuatu yang statis
dan berasal dari masa lalu. Dalam proses revitalisasi kita perlu mempelajari perkembangan dari pengetahuan itu, termasuk hubungannya dengan berbagai pengetahuan dan ekspresi budaya yang lain. Revitalisasi bukan berarti kembali kepada sesuatu yang ‘asli’ melainkan mendorong kembali inovasi dan persenyawaan pengetahuan lintas bidang dan komunitas. Kedua, sains dan teknologi modern bisa berperan penting dalam proses revitalisasi jika dibebaskan dari monopoli pengetahuan yang dilakukan segelintir perusahaan global yang terkaya.12 Demokratisasi sains dan teknologi adalah keharusan agar dialog yang tulus dan produktif dengan para custodian pengetahuan vernakular bisa terjadi. Ketiga, pelembagaan dari revitalisasi pengetahuan vernakular ini, yang akan saya uraikan dalam bagian berikut.

Hilmar Farid bersama keluarga STA, anggota Akademi Jakarta dan wakil Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki | AJ

Mengelola Lumbung Pengetahuan Vernakular

Amanat UUD 1945 tentang kebudayaan tertera dengan jelas dalam pasal 32 ayat
1, yang berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Sementara pasal 28i ayat 3 berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Kedua pasal ini yang memandu perumusan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Konsep dasarnya adalah pemajuan kebudayaan yang terkait dengan fakta bahwa negeri yang baru merdeka ingin mengejar ketertinggalan setelah lama hidup di bawah penindasan kolonial. Pemajuan kebudayaan adalah langkah penting untuk memulihkan identitas budaya, mengembangkan ilmu, pengetahuan, dan berbagai ekspresi artistik, sehingga tidak lagi tergantung pada kekuatan lain dan dapat menentukan arah perkembangannya sendiri dalam pergaulan dunia yang setara dan adil.

Pengetahuan vernakular mendapat tempat khusus dalam UU tersebut. Pasal 5 menetapkan sepuluh obyek pemajuan kebudayaan, yaitu (1) tradisi lisan, (2) manuskrip, (3) adat istiadat, (4) ritus, (5) pengetahuan tradisional, (6) teknologi tradisional, (7) seni, (8) bahasa, (9) permainan rakyat, dan (10) olahraga tradisional. Jika diperhatikan semuanya adalah bagian atau terkait dengan apa yang kita sebut pengetahuan vernakular. Taksonomi ini lahir dari pembahasan yang mendalam terhadap berbagai norma internasional maupun nasional. Dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage tahun 2003, UNESCO menggunakan konsep payung intangible cultural heritage yang terdiri atas sejumlah domain, antara lain (1) tradisi lisan, termasuk bahasa, (2) seni pertunjukan, (3) praktek sosial, ritual, dan perhelatan lainnya, (4) pengetahuan dan praktek terkait alam semesta, serta (5) kerajinan tradisional. Sementara WIPO menggunakan konsep payung traditional knowledge dan traditional cultural expressions.

UU lebih jauh mengatur siklus pemajuan kebudayaan yang dimulai dengan (1) perlindungan, yang mencakup inventarisasi, penyelamatan, pemeliharaan, pengamanan, dan publikasi objek pemajuan kebudayaan, lalu (2) pengembangan, yang mencakup kajian, pengayaan keragaman, dan penyebarluasan, yang bermuara pada (3) pemanfaatan untuk memperkuat identitas dan ketahanan budaya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta memperkuat kehadiran dan posisi Indonesia di dunia internasional. Agar keseluruhan siklus ini berjalan dengan baik dan optimal maka diperlukan (4) pembinaan sumberdaya manusia dan lembaga kebudayaan yang andal. Saat ini sudah ada PP No. 87 Tahun 2021 sebagai pedoman pelaksanaan amanat UU dan Peraturan Presiden No. 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan yang memberikan arah kebijakan pemajuan kebudayaan selama 20 tahun. Singkat kata, kerangka hukum dan kebijakan untuk menjalankan misi revitalisasi pengetahuan vernakular sudah tersedia.

Tapi sebelum sampai ke hal-hal yang lebih praktis saya ingin membahas konsep lumbung. Seperti kita tahu lumbung adalah pranata sosial yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat kita di masa lalu sebagai tempat menyimpan bahan pangan untuk kepentingan bersama. Dasar beroperasinya adalah solidaritas sosial, di mana bahan pangan tidak dianggap sebagai komoditas untuk diperjualbelikan tapi terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahan pangan dalam budaya lumbung dengan kata lain adalah milik bersama atau commons yang dikelola secara kolektif oleh komunitas.13 Dalam produksi dan pengelolaan pengetahuan, lumbung adalah metafora yang menggambarkan tempat penyimpanan dan pengelolaan pengetahuan secara kolektif. Seperti lumbung yang menyimpan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan komunitas, lumbung pengetahuan melambangkan tempat di mana pengetahuan dikumpulkan, disimpan, dirawat, dan dibagikan secara bersama-sama. Konsep ini menekankan pentingnya kolaborasi dan keterlibatan komunitas dalam menjaga dan memanfaatkan pengetahuan untuk kepentingan bersama, serta memastikan keberlanjutan dan ketersediaan pengetahuan bagi generasi mendatang.

Di era digital, praktik lumbung pengetahuan menemukan ruang baru yang memungkinkan penyimpanan, distribusi, dan akses pengetahuan menjadi jauh
lebih efektif dan meluas. Teknologi digital memungkinkan pengetahuan yang dulunya terikat pada batas-batas fisik dan waktu kini dapat diakses kapan saja dan dari mana saja. Platform digital menawarkan cara untuk menyimpan pengetahuan dalam bentuk yang lebih dinamis dan interaktif, sehingga memudahkan kolaborasi lintas wilayah dan lintas disiplin. Selain itu, digitalisasi pengetahuan memungkinkan diversifikasi sumber daya, di mana berbagai perspektif dan pengetahuan
lokal yang sebelumnya terpinggirkan
dapat diintegrasikan ke dalam arus utama. Namun, tantangan dalam mengelola akses dan menjaga otentisitas pengetahuan tetap ada, menuntut kita untuk terus berinovasi dalam menciptakan sistem yang inklusif dan berkelanjutan, memastikan bahwa pengetahuan yang tersimpan dalam “lumbung digital” dapat memberikan manfaat yang adil bagi semua lapisan masyarakat.

Perlindungan warisan budaya yang diamanatkan UU dimulai dari registrasi,
di mana peran masyarakat, pemerintah daerah, serta komunitas menjadi sangat vital. Proses ini bukan hanya sekadar pencatatan, tetapi juga sebuah pengakuan atas kekayaan intelektual yang terkandung dalam warisan budaya kita. Melalui registrasi yang dilakukan secara mandiri oleh berbagai pihak, data yang terkumpul kemudian diolah oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dimasukkan ke dalam Data Pokok Kebudayaan. Data ini tidak hanya disimpan, tetapi juga diperkaya dengan penyusunan metadata yang memungkinkan rujuk silang antara berbagai jenis warisan budaya. Proses ini menjadikan data lebih mudah diakses dan memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antarbudaya, serta penggunaannya untuk berbagai keperluan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Setelah registrasi dan penetapan, langkah berikutnya yang krusial adalah pengamanan dan, bila diperlukan, penyelamatan kekayaan intelektual yang terkandung dalam warisan budaya takbenda tersebut. Tugas ini menuntut kerjasama lintas  sektor dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual di Kementerian Hukum dan HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan di Kementerian Kesehatan, serta Pusat Penelitian Biologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Upaya ini juga merupakan bagian dari implementasi UU No. 5 Tahun 2017 tentang Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu (SPKT). Di dalam SPKT, data strategis seperti Indikasi Geografis dan Kekayaan Intelektual Komunal
harus diintegrasikan secara menyeluruh. Konsolidasi ini mencakup berbagai pangkalan data penting, termasuk yang ada di BRIN, Indonesia Biodiversity Information Facility (InaBIF), Repositori Ilmiah Nasional, Indonesia OneSearch, serta Perpustakaan Nasional, sehingga membentuk jaringan data yang kuat dan komprehensif.

Dalam konteks pengelolaan biocultural diversity, pengintegrasian pengetahuan lokal ke dalam SPKT ini sangat penting. Indonesia, dengan kekayaan biodiversitas dan budaya yang besar, seharusnya berperan sentral dalam industri wellness global. Seperti diketahui industri wellness berkembang sangat pesat dan sekarang total nilainya sudah mencapai 5,6 triliun USD dan diperkirakan terus tumbuh
sebesar 52% sampai 2027.14 Peran atau
andil Indonesia dalam ranah yang sedang tumbuh pesat ini sangat terbatas. Padahal, pengelolaan yang kita bicarakan dalam naskah ini bertujuan untuk menguatkan peran tersebut. Pengembangan warisan budaya melalui penelitian yang mendalam pada berbagai aspek—baik teknikal, kultural, maupun historis—bukan hanya bertujuan untuk melestarikan, tetapi juga untuk memadukan pengetahuan tradisional dengan sains dan teknologi modern. Sinergi ini memungkinkan terciptanya produk- produk inovatif yang dapat bersaing di pasar global, terutama dalam sektor wellness yang semakin memperhatikan kekayaan alam dan budaya sebagai fondasi kesejahteraan.

Pemanfaatan kebudayaan tidak hanya sekadar menjaga dan melestarikan warisan, tetapi juga memanfaatkannya secara
aktif untuk meningkatkan kesejahteraan, ketahanan budaya, dan pengaruh budaya Indonesia di kancah global. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa nilai- nilai dan praktik budaya vernakular tidak dibekukan menjadi kode yang kaku, tetapi terus berkembang sesuai kebutuhan zaman. Upaya ini akan membentuk masyarakat yang tidak hanya kaya akan pengetahuan tradisi, tetapi juga mampu menjadikannya sebagai landasan dalam kehidupan sehari- hari. ‘Pasar’ utama dari pengelolaan kekayaan intelektual ini adalah masyarakat itu sendiri, yang dengan tumbuhnya kesadaran budaya akan semakin menghargai dan mencari produk-produk yang berakar pada tradisi mereka. Dengan demikian, pengelolaan biocultural diversity juga dapat diarahkan untuk menciptakan produk-produk dalam industri wellness yang mengintegrasikan pengetahuan lokal dengan kebutuhan konsumen modern, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada kekayaan budaya dan ekologi.

Proses pembentukan konsumen yang sadar budaya ini pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya kesadaran publik untuk lebih jauh memanfaatkan potensi budaya lokal. Prakarsa masyarakat dalam memanfaatkan kekayaan budaya ini perlu dikonsolidasikan dalam sebuah platform kerja bersama, yang mengingatkan kita pada konsep lumbung dalam masyarakat tradisional— sebuah tempat di mana hasil-hasil upaya bersama dihimpun untuk kepentingan bersama. Di era digital, kita membutuhkan lumbung pengetahuan vernakular yang dapat menampung berbagai inovasi dan pengembangan wawasan tradisi dari seluruh lapisan masyarakat. Lumbung ini akan menjadi pusat dari segala upaya pemanfaatan warisan budaya, di mana setiap warga dapat berkontribusi dan memanfaatkannya untuk kepentingan bersama, dengan semangat kolektivitas yang kuat. Segenap inisiatif ini akan memastikan bahwa warisan budaya tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dihidupkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Lumbung pengetahuan bukan sekadar konsep, melainkan sebuah platform gotong royong yang melibatkan pelaku lintas-daerah dan lintas-budaya dalam upaya bersama untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan warisan budaya dalam semangat menghidupkan kepemilikan bersama
(the commons). Di dalam platform aksi
ini, solidaritas, saling-jaga, dan saling- bantu secara gotong royong menjadi metode pokok yang menggerakkan seluruh inisiatif. Dalam konteks era
digital, gagasan ini bukanlah utopia, melainkan sesuatu yang telah mulai terwujud dalam skala kecil melalui praktik- praktik seperti crowdsourcing dalam penyusunan Wikipedia, crowdfunding melalui penggalangan dana di Kickstarter, serta kampanye creative commons yang mempromosikan pemanfaatan gratis atas aset budaya digital milik bersama. Lumbung pengetahuan ini bertujuan untuk mengonsolidasi semua rintisan semacam itu, dengan berbasis pada pengelolaan pengetahuan vernakular yang berakar kuat dalam tradisi dan kebudayaan lokal.

Dengan adanya lumbung pengetahuan sebagai pusat kolaborasi, proses pemanfaatan kebudayaan akan semakin mengakar dan meluas, menciptakan jaringan kerja yang mampu menjawab tantangan zaman. Konsolidasi inisiatif- inisiatif digital ini tidak hanya memperkuat keberlanjutan warisan budaya, tetapi juga memperluas cakupannya sehingga dapat diakses dan dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Melalui platform ini, pengetahuan vernakular tidak hanya dipelihara, tetapi juga dikembangkan secara kolektif, memungkinkan terciptanya inovasi yang berakar pada tradisi tetapi relevan dengan kebutuhan dan tantangan masa kini. Pada akhirnya, lumbung pengetahuan ini akan menjadi simbol dari kekuatan gotong royong dan solidaritas dalam menjaga, mengembangkan, dan memanfaatkan warisan budaya demi kesejahteraan bersama, menciptakan generasi yang sadar budaya dan memiliki keberpihakan organik pada produk budaya vernakular.

Petani rumput laut teluk Bone – Sulawesi Selatan, salah satu titik biokultura Indonesia | dok eCatri

Menuju Masa Depan yang Berakar dan Bertumbuh

Dalam perdebatan panjang antara tradisi dan modernitas, seperti yang dipaparkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, kita menemukan bahwa jalan terbaik bukanlah memilih salah satu dan meninggalkan
yang lain, melainkan mengintegrasikan keduanya dalam sebuah harmoni yang saling mengisi. Takdir mengajukan bahwa modernitas, dengan segala intelektualisme, individualisme, dan materialisme, perlu diadopsi tetapi disesuaikan dengan
konteks lokal Indonesia. Sementara itu, pengetahuan vernakular, yang berakar dalam tradisi, memiliki kekuatan luar biasa yang mampu menjawab tantangan zaman dengan solusi yang relevan dan kontekstual.

Tantangan kita hari ini adalah menemukan titik temu antara pengetahuan vernakular dan sains modern, serta memastikan bahwa keduanya tidak hanya hidup berdampingan tetapi juga saling memperkaya.

Pengelolaan pengetahuan vernakular melalui lumbung pengetahuan yang terintegrasi dengan teknologi digital merupakan langkah strategis dalam membangun masa depan kebudayaan Indonesia yang berdaulat dan berkelanjutan. Lumbung pengetahuan
ini, sebagai manifestasi dari semangat gotong royong yang diusung oleh Takdir, menjadi simbol dari upaya bersama
untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan budaya dan ekologi yang kita miliki. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, kita harus memastikan bahwa pengetahuan lokal kita tetap relevan dan berdaya guna, tidak hanya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia tetapi juga sebagai kontribusi penting bagi dunia. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai pusat keanekaragaman biokultural, tetapi juga sebagai pemimpin dalam industri wellness global yang berbasis pada kekayaan budaya dan alamnya. Semangat ini, jika terus dijaga dan dikembangkan, akan membawa bangsa kita menuju masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat di kancah global.***

 

nota kaki:

1 “Semboyan yang Tegas,” dalam Polemik Kebudayaan, penyunting Achdiat K. Mihardja (Jakarta: Balai Pustaka, 1956), 12-20.

2 Bumantara: The Integration of Southeast Asia and its Perspectives in the Future (Jakarta: Dian Rakyat, 1987).

3 Vandana Shiva, The Violence of the Green Revolution: Third World Agriculture, Ecology, and Politics (London: Zed Books, 1991)

4 UNDP menyimpulkan dunia kita saat ini memasuki “a new uncertainty complex”, sebuah kompleks ketidakpastian baru, yang merupakan kombinasi krisis lingkungan, transformasi sosial yang cepat, dan konflik serta perang yang terus merebak. Lihat United Nations Development Program, Human Development Report 2021-22: Uncertain Times, Unsettled Lives: Shaping our Future in a Transforming World, New York, 2022.

5 Luisa Maffi dan Ellen Woodley, Biocultural Diversity Conservation: A Global Sourcebook (London: Earthscan, 2010), 5.

6 Jonathan Loh & David Harmond, “A global index of biocultural diversity,” Ecological Indicators 5 (2005) 231–241. Hanya ada tiga wilayah di dunia dengan keanekaragaman biokultural yang luar istimewa atau hotspots of biocultural diversity, yakni lembah Amazon di Brazil, Afrika Tengah, dan Nusantara.

7 Tak Harus Kejar Negara Industri, Jokowi: DNA Kita Seni-Budaya,” 2 Februari 2017, diakses 19 Agustus 2024, https://news.detik.com/berita/d-3412018/tak-harus-ke- jar-negara-industri-jokowi-dna-kita-seni-budaya.

8 Roy Ellen & Holly Haris, “Introduction,” dalam Indige- nous Environmental Knowledge and its Transformations: Critical Anthropological Perspectives, disunting oleh Roy Ellen, Peter Parkes, Alan Bicker, (Amsterdam: Harwood Academic Publishers, 2005), 7.

9 James C. Scott, Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (New Haven: Yale University Press, 1998), 112.

10 Ariel Heryanto, “The Development of ‘Develop- ment’,” vaonesia (46) 1988, 1-24.

11 Vandana Shiva, The Violence of the Green Revolution, 81.

12 Roberto Mangabeira Unger, The Knowledge Economy (London: Verso, 2019), 7.

13 Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evo- lution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).

14 Sub-sektor dari industri wellness dunia ini cukup luas, mulai dari produk perawatan diri dan kecantikan, makanan sehat dan bergizi, pariwisata wellness, kegia- tan fisik atau olahraga. Lihat Global Wellness Institute, Global Wellness Economy Monitor 2023 (November 2023).

Posted in LITERA.