Ronggéng Berdigit yang saya sebut Tekno Ronggéng patut diapresiasi sebagai wujud kesadaran baru tentang konstelasi seni tradisi di tengah transformasi era digital, sebagai bagian tak terpisah dari era agraris, industri dan informasi. Apresiasi dan respek pula kepada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, promotor, dan seluruh dewan penguji karya cipta dan disertasi Mala.
Catatan Bang Sèm
Lobi salah satu hotel bintang lima di kawasan bundaran Hotel Indonesia – Jakarta siang itu terasa nyaman. Berbeda dengan di ruang terbuka Jalan Thamrin, beberapa meter di depannya.
Saya terlibat perbincangan dengan Endang Caturwati (Endang) – guru besar ilmu seni pertunjukan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dan Rosmala Sari Dewi (Mala) kandidat doktor seni pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta. Keduanya koregrafer dan penari.
Saya lihat hubungan keduanya, laiknya ibu dengan anak, katimbang guru dengan murid. Mala adalah murid Endang ketika menyelesaikan S1 di ISBI Bandung, sebelum melanjutkan studi S2 di Institut Kesenian Jakarta.
Keduanya, sama memusatkan penelitiannya tentang ronggeng di Jawa Barat, khasnya pesisir Kabupaten Subang. Salah satu titik Ronggéng Pesisir (Jawa) – mulai dari Ketuk Tilu – Karawang sampai Tayub – Banyuwangi.
Saya menyebutnya seperti itu, untuk membedakannya dengan Ronggéng (Melayu) – mulai dari Andaman sampai Deli, yang dibedakan oleh adat resam, budaya (khasnya nilai dan norma) yang mempengaruhinya. Juga untuk membedakannya dengan Ronggéng Gunung.
Ketika masih mahasiswa ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) cikal bakal ISBI – Bandung – saya pernah menjuluki Endang sebagai Ronggéng Intelèk (Majalah Variasi 309, 1978). Endang memang memilih jalur akademik – intelektual dengan melanjutkan studi S1 di ISI Yogyakarta, kemudian S2 ilmu sejarah dan S3 Ilmu Budaya (Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa) di UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta. Endang memadu serasi kreativitas dan inovasi penciptaan tari – koreografi dan pendalaman keilmuan budaya. Memadu padan budaya mikro dan makro.

Tradisi saweran dalam pertunjukan Ronggeng berkorelasi dengan dimensi keekonomian para pekarya ronggeng | bangsem
Daya Tahan Hidup
Mala, yang sosoknya menjadi gambar hadapan buku Endang bertajuk Sindèn Penari di Atas & di Luar Panggung (2011) — (ubah suai format dari disertasinya: Perempuan dan Ronggeng di Tatar Sunda, Telaahan Sejarah Budaya) — sama memilih jalur akademik, namun fokus pada studi tari yang berorientasi pada profesi, penciptaan karya tari. Mala menyebut tajuk disertasinya, Ronggéng Berdigit.
Saya agak ‘rancu’ memahami tajuk tersebut, namun menerima dalam konteks idiom, saya paham. Digit atau ‘numerique,’ sebagai idiom memang bisa dipahami secara multi interpretasi.
Dalam konteks satuan ‘numerique’ yang dapat dipahamkan sebagai kata benda yang berbilang (bilangan), simbol tertulis atas angka yang secara konotatif bisa berkait dengan nilai ‘keekonomian’ ronggeng, bila dikaitkan dengan nilai bilangan konverti penghargaan atas kerja profesionalnya. Termasuk ‘saweran’ (pemberian uang) yang diterima dari bajidor (penikmat – penonton – tarian para ronggeng yang ikutan menari) sebagai ungkapan simpati, empati, apresiasi, respek, bahkan kasmaran.
Dalam konteks tari, saya memahami digit sebagai sinonim dria, khasnya gerak jemari tangan dan kaki, serta seluruh gerak raga penari. Yang jelas bukan digit dalam konteks astronomi untuk menghitung diameter planet pada semesta. Meski hal ini bisa disimbolisasi dalam gerakan tari. Dalam pendekatan seksualis, kata ‘digit’ secara seksualis, konotasinya bisa menjadi bagian dari praksis orientasi seksual khas.
Secara sosiologis, ‘digit’ dapat dipahami, terkorelasi dengan daya tahan (survivalitas) para ronggeng sebagai individu yang senantiasa mesti berhadapan dengan ragam fenomena dan perubahan sosial, sebagaimana tercermin dalam karya otentik Endang bertajuk Astungkara. Perjuangan ronggeng mempertahankan kedaulatan dirinya atas tubuh (lahir – batin).

Sebagai ‘ronggeng’ – Mala melintasi bentang waktu untuk bergerak dari seni tradisi, seni urban, dan memadukan keduanya di era transformasi sosial | bangsem
Ronggéng Berdigit
Beranjak dari beragam pemahaman tersebut, saya membayangkan, Mala sedang hendak mewawar gagasan sebagai buah perenungan yang memisahkan sekaligus mempertemukan dalam satu dimensi tiga produk mimpi: ilusi, fantasi, dan imajinasi tentang tubuh rawagi dan tubuh ruhani.
Gagasan survivalitas diri dan ekspresi kesadaran tentang kedaulatan atas tubuh di tengah perubahan zaman secara dimensional, termasuk perubahan nilai dan norma budaya, ekonomi, bahkan politik gender yang akan bermuara pada keadilan gender. Tanpa kecuali kedaulatan atas tubuh sebagai subyek dalam proses perubahan medium seni pertunjukan yang sangat dinamis dan kuat dipengaruhi oleh teknologi.
Saya menyimak cerita dan argumen Mala dan Endang. Dari Mala saya peroleh pemahaman yang tangkas tentang relasi penari dengan kreativitas dan inovasinya sebagai profesional dalam menghadapi risiko eksistensial antara panggung konvensional dengan panggung digital.
Dari Endang saya mendapat pemahaman tentang relasi dan korelasi ronggeng dengan perkembangan teknologi yang menyebar medium menjadi multi media, multi channel dan multi platform. Transformasi (perubahan dramatik) yang sangat dinamis dan cepat menuntut perubahan formula yang memang kudu tangkas dan bernas.
Terbayang, dengan tajuk disertasi Ronggéng Berdigit, Mala melahirkan karya tari yang sekaligus ‘menari di tengah perubahan zaman.’ Ia mengelola imajinasi tentang ronggeng dan kedaulatannya atas tubuh dan melakukan rekonstruksi (sekaligus dekonstruksi) untuk menghadirkan rekonstruksi artistika, estetika, sekaligus etika dalam performa ronggeng.
Secara sosiologis saya membayangkan daya cipta artistika dan estetika dalam performa ronggeng, menghadirkan etika sebagai marka. Khasnya dalam konteks eksistensi ronggeng di antara dua sistem relasi berbasis patronase masyarakat pesisir Jawa. Tak hanya relasi dan interaksi sosial, jauh dari itu juga relasi kuasa clientelistic (tak hanya traditional authority) dalam konteks bias gender.

Sebagai promovenda, Mala mempertanggungjawabkan karyanya Ronggeng Berdigit di hadapan Dewan Penguji ISI Surakarta, dinyatakan lulus dan layuak menyandang gelar Doktor | bangsem
Rekacitra – Rekacita – Rekacipta
Dalam konteks seni pertunjukannya sendiri, Mala bicara tentang konsep tubuh, citra ketubuhan, dan pengalaman ketubuhan dalam satu tarikan nafas. Secara praktis seni pertunjukan, konsep – citra dan pengalaman ketubuhan itu berinteraksi secara kolaboratif dengan medium era digital. Termasuk eksplorasi teknologi digital, musikal, dan seni rupa untuk mencapai nilai artistika optimum.
Dengan demikian, citra ronggeng masa lalu, kini, dan esok diletakkan secara proporsional dalam bentang transformasi sebagai perubahan dramatik yang dimensional. Di sini image engineering (rekacitra) dan imagineering (imagine dan engineering atau rekacita) bak ‘gayung nyatronin tempayan’ dalam inventeering (rekacipta).
Terbayangkan, melalui tata kelola kreativitas dan inovasi berlanjut dengan strategi yang tepat ruang dan waktu, karya Ronggéng Berdigit (Numerique Ronggéng) atau Tekno Ronggéng menjadi salah satu gagasan menarik untuk menjawab pertanyaan ihwal paradigma reposisi seni tari pergaulan yang populis modes di tengah perubahan cepat era digital (konseptual).
Dalam konteks ini, proses tata kelola kreativitas tak bisa tidak, mesti diperkuat oleh kolaborasi antar anasir presentasi karya, meliputi penari, sinden, nayaga, pengarah cahaya, pengarah musik dan anasir lain. Presentasi karya kreatif merupakan karya kolektif yang dipandu oleh konsep dan gagasan dasar koreografer.
Presentasi karya Ronggéng Berdigit yang ditampilkan Mala sebagai promovenda pada saat ujian terbuka untuk meraih gelar doktor di Gedung Kesenian Jakarta (Kamis, 7/9/23) agaknya terkendala oleh koordinasi teknis yang ‘mencederai’ kolaborasi. Kendati demikian, upaya yang dilakukan Mala sebagai promovenda untuk menghadirkan gagasan dan hasil penelitiannya, patut diapresiasi.
Seni pertunjukan tradisi – konvensional kelak dapat bersinggungan dengan aneka produk budaya yang juga bergerak sangat cepat melalui lompatan kuantum ( saut quantique ), berinteraksi dengan metaverse, artificial intelligent, melampaui capaian-capaian hologramik dan holografik, dan menjadi bagian ‘pelayaran menantang’ transhumanitas untuk merumuskan secara kolaboratif ‘peradaban baru’ dalam seni tari khasnya, seni pertunjukan pada umumnya.

Intro prsentasi Ronggeng Berdigit yang menarik dengan menghadirkan penari ronggeng tua dari Subang | bangsem
Nandak di Bulan
Seni tradisi konvensional dengan gagasan-gagasan segar yang ‘melayari perubahan budaya’ dapat menjadi bagian dari proses melayari transhumanisma dan memantik kesadaran tentang bagaimana memelihara kecerdasan budaya yang mempertemukan keterampilan – profesionalitas – kearifan dalam satu tarikan nafas.
Gagasan yang diuji melalui penelitian dan dituangkan dalam bentuk disertasi dalam konteks Ronggéng Berdigit alias Tekno Ronggéng membebaskan karya seni dari batas-batas panggung nyata dan panggung maya. Bahkan, praktik sawer terhadap Ronggéng, bisa menjadi bagian aksi dari konvergensi uang lama (kartal dan giral) ke uang baru (digital currency). He.. he.
Beranjak dari pandangan Henry Spiller (Erotic Triangles : Sundanese Dance and Masculinity in West Java – 2010), Endang Caturwati (Sinden dan Penari di Atas & di Luar Panggung, 2011), dengan memahami ulang secara cermat pandangan Olivier Donat (Les pratiques culturelles à l’ère numerique, 2010) dan pandangan James Martin (The Meaning of the 21st Century, 2010), kita memang semestinya melihat seni tradisi sebagaimana hadir dalam panggung kreasi Ronggéng di tengah era transformasi yang mengalami banyak disrupsi secara lebih visioner.
Realitas seni pertunjukan rakyat yang menghadirkan Ronggéng (sinden dan penari) sebagai manifesto utuh kedaulatan atas tubuh berinteraksi dengan aneka tantangan abad ke 21. James Martin (2007) mengisyaratkan, perubahan asasi menantang kita bagaimana membalik kemiskinan, menyeimbangkan kecerdasan dengan kearifan tempatan, gaya hidup berkelanjutan, budaya kreativitas berbasis sains dan teknologi, dan pemajuan akal budi di tengah perubahan politik praktis kelontong (kitsch political practise).
Ronggéng Berdigit yang saya sebut Tekno Ronggéng patut diapresiasi sebagai wujud kesadaran baru tentang konstelasi seni tradisi di tengah transformasi era digital, sebagai bagian tak terpisah dari era agraris, industri dan informasi. Apresiasi dan respek pula kepada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, promotor, dan seluruh dewan penguji karya cipta dan disertasi Mala.
Saya mengapresiasi perjuangan Mala menghadirkan dirinya sebagai ronggeng sekaligus insan terpelajar. Dia bisa mendedikasikan eksistensinya sebagai ronggeng bergelar doktor, sekaligus doktor ronggeng, melanjutkan proses panjang mengangkat harkat – martabat ronggeng. Terus berkreasi. Ingat pesan engkong dan nyai Betawi Depok, “Jangan berenti ikhtiar, sebelon bulu kaki rontok…! Buktiin kembang latar bisa nandak di bulan.” |
