Di Hari Bumi Engkau Kembali
In Memoriam Radhar Panca Dahana
Di Hari Bumi engkau kembali
Pada nafas semesta
Ke hadirat Sang Maha Rindu yang tak bertepi
Entah sudah berapa senja kita bertukar luka
Mengasah kata pada pena yang renta
Aku dan kau tak butuh seiasekata
Belajar sikap tabah dan keras kepala padamu
Aku temukan bahasa jiwa di kedalaman makna
Dan di rumah puisi kita akan menepi
Dari Bulungan kau seruput kopi
Di Taman Ismail MarzukiĀ rasa pahit itu menjadi nyali
Bung,
Hari ini Hari Bumi
Bulan ini Bulan Suci
Betapa panjang puasamu tak henti-henti
Melaparkan mimpi ke hadirat Ilahi
Gus Nas Jogja, 22 April 2021
Menepi di Bulan Suci
Ode buat Radhar Panca Dahana
Menepi di bulan suci
Tadarus selamanya di hadirat Ilahi
Jejak nafasmu menjelma puisi
Di Taman Ismail MarzukiĀ malam itu
Ada rembulan separoh semangka
Kau menyebutnya Kurusetra
Sudah lebih dua dasawarsa kita berdebat tentang tafsir jelaga
Kebudayaan yang seringkali absen di meja negara
Kekuasaan yang kaku dan tak berjiwa
Kupilih desa untuk mengepung kota
Kaupilih kota untuk merawat desa
Bertemu di Pulau Dewata
Kita masih terus berdebat tentang kemana perginya senja
Mufakat atau tidak mufakat sama saja
Kebudayaan harus lantang mengucap cinta
Di malam Jum’at engkau berangkat
Kulihat sayap-sayap malaikat itu lembut memeluk rapat
Sesudah itu biarlah puisi yang akan mencatat
Pada harum bunga bulan suci yang hangat merawat
Gus Nas Jogja, 22 April 2021
Layar Lebar
kepada Usmar Ismail
Jika hidup hanya drama
Kenapa surga diciptakan begitu indahnya?
Bukankah layar lebar tak cuma bergambar tiga dara?
Hari ini kutatap dengan mesra langit perfilman Indonesia
Komedi dan tragedi saling berebut mencari makna
Tatkala sensor dan fatwa telah kehilangan muka
Ketika partai politik di layar kaca semakin menguras air mata
Manakala aktor-aktor intelektual semakin lihai beracting di dunia maya
Apakah gambar hidup masih bermakna?
Hari ini kusaksikan para insan sinema membeku di ruang hampa
Seakan senjakala sudah terpampang di pelupuk mata
Akankah kejayaan gambar hidup itu hanya menjadi kenangan lama?
Haruskah sutradara berpangku tangan saat pandemi menghentikan segalanya?
Kepada Usmar Ismail kutitipkan sepatah kata
Bangkitlah wahai para sineas Indonesia!
Gus Nas Jogja, 30 Maret 2021
Suluk Kelahiran
Mengintip Singgasana Cinta di atas langit
Berbekal rindu terus kucari asal-muasalku
Kapankah nafas Tuhan pertama kali berhembus?
Aku berkaca-kaca mengeja sunyiku
Pernah kucari jejak seribu nabi
Tapi yang kutemukan hanya kusam kain kafanku sendiri
Tak sia-sia waktu meremukkan rindu
Tak percuma jiwa meronta mengharap cinta
Akulah tetes sperma yang menggeliat di gelora ganas ombak samudera
Di rahim Ibu aku bertapa tanpa sepatah kata
Membaca rahasia semesta sembari memejamkan mata
Itulah kenapa kutangisi dunia sebab hanya palsu adanya
Kelahiran telah mempertemukan alfa dan omega pada deru jiwaku
Merajut tali plasenta dengan dawai biola
Itulah kenapa kusebut hidup sebagai orkestra
Tuhanku
Aku hanyalah partitur sebatangkara
Percuma jika tercampak di panas api neraka
Sebab kelahiranku adalah harmoni musik semesta
Pintaku padaMu hanya satu
Kuburkan seluruh takaburku di pemakaman purba
Dengan nisan raksasa tanpa nama
Gus Nas Jogja, 30 Maret 2021